Kemarin petang saya menerima kiriman sebuah buku dari Tante Moeke Mashud. Tante Mashud, yang semasa kecil sering saya sebut-sebut sebagai Zoes Moeke, menirukan ayah dan ibu saya memanggil beliau. Seperti juga pada umumnya ayah dan rekan-rekan ibu saya selalu menggunakan bahasa Belanda dalam pergaulan sehari-hari, sehingga kolega beliau selalu disebut dengan panggilan Zoes dan Bung. Tentu saja saya tetap memanggil beliau beliau dengan sebutan atau panggilan Om dan Tante Mashud.
Zoes Moeke ini adalah isteri dari Bung Mashud (almarhum), wartawan Antara, rekan ayah saya yang pernah bertugas di kantor perwakilan Antara London lebih dari 3 tahun di penghujung tahun 1950-an.
Kembali kepada buku yang saya terima dari beliau, ternyata buku tersebut adalah buku yang relatif baru terbit, berjudul : “Aku Wartawan Merdeka”, dengan kata pengantar dari Herawati Diah, yang lebih dikenal dengan Zoes Hera, isteri dari almarhum BM Diah, penggagas dan pendiri dari koran “Merdeka”.
Saya sendiri belum sempat membaca buku tersebut secara keseluruhan, namun sekilas membaca kata pengantar Herawati Diah, ada sesuatu yang sangat menarik. Dekat bagian akhir dari kata sambutannya Herawati menceritakan hal yang sangat prinsip dari keberadaan koran Merdeka itu.
Berikut ini kutipannya :
BM Diah juga menekankan bahwa dasar penerbitan “Merdeka”, bukankah soal untung rugi, tetapi “menyajikan bacaan kepada masyarakat yang sedang berjuang mati-matian melawan penjajah, dan untuk menambah semangat”.
Toeti Kakiailatu, menanyakan BM Diah, kiat-kiat apa yang dipakai Merdeka sebagai suatu media perjuangan. Menurut BM Diah, kiat Merdeka ada lima hal :
Pertama, Merdeka tidak mempunyai ikatan dengan pemerintah, dengan kekuasaan negara. Maka kita bebas membuat berita, induk karangan, komentar dan lain-lain. Jika pemerintah salah – kita kritik. Jika ia correct – kita akui. Inilah proses interaksi kita dengan pemerintah.
Kedua, surat kabar ini tidak terikat dengan perusahaan – perusahaan besar atau MNC-MNC dalam soal iklan atau kepentingan – kepentingan ekonomis lainnya. Maka kita paling bebas memperjuangkan terlaksananya Pasal 33 UUD 1945 tanpa takut kehilangan klien, rekanan dan lain-lain. Kita juga bebas mengeritik praktek-praktek multinasional.
Ketiga, surat kabar ini tidak mempunyai hubungan dengan atau berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Maka kita bebas mengikuti, menyoroti, dan mengecam baik Golkar, PPP maupun PDI. Bahkan ingin kita tegaskan disini bahwa sekalipun Merdeka tidak mempunyai kaitan, misalnya dengan PDI ataupun gerakan-gerakan nasionalis lainnya.
Keempat, Merdeka adalah benar-benar surat kabar pribumi. Baik modal, tenaga dan operasinya, semuanya bersifat Indonesia. Tidak ada modal asing, pelacuran kepentingan dengan kekuatan asing atau segi-segi a-nasionalis lainnya.
Kelima, surat kabar ini seluruhnya terikat dan memihak pada Amanat Penderitaan Rakyat, Pancasila dan cita-cita adil-makmur. Pekerjaan jurnalistik kita seluruhnya dipusatkan pada tujuan ini. Maka surat kabar ini benar-benar dicukongi Rakyat Indonesia bagi kehidupannya, kelangsungan hidupnya, dan perjuangannya.
Itulah, sekelumit kutipan dari kata pengantar Herawati Diah.
Ditengah hingar-bingar dari amburadulnya situasi saat ini, masih adakah media yang se idealis itu?
Terimakasih banyak atas bukunya Zoes , eh Tante Moeke Mashud. Salam Hormat.
Jakarta 1 Februari 2010