Membangun karakter yang terfokus pada Moral dan Mental dapat diibaratkan sebagai pangkalan udara dari sebuah squadron tempur yang tangguh. Setangguh dan sehebat apapun squadron tempur yang dimiliki, apabila kondisi pangkalan udara nya rapuh, berantakan dan amburadul, maka akan sia-sia lah kita yang memiliki squadron tempur tersebut.
Dari sejarah kita belajar bahwa moral dan mental adalah merupakan hal paling utama yang ditumbuh kembangkan Bangsa Israel dan Jepang dimasa lalu sebagai basis untuk membangun kejayaan mereka.
Bahkan dalam menghadapi perang terbuka sekalipun, kita melihat bukti, dimana tentara Vietcong dengan hanya berbekal senjata dan logistik yang sangat terbatas, namun dengan mental dan moral yang membaja, ternyata berhasil menandingi pasukan Amerika sang adi kuasa. Disisi lain sejarah juga mencatat, dimana Belanda berhasil memporak porandakan moral dan mental bangsa kita, melalui strategi ”devide et empera” dan proses pembodohannya, telah berhasil menguasai Indonesia selama 3.5 abad.
Apabila ingin menjadi bangsa yang besar, kita harus jujur dan tidak munafik. Kalau memang lemah, harus mengakui kelemahannya, sehingga bisa memperkuat diri. Tanpa berbekal moral dan mental yang kuat, nasib kita akan berakhir dan terkapar sebagai ”Obyek Globalisasi”. Indikasi kearah ini sudah mulai jelas kelihatan didepan mata dengan tumbuh suburnya generasi ”infotainment”, merajalela nya penyebaran narkoba, korupsi berjamaah, perilaku seks bebas dan lain-lain.
Untuk bisa maju diperlukan keberanian. Harus bisa bersikap terbuka. Kalau ada yang bagus, kita adopsi, ada yang kurang pas, kita sesuaikan. Tanpa bermaksud untuk men TNI kan masyarakat, namun TNI bisa dijadikan contoh dari ”succsess story” sebuah pengabdian. Penggemblengan disiplin yang tinggi dengan doktrin yang berwawasan kebangsaan relatif telah berhasil membangun bekal hidup sekaligus jiwa pengabdian dengan komitmen yang tinggi dalam diri setiap insan TNI. Minimal terbangunnya disiplin pribadi dan orientasi yang lebih mendahulukan kepentingan yang lebih besar dari pada kepentingan diri sendiri atau golongan.
Walaupun bukan berarti jaminan bahwa seluruh anggota TNI itu sudah dapat terbangun karakter nya dengan baik, namun minimal dalam konteks pelaksanaan tugas , TNI sebagai institusi pada dasarnya sudah dapat lebih terkendali pada loyalitas kepada negara dan bangsa. Itu sebabnya, walaupun mempunyai kekuatan yang relatif lebih dan mempunyai kemampuan, namun tidak pernah terjadi kudeta di negeri ini.
Dimasa awal republik ini, dengan jargon terkenal dari Bung Karno ”Nation and Character Building” nya, kita mengenal konsep ”pendidikan dan pengajaran”. Para murid sekolah diberi porsi yang proporsional antara pendidikan dan pengajaran. Mereka diberi pendidikan berbagai ilmu dan juga pengajaran yang bernafaskan mental dan moral untuk membentuk karakter pribadinya. Akan tetapi saat ini pendidikan lebih terfokus kepada kompetensi ilmu belaka. Dengan demikian tidak menjadi aneh bila kita melihat hasilnya adalah orang-orang yang berilmu, namun dalam konteks moral dan mentalnya , Ibarat Makanan yang Rendah Kalori. Tidak semua, namun sebagian besar yang kita saksikan saat ini, adalah mengerucut pada gambaran yang sudah menuntut perhatian kita semua. Contoh yang sangat mudah kelihatan adalah bagaimana kita lihat tingkah dan polah para anggota DPR kita yang ”terhormat”? Beberapa hari yang lalu, kembali KPK menangkap basah anggota DPR dalam kasus suap yang sangat memalukan.
Hal ini membuat kita ragu, apa sebenarnya yang menjadi “tugas pokok” anggota DPR ? Uraian lebih detil, dari hal ini, dapat dibaca di harian Kompas dan Media Indonesia beberapa hari yang lalu dengan pembahasan yang sangat komprehensif. Sungguh memprihatinkan sekali !
Terpaksa kita semua harus :
”turut berduka cita ”
Semoga dosa-dosa mereka diampuni oleh Tuhan YME.
1 Comment
MALAPETAKA HUKUM DI INDONESIA
Putusan PN. Jakarta Pusat No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas klausula
baku yang digunakan Pelaku Usaha.Putusan ini telah dijadikan putusan rujukan/ yurisprudensi pada
26 Juni 2001.
Sebaliknya yang terjadi di Surakarta.
Putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan pasal-pasal Klausula Baku untuk
menolak gugatan. Putusan ini sekaligus sebagai “cover” bagi dugaan suap Rp. 5,4 jt untuk
pengurusan surat NO.B/3306/IX/2005/Reskrim di Polda Jawa Tengah (serta dugaan pelanggaran jaminan
fidusia dan penggelapan lainnya yang dilakukan Pelaku Usaha)
Inilah salah satu penyebab malapetaka hukum di negeri ini. Namun tidak perlu khawatir karena pada
dasarnya bangsa ini memang jenis bangsa pecundang, yang hanya mampu tirakat, prihatin – maksimum
menghimbau. Biarlah masalah seperti ini kita wariskan saja kepada cucu-cicit kita
Catur Danang,
email : prihatinhukum@gmail.com