Konon, ada seorang Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia yang sangat gagah berani. Mungkin tidak cukup untuk hanya dikatakan “gagah berani” saja, akan tetapi harus dipadukan dengan gelar sebagai sosok yang “berintegritas” dan atau “berkarakter”.
Sosok sejenis itu adalah sosok yang telah menjadi langka di republik ini, bila kita membahas tentang para pejabat dibidang penegakkan hukum. Salahudin Wahid, bahkan pernah menurunkan satu artikel khusus tentang beliau ini di Harian Kompas tahun lalu.
Dia tengah melaksanakan penyidikan kasus besar di negara ini dan menyangkut juga seorang “besar” yang tengah menjabat sebagai “bos” perminyakan nasional. Seorang yang saat itu dianggap sebagai tokoh yang “untouchable” berkat kedekatannya dengan RI-1.
Hiruk pikuk dan heboh yang membahana melalui banyak media , antara lain di harian yang bernama “Indonesia Raya” telah membawa topik penyidikan tersebut sebagai taruhan dari kredibilitas orang , sekaligus instansi yang tengah menanganinya. Orang atau kini tenar disebut sebagai “oknum” yang memimpin penyidikan itu adalah seorang pejabat senior dengan titel Wakil Jaksa Agung.
Nah, ditengah perjalanan, sang Oknum ini dipanggil oleh sang “nomor satu”. Konon, dia dihadapkan kepada perintah untuk segera menghentikan penyidikan dengan cantik , dan tentu saja dengan iming-iming akan memperoleh kenaikan jabatan satu tingkat lebih tinggi (menjadi Jaksa Agung)apabila selesai melaksanakan perintah sang “bos”.
Betapa mudah, untuk melaksanakan tugas tersebut, ditambah pula dengan “hadiah” yang sangat mengiurkan. Benar-benar satu ujian yang sangat menantang “harga diri”, juga “kehormatan”, nama baik termasuk nama baik keluarga, bahkan menyentuh tantangan lebih dalam lagi yaitu “etika” dan “hati nurani” serta “tanggung jawab”.
Satu pilihan yang bagi orang yang tamak, justru adalah merupakan “perintah” yang sangat diidam-idamkan, bahkan harus diperjuangkan dengan segala macam cara.
Akan tetapi ternyata sang Wakil Jaksa Agung, dengan tegas dan tanpa ragu sedikitpun, serta keberanian yang luar biasa, “menolak” dengan halus disertai pernyataan, bahwa dia siap menanggung risiko dengan “penolakannya” itu. Beliau “bersikap” dan kemudian Tamatlah kariernya sebagai “jaksa”.
Satu sikap yang sangat “luar biasa”, suatu sikap yang sepertinya bukan hanya langka akan tetapi seolah sudah tidak ada lagi di negeri tercinta ini. Apalagi, bila kita mencermati rekaman di mahkamah Konstitusi beberapa hari yang lalu.
Wakil Jaksa Agung itu, sampai kini masih hidup dengan pola yang sederhana dan bersahaja, akan tetapi penuh kebahagiaan, dan dikenal sebagai seorang guru besar yang sangat rendah hati. Dia adalah Professor DR. Priyatna Abdurrasjid SH.
Jakarta 5 Nopember 2009
1 Comment
mengapa orang jujur begitu langka di negeri ini ya Pak?