Pendahuluan
Indonesia pada pertengahan tahun 2016 dinyatakan telah berhasil memenuhi standar keselamatan dan keamanan Federal Aviation Administration (FAA) dan dinyatakan masuk ke dalam kelompok negara kategori 1 FAA. Seperti diketahui sejak tahun 2007 ketika terjadi demikian banyak kecelakaan pesawat terbang, Indonesia telah di “down -grade” oleh FAA ke kelompok negara kategori 2. Ini menandakan bahwa Indonesia tidak memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan, seperti yang ditentukan oleh International Civil Aviation Organisation (ICAO).
Menjelang akhir tahun 2017 dari hasil on site visit ICAO Coordinated Validation Mission (ICVM) yang melakukan audit Keselamatan Penerbangan Internasional, Indonesia dinilai berhasil memperoleh nilai yang diatas perolehan rata-rata dunia. Nilai efektivitas implementasi Indonesia mencapai 81,15%. Itu berarti jauh di atas rata-rata efektivitas implementasi negaranegara lain di dunia yang 62%. Dengan nilai ini di Asean, Indonesia menduduki rangking ke-2 di bawah Singapura. Sementara itu di antara negara-negara Asia Pasifik, Indonesia masuk dalam peringkat ke 55 yang sebelumnya berada pada peringkat 151. Penilaian ini adalah dalam kerangka program Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) ICAO.
Sebuah pencapaian yang sangat membanggakan bagi martabat bangsa di bidang penerbangan sipil. Pada tahun 2018, Indonesia juga dinyatakan secara resmi oleh Uni Eropa sebagai negara yang telah di cabut larangan terbangnya (flight ban) ke Uni Eropa. Hal ini menjadi tidak begitu penting, karena larangan terbang ke Eropa pada hakikatnya adalah “hanya” mengikuti penilaian hasil audit ICAO yang berlaku secara internasional bagi seluruh negara anggotanya. Flight Ban oleh Uni Eropa adalah sebuah tindakan sangat tidak “fair”, karena seharusnya larangan terbang sudah harus dicabut seketika penilaian ICAO terhadap keselamatan penerbangan Indonesia sudah mencapai nilai yang diatas ratarata dunia. Ditambah lagi larangan terbang ke Eropa bagi pesawat terbang Indonesia merujuk kepada Indonesia yang dinilai tidak mampu menyelenggarakan penerbangan sipil yang aman. Anehnya, maskapai penerbangan Eropa tetap saja terbang ke Indonesia tempat yang dinilai mereka sebagai tidak mampu mengelola operasi penerbangan sipil yang aman. Momen dicabutnya flight ban oleh Uni Eropa sama sekali tidak ada artinya apa-apa, karena yang penting dan menentukan bagi Indonesia adalah merujuk kepada regulasi keselamatan penerbangan sipil internasional ICAO.
Musibah
Sayangnya, setelah berjuang panjang selama lebih kurang 10 tahun dan memperoleh pencapaian yang sangat membanggakan berturut turut di tahun 2016, 2017 dan 2018, Indonesia kembali mengalami musibah dalam dunia penerbangan sipil komersial. Belum selesai kegembiraan menyongsong hasil kerja keras dalam meningkatkan keselamatan penerbangan, pada tanggal 29 Oktober 2018 pesawat terbang dari maskapai penerbangan Lion Air nomor penerbangan JT-610 dari Jakarta tujuan Pangkal Pinang mengalami kecelakaan fatal. Pesawat terbang B-737 Max 8 yang relatif baru dengan nomor registrasi PK – LQP itu membawa sebanyak 189 orang yang terdiri dari 179 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, 5 kru yang secara keseluruhan dinyatakan meninggal dunia.
Belum pula reda kesedihan melanda para korban kecelakaan pesawat terbang Lion Air JT-610, pada tanggal 9 Januari 2021, dunia penerbangan Indonesia dikejutkan kembali dengan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air nomor penerbangan SJ-182. Pesawat jenis B-737-500 dengan registrasi PK-CLC yang take off dari Jakarta menuju Pontianak menghunjam ke laut di teluk Jakarta. Seluruh kru dan penumpang sejumlah 62 orang tidak ada yang selamat. Musibah yang sangat menyedihkan dalam rentang waktu yang hanya lebih kurang 3 tahun sudah 251 nyawa melayang akibat kecelakaan pesawat terbang di Indonesia. Negara yang baru saja meraih nilai keselamatan penerbangan yang mencapai angka diatas rata rata perolehan dunia di tahun 2017 yang lalu.
Lion Air penerbangan JT-610
Lion Air JT-610 walau terdapat temuan mengenai cacat produk dari pesawat terbang B-737 – Max 8, namun dalam preliminary report KNKT telah menunjukkan adanya beberapa kelalaian yang terjadi dalam rangkaian beberapa penerbangan sebelumnya. Berikut ini kutipan berita dari CNBC :
Jakarta, CNBC Indonesia – Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyatakan pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di perairan Karawang pada 29 Oktober 2018 seharusnya dilarang terbang atau di-grounded sebelum mengalami kecelakaan fatal itu. AFP memberitakan hal itu, menyusul laporan yang menyebutkan pilot sempat susah payah mengontrol sistem anti-stalling. “Pesawat ini tidak lagi laik terbang dan seharusnya tidak diharuskan terus terbang,” kata Nurcahyo Utomo, Kepala Subkomite Penerbangan KNKT, dikutip dari AFP, Rabu (28/11/2018).
Disamping itu terdapat juga kelalaian sebagai berikut :
According to a weight and balance sheet on board the aircraft were two pilots, five flight attendants and 181 passengers consisted of 178 adult, one child and two infants. The voyage report showed that the number of flight attendant on board was six flight attendants Preliminary KNKT.18.10.35.04 Aircraft Accident Investigation Report –KNKT 2018.
Temuan dalam laporan awal KNKT menyebutkan bahwa pada “weight and balance sheet” Lion Air JT-610 disebut bahwa ada dua pilot, 5 awak kabin dan 181 penumpang. Akan tetapi pada kenyataannya Lion Air JT-610 membawa 6 awak kabin. Kedua hal tersebut tentu saja memposisikan Lion Air pada kedudukan yang sulit untuk dapat menuntut pihak pabrik pesawat terbang Boeing, walau kemudian terbukti, setelah kecelakaan yang mirip terjadi di Ethiopia, adanya kesalahan pabrik dalam salah satu software sistem kendali di pesawat Max 8 bernama MCAS.
Sriwijaya Air Penerbangan SJ-182
Sriwijaya Air flight SJ-182 adalah dari jenis B-737-500 yang mengalami kecelakaan ditengah merebaknya pandemi Covid-19. Kecelakaan ini mengundang beberapa catatan penting mengenai penerbangan yang dilakukan setelah beberapa lama kegiatan penerbangan pada umumnya terhenti akibat covid 19. Khusus mengenai jenis pesawat Boeing 737 ada catatan tersendiri pada pengoperasiannya di Amerika Serikat hubungannya dengan pandemi Covid-19. FAA, Federal Aviation Administration pertengahan Juli 2020 mengeluarkan “Emergency Airworthiness Directive” untuk 2000 pesawat Boeing 737 NG dan Klasik yang terdaftar di Amerika Serikat. Arahan itu dikeluarkan setelah ada temuan telah berkaratnya “air check valve” pada mesin pesawat yang sudah tidak terbang selama 7 hari berturut turut. Hal tersebut dapat mengakibatkan kedua mesin mati mendadak di udara. Alaska Airlines mengumumkan bahwa mereka mengalami hal tersebut namun dapat diatasi. Ini adalah catatan dari bagaimana memperlakukan pesawat terbang khususnya jenis B-737 dengan berbagai variannya ditengah kesulitan yang dihadapi dalam era pendemi Covid-19.
Catatan lain dari kecelakaan Sriwijaya Air adalah beredarnya berita berkait dengan performa manajemen Maskapai Penerbangan Sriwijaya Air belakangan ini. Status Sriwijaya Air yang telah tidak lagi berkait dengan
manajemen Garuda menyebabkan pemeliharaan pesawat terbangnya tidak lagi ditangani oleh Garuda Maintenance Facility (GMF). Seperti diketahui GMF adalah “bengkel” pesawat terbang yang diakui kualitas dan kredibilitasnya pada tataran global. Apakah ini ada hubungannya dengan terjadinya kecelakaan, maka hanya hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), yang akan dapat menjelaskannya nanti.
Penyebab terjadinya Kecelakaan Pesawat Terbang
Moda transportasi udara adalah moda transportasi yang paling aman dibanding dengan moda transportasi lainnya. Data statistik menunjukkan bahwasanya penerbangan adalah merupakan moda transportasi yang paling aman dibanding dengan moda transportasi lainnya, seperti darat, laut dan kereta api. (Statisticians tell us that flying is one of the safest modes of travel we have and that by far the riskiest part of any flight is the drive to and from the airport – from a book : Air Accident Investigation – 3rd edition – David Owen – Patrick Stehens Limited – Haynes Publishing, Sparkford,UK).
Khusus dari hasil banyak investigasi tentang kecelakaan pesawat terbang, maka faktor penyebab terjadinya kecelakaan adalah akibat kelalaian manusia atau human factors. (Errors commited within the broad category of human factors remain the leading causes of aircraft accidents. – from a book Aircraft Safety –second edition – Shari Stamford Krause, Ph.D. – McGrawHill, New York USA). Pada dasarnya kelengahan sedikit saja dalam dunia penerbangan akan berpotensi mengundang terjadinya kecelakaan yang bahkan fatal sifatnya. (In the air or on the ground when dealing with aviation, it is easy to go from hero to fool – from a book Why Planes Crash – David Soucie with Ozzie Cheek – Skyhorse Publishing, Delaware corporation USA)
Penyebab kecelakaan pesawat terbang sendiri, secara keseluruhan dapat terbagi dalam 5 bagian besar yaitu : human factor, runway incursions, weather, mid air collisions atau tabrakan di udara dan mechanical and maintenance. (Aircraft Safety –second edition– Shari Stamford Krause, Ph.D. – McGraw-Hill, New York USA). Selain itu terdapat pula kecelakaan pesawat terbang yang sebenarnya dapat dihindari apabila arus dan atau alur informasi (misalnya tentang informasi cuaca) yang berhubungan dengan pelaksanaan operasional penerbangan dapat sampai tepat waktu kepada mereka yang berkepentingan. (The information to avoid disaster is available, but it isn’t given to the right people at the right time and in the right way – Why Planes Crash – David Soucie with Ozzie Cheek – Skyhorse Publishing, Delaware corporation USA).
Salah satu contoh adalah beberapa kecelakaan yang terjadi yang disebabkan pesawat terbang terjebak dalam kondisi cuaca yang buruk. Kondisi cuaca seharusnya sudah dapat diperhitungkan sejak pilot menyusun rencana penerbangannya atau flight plan. Ramalan cuaca dengan teknologi belakangan ini sudah dapat diandalkan akurasinya untuk dapat digunakan dalam penyusunan rencana penerbangan. Dalam hal ini maka memang yang akan terlihat menonjol adalah factor disiplin dalam mentaati regulasi, ketentuan dan prosedur standar operasi penerbangan. Di sisi lainnya, maka unsur pengawasan sangat dibutuhkan agar pelaksanaan aturan yang diberlakukan tidak dapat dengan mudah diabaikan begitu saja. Pada titik inilah maka akan terlihat peran dari seorang Inspektor Penerbangan yang sangat penting dalam mengawasi, mengelola keselamatan dan keamanan penerbangan. (Inspectors develop, administer, investigate and enforce safety regulations and standards – Why Planes Crash – David Soucie with Ozzie Cheek – Skyhorse Publishing, Delaware corporation USA).
Kecelakaan Pesawat Terbang
Demikianlah, maka pada dasarnya penyebab kecelakaan yang terbesar diperoleh dari hasil investigasi menunjukkan human factor merupakan penyebab yang paling dominan. Hal ini patut disadari akan perlunya disiplin yang tinggi dalam pelaksanaan tugas pada operasi penerbangan, yang tentu saja sangat memerlukan unsur pengawasan di dalamnya.
Usia Pesawat
Faktor usia pesawat sangat sering menjadi pergunjingan di masyarakat awam sebagai penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Pendapat ini sungguh masuk akal karena barang yang sudah tua selalu akan berkorelasi dengan telah menjadi ringkih, karatan, rapuh, fatigue dan lain sebagainya. Juga cukup beralasan karena pada umumnya pesawat terbang yang sudah tua pada usia tertentu sudah tidak diproduksi lagi oleh pabriknya, sehingga akan mengalami kesulitan dalam memperoleh suku cadangnya. Sementara itu produk pesawat terbang yang baru adalah sebuah produk yang merupakan hasil penyempurnaan dari waktu ke waktu sehingga kualitasnya dapat dipastikan lebih baik dari produk produk sebelumnya. Seiring dengan itu kemajuan teknologi yang terus meningkat tentunya akan menjadi andalan bagi pesawat terbang baru untuk memiliki performa yang jauh lebih aman dan nyaman. Sayang sekali pendapat tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, karena sampai dengan saat ini belum pernah ada hasil investigasi kecelakaan pesawat terbang yang menyebut tentang usia pesawat sebagai penyebab terjadinya kecelakaan. Merujuk kepada kecelakaan Sriwijaya Air flight SJ-182 pesawat terbang B-737-500 benar sekali sudah berusia 26 tahun, yang dapat dikatakan sebagai sudah uzur. Akan tetapi Lion Air flight JT-610 adalah pesawat terbang irit bahan bakar B-737 Max 8 yang merupakan produk teknologi mutakhir dan modern dari pabrik Boeing pada tahun 2017 dan bahkan memperoleh atribut sebagai “The Fastest-Selling Plane In Company’s History”. B-737 Max 8 produk tahun 2017, crashed di perairan laut jawa pada tahun 2018 dan di Ethiopia pada tahun 2019. Pesawat terbang produk baru dengan usia yang hanya 1 tahun, toh mengalami kecelakaan juga. Kedua kecelakaan Lion Air dan Sriwijaya Air memperlihatkan dengan jelas, betapa usia pesawat terbang memang tidak ada korelasinya dengan kecelakaan pesawat terbang. Status pesawat terbang yang akan disiapkan untuk beroperasi ditentukan oleh kelaikan dari pesawat terbang tersebut. Status pesawat terbang di tentukan dengan apakah pesawat itu S (Serviceable) atau US (Un Serviceable), laik atau tidak laik terbang, fly worthy or not fly worthy.
Cuaca
Cuaca juga sangat amat sering di sebut sebut sebagai penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Dalam hal operasi penerbangan sebenarnya gangguan cuaca dapat diatasi. Pada ketika sebelum melaksanakan penerbangan, pilot harus mengisi terlebih dahulu rencana penerbangan atau flight plan di base operation atau di kantor “C” Office Air Traffic Control yang biasanya berada di bawah menara tower pengawas. Pada saat mengisi rencana penerbangan itu, pilot dapat memperoleh informasi tentang keadaan cuaca yang akan dilewatinya sepanjang jalur penerbangan dan tempat tujuan. Dengan demikian maka pilot dapat menyesuaikan jalur penerbangan dan waktu yang dipilih dalam rangka menghindarkan cuaca buruk. Lebih jauh lagi, ketika melaksanakan penerbangan, pilot dapat melihat kondisi keadaan cuaca di jalur penerbangan yang akan dilaluinya dengan melihat radar cuaca yang ada di kokpit. Pada radar cuaca di kokpit yang dapat mendeteksi cuaca di jalur penerbangannya, Pilot dapat mengarahkan jalur lintas pesawatnya untuk menghindari dari cuaca buruk yang ada di depan pesawat terbang. Radar cuaca di dalam kokpit pesawat terbang sekarang ini sudah sangat tinggi teknologinya, yang sangat memudahkan pilot untuk membacanya. Kondisi dari konsentrasi cuaca yang tergambar dalam layar radar cuaca sudah berwarna yang menunjukkan seberapa berbahaya cuaca yang ada di depan untuk dilalui pesawat. Contohnya, adalah warna merah untuk mengindikasikan kondisi cuaca yang berbahaya bagi penerbangan. Jadi, dengan demikian pada dasarnya gangguan cuaca dalam penerbangan dapat di hindarkan semaksimal mungkin. Hal ini berkat teknologi deteksi cuaca yang modern menggunakan foto satelit dan deteksi kondisi cuaca dalam perjalanan menggunakan radar cuaca di kokpit.
Kesalahan Teknis
Kemungkinan lain dari penyebab kecelakaan pesawat terbang adalah kesalahan atau kegagalan teknis. Salah satu bulletin Aviation International menyebut : Technical failure has not been the leading cause of accidents since the mid-1970s, when the reliability of aircraft, their engines and systems improved massively with the introduction of second-generation jet airliners. About 80% of all (airline) crashes are caused by human, rather then technical (mechanical) errors. And, in fact, many of these are the result of errors in communication. Jadi sebenarnya kesalahan teknis sudah tidak lagi menjadi penyebab utama dari terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Dalam penerbangan semua hal sampai detil sudah diatur dalam sebuah ketentuan regulasi aturan manual dan prosedur yang baku. Apabila seluruh ketentuan, regulasi, aturan dan prosedur yang diberlakukan itu ditaati dengan baik maka kemungkinan terjadinya kecelakaan menjadi sangat kecil sekali. Maintenance pesawat menjadi salah satu faktor keselamatan penerbangan. Apabila sampai terjadi pun, maka sebenarnya sudah ada pula antisipasi dalam menghadapinya. Dalam operasi penerbangan dikenal dengan standar normal prosedur yang harus dipatuhi, apabila toh terjadi sesuatu diluar normal, maka sudah disiapkan prosedur emergensi untuk mengatasinya. Para teknisi bekerja dengan rujukan baku berupa manual yang dikeluarkan oleh pabrik pesawat terbang. Rujukan tersebut mencakup tentang mempersiapkan pesawat untuk terbang, proses pemeliharaan berkala yang harus dilakukan dan termasuk cara mengatasi kemungkinan kerusakan yang terjadi. Pilot, selain harus menjaga kesehatan yang prima sesuai ketentuan yang berlaku juga diharuskan melakukan general medical check up setiap 6 bulan sekali. Demikian pula untuk menjaga tingkat keterampilannya, pilot secara berkala diharuskan menjalani profisiensi training dan berlatih emergensi di simulator. Siklus 6 bulanan tersebut harus dijalani oleh para pilot dalam format updating pilot license-nya. Itu sebabnya maka masa berlaku lisensi seorang pilot adalah berada dalam rentang waktu 6 bulan.
Automation Addiction
Safety versus Kemajuan Teknologi. Faktor keselamatan penerbangan di dunia menghadapi tantangan besar sebagai akibat akselerasi kemajuan teknologi penerbangan yang sangat cepat. Dunia tengah menghadapi sebuah sistem transportasi cerdas sebagai hasil dari teknologi tinggi yang diterapkan dalam dunia penerbangan modern. Kemajuan teknologi yang bergerak cepat ternyata memperoleh rangsangan yang sangat berpengaruh yaitu dari persaingan usaha pabrik-pabrik pesawat terbang raksasa. Hal ini memunculkan kerawanan dalam operasi penerbangan yang sangat sensitif dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kecelakaan. Kemajuan teknologi penerbangan telah membuat kesenjangan yang besar terhadap sistem pembinaan latihan dan pendidikan bagi SDM yang mengawakinya. Padahal masalah utama dalam konteks suksesnya operasi penerbangan yang aman dan nyaman akan sangat tergantung kepada “man behind the gun”. Otomatisasi dari sistem kendali pesawat terbang telah mengakibatkan banyak kecelakaan. Dari hasil investigasi terhadap kecelakaan fatal akhirakhir ini yang dialami pesawat terbang super modern mencatat dua hal penting dalam “final report”-nya yaitu sebuah fenomena yang diberi judul “automation addiction” dan kurangnya background knowledge dari pilot dalam mengoperasikan sistem Flight Management Computer yang terpasang di sistem kendali pesawat terbang modern. Dunia penerbangan tengah berhadapan dengan apa yang sering dikatakan sebagai beralihnya keterampilan pilot dari terbang manual ke sistem otomatis. Berubahnya ujud pilot dengan Basic Pilot Flying Skill kepada ujud dari pilot yang berperan sebagai operator atau “the button pusher”. FAA pada akhir tahun 2013 baru saja merilis sebuah laporan setebal 279 halaman yang merupakan hasil penelitian panjang dari sebuah “working group” dengan topik “Operational Use of Flight Path Management Systems” yang membahas tentang “pilot addicted to automation”. Dikatakan antara lain : “The FAA reports stresses the risk that future accidents could occur as comercial airline pilots become overly reliant on automated computer system in the cockpit and lose their hands on, manual flying skills”. Kebiasaan yang terlalu mengandalkan sistem otomatis telah menarik perhatian para ahli sebagai salah satu penyebab yang dominan dari terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Lebih jauh lagi mengenai hal ini, ternyata National Aeronautics and Space Administration (NASA), badan penerbangan dan antariksa Amerika Serikat telah pula membiayai jutaan dollar bagi sebuah penelitian yang intensif bekerjasama dengan IOWA University yang memakan waktu lebih dari 3 tahun dalam topik masalah relation between pilot, automation and aircraft accident, hubungan pilot, sistem otomatis dan kecelakaan pesawat terbang. DR. Thomas Mach Schnell yang memimpin tim riset itu menjelaskan bahwa ketergantungan yang berlebihan terhadap sistem otomatis telah menurunkan dan banyak mengganggu konsentrasi pilot dalam menerbangkan pesawat. Dia juga menambahkan, bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa para pilot pesawat modern telah menjadi sangat tergantung pada sistem otomatis di kokpit. Studi tersebut juga memberikan hasil penemuannya bahwa 60% dari kecelakaan yang terjadi belakangan ini ternyata disebabkan karena kesalahan dalam mengoperasikan “flight management computer”. Seorang pakar NTSB menerangkan bahwa banyak pilot yang menerbangkan pesawat terbang modern sangat mahir dalam mengoperasikan sistem otomatis dalam mengendalikan pesawat, akan tetapi banyak yang kurang mengenal dengan baik anatomi dari bagaimana sistem otomatis itu bekerja. Artinya, banyak pilot yang kurang dapat memahami dan menghayati dengan benar kapan atau bila saatnya terbang dengan menggunakan sistem otomatis dan bila saatnya pesawat terbang harus dikendalikan dengan cara manual atau hands on. Ada 3 kecelakaan pesawat terbang modern dan canggih terjadi belakangan ini yaitu masing-masing adalah peristiwa kecelakaan pesawat terbang Turkish Air B-737-800 Flight 1951 yang crashed saat menjelang mendarat di Schippol Amsterdam pada 25 Februari 2009. Berikutnya adalah Air France 447, Airbus A330 dalam penerbangan dari Rio de Janeiro, Brazil menuju Paris, Perancis pada tanggal 1 Juni 2009. Terjadi icing pada pitot tube yang menyebabkan gangguan pada automatic pilot, pesawat stall dan crashed masuk ke laut Atlantik. Pada tanggal 6 Juli 2013 pesawat terbang B-777-200ER Asiana Airlines Flight 214 dari Seoul tujuan San Fransisco crashed di final approach Runway 28L San Fransisco International Airport. Dari hasil penyelidikan tentang penyebab ketiga kecelakaan tersebut terdapat benang merah sama yang menyebutkan mengenai gejala automation addiction dan lack of knowledge pilot terhadap Computer Flight Management system. Kemajuan teknologi terutama teknologi penerbangan memang bersifat dinamis dan bergerak dengan sangat cepat. Hal tersebut bertujuan terutama sekali dalam meningkatkan upaya keselamatan terbang akan tetapi sekaligus menuntut pengetahuan yang memadai dari mereka yang menggunakannya. Kuncinya memang akan kembali, sekali lagi pada “man behind the gun” yang berarti fungsi dari pendidikan dan latihan menjadi semakin mengemuka. Nah itulah tantangannya bagi semua insan yang bergerak dalam bidang penerbangan sekarang dan waktu yang akan datang. Sebuah tantangan besar dunia penerbangan dalam menghadapi sistem pengendalian yang serba otomatis, sistem transportasi cerdas. Dunia memang tengah menyongsong era The Cyber World dengan ciri utamanya “artificial intelligent”.
Penyebab kecelakaan di Indonesia
Untuk dapat menelusuri tentang penyebab terjadinya banyak kecelakaan pesawat terbang di Indonesia maka kita harus melihat kembali apa yang terjadi pada awal tahun 2000-an. Ketika itu terjadi begitu banyak kecelakaan di Indonesia dan ICAO menemukan lebih dari 120 temuan yang menunjukkan Indonesia tidak memenuhi persayaratan pada regulasi keselamatan penerbangan sipil internasional. Hal tersebut telah menyebabkan Indonesia di “downgrade” oleh FAA menjadi kelompok negara kategori 2, dan juga dilarang terbang ke negara Uni Eropa. Diikuti pula dengan datangnya sejumlah pertanyaan serius dari beberapa otoritas penerbangan negaranegara yang memiliki hubungan penerbangan internasional dengan Indonesia. Dari sekian banyak temuan, maka yang sangat menonjol menjadi focus sorotan di kala itu adalah tentang lemahnya pengawasan. Indonesia dinilai tidak memiliki cukup Inspektor atau Controller Penerbangan, baik dari segi kualitas dan terutama kuantitas. Lebih jauh disorot pula tentang sangat kecilnya remunerasi dari para Inspektor Penerbangan saat itu. Dengan demikian maka sangat relevan bila dalam hal melakukan upaya berbenah diri dalam mekanisme introspeksi sekarang ini, kita harus menyoroti terlebih dahulu faktor mekanisme pengawasan dalam dunia penerbangan di Indonesia.
Dari penilaian dalam aspek kekurangan inspektor dalam hal ini adalah menyangkut mekanisme pengawasan Internal Maskapai Penerbangan dan tata kelola pengawasan dari pihak otoritas penerbangan dalam hal ini Kementrian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Harus dilihat pada belakangan ini apakah prosedur pengawasan di maskapai penerbangan oleh otoritas penerbangan nasional, telah berjalan sesuai ketentuan regulasi dan standar prosedur yang ada. Harus dapat diinventarisir terlebih dahulu apakah jumlah dan kualitas para Inspektor yang kita miliki itu sudah cukup dengan beban kerja yang ada. Ini adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Berikutnya adalah bahwa banyak rekomendasi hasil akhir dari penyelidikan penyebab terjadinya kecelakaan yang dilakukan oleh KNKT belum tuntas ditindaklanjuti. Sebagian besar dari rekomendasi KNKT terhadap investigasi kecelakaan yang terjadi menyebut faktor-faktor yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan mekanisme pengawasan. Hal ini akan menggiring kita kepada masalah yang kelihatan sejalan dengan temuan ICAO pada lebih kurang 10 tahun yang lalu. Sangat masuk akal untuk masalah ini diperlukan pendalaman untuk memperoleh data dan fakta yang lebih akurat. Sebagai catatan saja apabila kita membahas tentang persoalan pengawasan, maka hal itu akan melekat erat dengan faktor disiplin.
Pengawasan dan disiplin menjadi sangat amat penting, karena dunia tengah berada di hiruk-pikuknya pandemi Covid-19. Protokol kesehatan, menurunnya jumlah penumpang, banyaknya pesawat yang tidak terbang, penurunan upah dan atau gaji karyawan, PHK serta “pusing”nya manajemen menghadapi itu semua, sangat beririsan dengan pengelolaan operasi penerbangan yang aman dan nyaman, dengan upaya menyelenggarakan Safety Management System dalam operasi penerbangan.
Demikianlah, apabila ada pertanyaan tentang apa saja yang harus dibenahi dalam dunia penerbangan kita sekarang ini, untuk dapat menurunkan angka terjadinya kecelakaan pesawat terbang maka jawaban sementara yang dapat di berikan adalah tingkatkan pengawasan dan disiplin terlebih dahulu. Pengawasan dalam hal ini antara lain adalah dibutuhkannya Inspektor Penerbangan yang professional dan berkualitas dalam jumlah yang cukup. Masih perlu digaris bawahi tentang catatan ICAO yang pernah mengatakan bahwa Indonesia tidak hanya kekurangan Inspektor dalam hal kualitas dan kuantitas saja, akan tetapi remunerasi mereka dinilai sangat tidak memadai bagi tugas-tugas seorang Inspektor Penerbangan.
Kesimpulan
Mencermati persoalan kecelakaan pesawat terbang memang tidak sederhana. Banyak yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat saja terjadi kapan saja dan dimana saja. Akan tetapi pada dasarnya kecelakaan dapat di upayakan untuk tidak terjadi, minimal dapat diusahakan agar kecelakaan yang fatal dapat dan harus bisa dicegah. Penyebab terjadinya kecelakaan tidak dikarenakan oleh usia pesawat terbang dan pada kenyataannya kecelakaan terjadi pada pesawat yang sudah cukup tua dan juga terjadi pada pesawat terbang yang merupakan produk baru. Artinya adalah kejadian kecelakaan pesawat terbang tidak ada korelasinya dengan usia pesawat. Statistik menunjukkan bahwa bepergian dengan pesawat terbang masih menduduki tempat yang teraman dibanding dengan moda transportasi lainnya.
Hasil investigasi penyebab kecelakaan pesawat terbang masih di dominasi faktor manusia, antara lain kelalaian. Pada titik ini maka akan terlihat tentang kebutuhan dari mekanisme pengawasan melekat yang berkelanjutan. Faktor cuaca dan kesalahan teknis walau tetap ada, akan tetapi sudah banyak mengalami kemajuan sejak berkembangnya teknologi penerbangan di tahun 1970-an. Tantangan ke depan yang dihadapi adalah pesatnya kemajuan teknologi otomatisasi dari sistem kendali pesawat terbang yang sudah serba komputer, menuntut para teknisi dan pilot untuk turut mendalami bidang baru yaitu pengetahuan tentang anatomi dari computer flight management system.
Demikianlah bahasan sederhana tentang kecelakaan pesawat terbang, mudah mudahan dapat turut serta dalam upaya menuju keselamatan penerbangan di Indonesia.
Jakarta, 30 Januari 2021
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia