Sampai sekarang masih banyak yang beranggapan bahwa masalah FIR yang berkembang selama ini tidak ada hubungannya dengan kedaulatan negara. Dipastikan mereka ini adalah pihak yang kurang mengerti masalah penerbangan. Kurang mengerti pula apa yang dimaksud dengan kedaulatan. Bila kita berbicara tentang FIR dalam dimensi pengaturan lalulintas udara memang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kedaulatan, akan tetapi bila yang dimaksud FIR itu adalah FIR Singapura maka sangat jelas keterikatannya dengan kedaulatan Indonesia. Sebagian besar wilayah yang berada di FIR Singapura adalah wilayah kedaulatan Indonesia. Bagaimana kemudian kita bisa mengatakan FIR tidak ada hubungannya dengan kedaulatan.
Berikutnya lagi mengapa pula kita bersusah payah untuk mengambil alih atau re-alignment FIR Singapura. Buat apa kalau bukan untuk menjaga keutuhan dari kedaulatan Indonesia. Bila wilayah perairan Natuna dan Riau bukan wilayah kedaulatan Indonesia, mengapa pula kita berjuang agar kawasan tersebut harus menjadi wilayah yang berada dibawah FIR Jakarta.
Untuk diketahui saja bahwa upaya Indonesia mengambil alih FIR Natuna adalah karena perintah yang tercantum dalam UU No 1/2009. Undang undang tersebut mengamanatkan Pemerintah untuk mengelola semua wilayah kedaulatan udara Indonesia termasuk wilayah udara yang pengelolaannya di delegasikan kepada negara lain. Yang dimaksud dengan nagara lain disini adalah Singapura, karena Indonesia tidak mendelegasikan wilayah udara nya selain kepada Singapura.
Presiden mengatakan bahwa FIR Jakarta kini telah mencakup wlayah territorial Republik Indonesia. Artinya adalah bahwa FIR Jakarta mencakup wilayah kedaulatan Indonesia. Lalu bagaimana cara kita memahami bahwa FIR yang tengah menjadi trending topik belakangan ini tidak ada hubungannya dengan kedaulatan. Itu uraian untuk sekedar menyoroti dalam perspektif logika berpikir sederhana saja tentang FIR yang tidak ada hubungannya dengan kedaulatan.
Berikutnya adalah berbicara pengalaman panjang dalam melaksanakan operasi penerbangan di Kawasan perairan Natuna dan Riau. Bila kita hendak terbang dari Tanjung Pinang ke Natuna, wilayah kedaulatan Indonesia, kita harus memohon ijin terlebih dahulu ke otoritas penerbangan Singapura. Jangankan terbang, untuk menghidupkan mesin saja kita harus minta ijin “starting engine clearance” dari Singapura. Apakah ini tidak ada hubungannya dengan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka. Kita di halaman rumah sendiri, untuk bergerak saja harus minta ijin terlebih dahulu kepada tetangga rumah yang jauh lebih kecil.
Bagaimana menjelaskannya hal seperti ini dalam hubungan kedaulatan dan martabat sebagai bangsa. Bagaimana pesawat terbang Angkatan Udara yang akan menjalankan misi Air Patrol (Patroli Udara) di perairan Natuna dan Riau harus menunggu dengan sabar sampai diijinkan oleh Singapura baru diperkenankan untuk terbang.
Melakukan patroli perbatasan negara yang rawan, harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari Singapura. Belum lagi dengan palanggaran wilayah udara yang demikian banyak terekam di radar Kohanudnas sebagai akibat diijinkan oleh otoritas penerbangan Singapura untuk masuk wilayah teritori Indonesia tanpa ijin. Itu hanya beberapa hal saja dari fakta di lapangan yang terjadi selama ini. Bagaimana untuk dapat mengatakan FIR tidak ada hubungannya dengan kedaulatan dalam kasus kasus seperti ini.
Belum lagi pihak Singapura menetapkan kawasan “Danger Area” di kawasan FIR Singapura pada wilayah teritori Indonesia yang berakibat semua pesawat terbang Indonesia sipil dan militer dilarang terbang disitu. Apa pula namanya ini, pesawat terbang kita dilarang masuk sebuah kawasan di pekarangannya sendiri oleh negara tetangga. Masihkah relevan untuk dapat berkata FIR itu tidak ada hubungannya dengan kedaulatan negara ?
Selanjutnya, membandingkan pendelegasian otoritas penerbangan Australia kepada Indonesia di Cristmas Island dan juga Timor Leste dengan FIR Singapura adalah sangat jauh berbeda. Pendelegasian itu semata sebagai permintaan dari Australia dan Timor Leste, berbeda dengan FIR Singapura yang merupakan keinginan Singapura, bukan keinginan Indonesia. Setiap saat Australia dan Timor Leste hendak melaksanakan pengaturan lalulintas udaranya, pasti Indonesia akan dengan senang hati melepaskannya. Australia mohon bantuan Indonesia untuk mengelola air traffic di Christmas Island karena letaknya yang sangat jauh dari Australia. Lebih lagi karena tidak ada traffic yang sepadat di Singapura. Dalam satu minggu hanya ada 1 atau 2 flight saja yang terkadang batal terbang. Demikian pula Timor Leste karena tidak memiliki kemampuan untuk mengelola wilayah udara kedaulatannya dan untuk itu meminta bantuan Indonesia. Sama sekali bukan keinginan Indonesia.
Kawasan di selat Malaka, wilayah perairan Riau dan Natuna adalah merupakan wilayah perbatasan yang rawan. Wilayah dengan air traffic yang super padat. Wilayah perbatasan Indonesia dengan beberapa negara lain, wilayah yang setiap saat dapat mengundang terjadinya sengketa perbatasan. Wilayah yang selama ini dikenal sebagai pintu masuk dari banyak penerbangan gelap tanpa ijin. Wilayah yang masuk dalam prosedur standar untuk dilakukan pengamatan dan pengintaian radar serta patroli udara. Wilayah yang berbeda laksana bumi dan langit bila membandingkan dengan Christmas Island dan Timor Leste. Hanya mereka yang tidak memahami teknis pengelolaan lalu lintas penerbangan yang kemudian mencoba untuk membandingkan FIR Singapura dengan Christmas Island dan Timor Leste.
Kiranya itulah semua penjelasan yang sangat sederhana untuk dapat dimengerti bagi mereka yang masih tetap saja beranggapan bahwa FIR tidak ada hubungannya dengan kedaulatan. Sebuah pemikiran yang sangat naif dan memerlukan pencerahan.
Jakarta 29 Januari 2022
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia