Tanggal 4 April 2016, dua pesawat terbang sipil komersial tabrakan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Beruntung peristiwa itu tidak memakan korban nyawa orang-orang yang tidak berdosa.
Bagaimana bisa di sebuah Pangkalan Angkatan Udara terjadi tabrakan dari dua pesawat terbang sipil komersial?
Bila diteliti lebih dalam, sebenarnya kejadian tabrakan yang amat memalukan itu sangat mudah dilihat sebagai kurangnya kemampuan profesional dari pengelolaan penerbangan sipil di negeri ini pada umumnya, dan khususnya pengaturan traffic penerbangan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Tabrakan tersebut terjadi setelah pada tahun 2014, Soekarno Hatta International Airprot (SHIA) tidak mampu lagi mengelola traffic penerbangan yang sudah jauh melampaui kapasitas kemampuannya, kemudian dicarikan solusi hanya dengan melimpahkan kelebihan traffic tersebut ke Halim.
Semula Halim tidak pernah menghadapi masalah dalam pengaturan traffic penerbangan sehari-hari. Dengan memiliki sebuah runway, tanpa taxi way dan apron yang sempit, Halim sudah cukup memadai dalam memberikan pelayanan operasi dan latihan penerbangan pesawat-pesawat Angkatan Udara.
Permasalahan traffic di Halim baru muncul setelah Halim dipergunakan juga untuk melayani penerbangan sipil komersial, yaitu saat dibebankan sebagai International Airport dalam rangka pemindahan Aerodrome dari Kemayoran ke SHIA di Cengkareng.
Sejak itulah Halim menghadapi permasalahan traffic penerbangan, karena bercampur baurnya penerbangan sipil komersial dengan misi latihan dan operasi penerbangan Angkatan Udara.
Sebenarnya, permasalahan traffic penerbangan di Halim (bercampur aduknya penerbangan sipil komersial dengan penerbangan Angkatan Udara) dapat selesai setelah pembangunan SHIA di Cengkareng rampung dikerjakan.
Persoalan muncul setelah Halim dibebankan sebagai “alternate aerodrome” International Airport Soekarno Hatta, antara lain karena Bandara Kemayoran tidak lagi digunakan sebagai aerodrome akan tetapi diubah fungsinya untuk keperluan pusat bisnis dan perdagangan.
Halim kemudian menjadi satu-satunya aerodrome di luar SHIA yang berlokasi di Ibu Kota Republik Indonesia, dan tidak bisa menghindar untuk berperan sebagai bandara alternatif, yaitu sebagai pilihan mendarat darurat bila di SHIA terjadi sesuatu yang membahayakan penerbangan, misalnya cuaca buruk.
Dengan status sebagai “alternate aerodrome” dari sebuah Intenational Airport maka spesifikasi dari semua Fasilitas Aerodrome harus dapat terjaga dengan baik untuk selalu memenuhi ketentuan regulasi keselamatan penerbangan internasional.
Semua itu memerlukan biaya yang cukup besar yang anggarannya tidak ada di alokasi anggaran Angkatan Udara.
Dengan demikian, maka tidak dapat dihindarkan maka Halim tetap dikuasai oleh pengelola penerbangan sipil, walau SHIA sudah rampung dikerjakan.
Untuk diketahui, semua penerbangan latihan dan penerbangan operasi Angkatan Udara dalam melaksanakan tugasnya menjaga kedaulatan negara di ddara sangat mengandalkan keberadaan sebuah aerodrome sekelas Halim.
Pangkalan Udara Halim merupakan sub sistem dari Alat Utama Sistem Persenjataan Angkatan Udara (Alutsista AU). Termasuk di dalamnya sub sistem dari sistem pertahanan udara nasional dan sistem komando sektor pertahanan udara ibukota.
Selain sebagai sub sistem Alutsista AU dan Pertahanan Udara, Halim juga merupakan “home-base” dari 4 skadron udara yang otomatis menjadi tempat latihan para penerbang dari pesawat-pesawat yang jumlahnya tidak sedikit itu.
Itulah sebabnya maka sudah sejak lama penerbangan Angkatan Udara di Halim terganggu dengan keberadaan penerbangan sipil komersial di Halim.
Upaya untuk mengatasi hal ini juga sudah lama dirintis untuk mencari solusi yang terbaik. Untuk sementara , di masa lalu sebagian besar operasi dan latihan penerbangan Angkatan Udara telah “diungsikan” ke beberapa tempat, antara lain ke Bandung, Kalijati dan Lampung.
Dalam perkembangannya, Bandung, Kalijati dan Lampung telah berkembang pesat maka “pengungsian” latihan terbang sudah sangat sulit untuk dilakukan.
Sampai di sini, kita belum membahas lebih jauh tentang Halim yang juga harus berperan sebagai “crisis center” bila terjadi bencana alam nasional (seperti Tsunami) dan juga saat terjadi pembajakan pesawat seperti ketika kejadian “Woyla” di waktu lalu.
Begitu juga tentang keberadaan Markas Besar Komando Pertahanan Udara Nasional, Markas Besar Komando Operasi AU 1 dan Komando Pendidikan Angkatan Udara serta Komando sektor pertahanan udara ibukota di Halim.
Demikianlah, sudah sejak cukup lama pula sebenarnya, AU mengupayakan mencari pihak ketiga (swasta) yang dapat bekerjasama untuk berinvestasi dengan solusi yang win win, antara lain dengan mengembangkan infrastruktur penerbangan di Halim agar latihan para penerbangnya dapat sedikit lebih leluasa.
Usaha-usaha ini tidak membawa hasil, karena ternyata Undang-undang tidak memberikan peluang keberadaan pihak swasta dalam mengelola sebuah bandara penyelenggara penerbangan sipil komersial.
Barulah di tahun 2009, yaitu sejak disahkannya Undang-undang Penerbangan no 1 tahun 2009 , pihak ketiga (swasta) dapat turut serta mengelola penerbangan di sebuah Bandara.
Tentu saja masih terdapat banyak lagi persyaratan tertentu lainnya yang harus dipenuhi terlebih dahulu dari pihak swasta untuk dapat memperoleh pendelegasian sebagai otoritas penerbangan yang antara lain berupa setifikat dan lisensi tertentu sesuai peraturan keselamatan penerbangan internasional.
Sampai saat ini di Indonesia belum ada pihak ketiga (swasta) yang sudah mengantongi hak pengelolaan bandara untuk penerbangan sipil komersial.
Saat ini baru Angkasa Pura 1 dan Angkasa Pura 2 yang memiliki sertifikat, ijin dan lisensi untuk memperoleh pendelegasian wewenang sebagai pengelola Bandara untuk penerbangan sipil komersial.
Yang menjadi tanda tanya besar adalah mengapa belakangan ini, sejak tahun 2014 dan lebih-lebih sejak terjadinya tabrakan pesawat tanggal 4 April 2016 lalu, justru terjadi penambahan rute penerbangan sipil komersial yang begitu masif di Halim.
Menurut sumber yang layak dipercaya , kini Halim sudah melayani lebih dari 300 penerbangan sipil komersial berjadwal dalam sehari, termasuk penerbangan charter dan penerbangan khusus tidak berjadwal.
Bahkan pada jam tertentu sudah mencapai angka 25 hingga 30 take off landing dalam satu jamnya.
Akibat sempitnya ruang parker pesawat, maka traffic pesawat terbang yang menyeberang lalu lalang di Runway sudah mencapai 100 kali perhari.
Dengan kondisi yang seperti itu, maka menjadi sangat tidak mungkin operasi penerbangan dan latihan terbang di Halim oleh Angkatan Udara dapat berjalan dengan normal.
Bahkan untuk mengelola aspek keselamatan terbang saja bagi penerbangan sipil komersial di Halim sudah menjadi sebuah persoalan yang cukup serius.
Tabrakan pesawat terbang di Halim pada tanggal 4 April lalu adalah sebuah indikasi dari sebuah kondisi yang sudah berada di luar kemampuan untuk dapat mengelola dengan baik traffic penerbangan di Halim sesuai dengan standar keselamatan terbang internasional.
Masalah yang memang tengah dihadapi Indonesia sekarang ini, yaitu masih belum mampu untuk memenuhi persyaratan International Civil Aviation Safety Standard seperti yang ditentukan oleh ICAO (International Civil Aviation Organaization). Itulah sebenarnya gambaran dari semua yang tengah berlangsung di Halim belakangan ini.
Pangkalan Udara Halim, keberadaannya sudah tidak dapat lagi berfungsi sebagai sub sistem dari Alutsista AU dan Sistem pertahanan udara nasional, karena sudah terlalu berat dibebani oleh penerbangan sipil komersial.Sebuah perkembangan pesat yang kurang diiringi oleh antisipasi persiapan penyediaan SDM penerbangan dan juga kesiapan infrastrukturnya.
Permasalahan yang sangat serius yang harus segera dicarikan jalan keluarnya dengan baik, agar tidak terjadi lagi kecelakaan-kecelakaan pesawat terbang yang dapat memakan korban jiwa.
Harus segera diambil keputusan, apakah Halim memang akan tetap dikembangkan untuk semata keperluan penerbangan sipil komersial, ataukah akan dikembalikan saja sesuai dengan perjalanan sejarahnya sebagai sebuah aerodrome yang merupakan sub sistem dari sistem pertahanan udara nasional yang bertugas menjaga kedaulatan Negara di Udara.
Apapun, kiranya pilihan harus segara dilakukan dengan segera bila kita tidak menginginkan terjadinya banyak hal yang akan mengejutkan kita semua berkait dengan masalah keselamatan penerbangan, dan lebih-lebih yang menyangkut langsung pada aspek “National Security” dalam konteks pengelolaan memelihara dan menjaga kedaulatan serta martabat Republik Indonesia di Udara.
Realitanya, pada Rapat Dengar Pendapat Komisi 5 DPR RI dengan Menhub, sesaat setelah terjadinya tabrakan pesawat di Halim, sudah ada kesepakatan berupa solusi bersama untuk mengupayakan mengembalikan fungsi Halim sebagai Pangkalan Angkatan Udara
Sekali lagi pilihan itu harus segera ditentukan, karena pada kenyataannya Halim saat ini sudah berada dalam keadaan yang nyerempet-nyerempet bahaya – Vivere Pericoloso !
Jakarta 3 Juni 2016
Sumber : Kompas.com – Editor : Wisnubrata