Air France Flight 447 adalah sebuah penerbangan terjadwal yang menerbangi rute Rio de Janeiro, Brazil ke Paris,Perancis. 447 diketahui sebagai sebuah pesawat Airbus A-330-200 atau persisnya A-330 seri 203. Pesawat ini “crashed” di lautan Atlantik pada tanggal 1 Juni 2009.
Tanggal 2 Juni 2009, telah ada konfirmasi dari pihak Brazil, yang disampaikan oleh Kolonel Jorge Amaral, wakil kepala pusat penerangan Angkatan Udara ,tentang adanya serpihan dari kerangka pesawat di perairan lautan Atlantik dan dikhawatirkan dari 216 orang penumpang dan 12 crew nya tidak ada yang selamat. Paul Louis Arslanian, pejabat pada otoritas penerbangan Perancis mengatakan, bahwa kecelakaan ini adalah merupakan kecelakaan terburuk disepanjang sejarah penerbangan Perancis.
Kontak terakhir dari Flight 447 dengan petugas pengawas lalu lintas udara di darat adalah terjadi pada 3 jam 30 menit setelah pesawat take off. Kontak tersebut adalah berupa “position report” yang merupakan prosedur normal dari suatu operasi penerbangan biasa yang dilakukan oleh Pilot dengan petugas didarat. 40 menit setelah itu, diterima pesan otomatik dari ACAR, Aircraft Communication Addressing and Reporting system, suatu komunikasi digital data link yang menggunakan sarana radio satelit, menyebutkan tentang gangguan yang dialami Flight 447 berupa gangguan sistem listrik pesawat dan juga pada “cabin pressurization system” dan sesaat setelah itu pesawat menghilang.
Mari kita coba lihat beberapa kemungkinan-kemungkinannya.
Pesawat Air France Flight 447 adalah merupakan pesawat yang relatif baru dan merupakan produk teknologi sangat canggih yang penuh dengan penanganan suatu produk dari hasil penyempurnaan yang berlangsung tiada henti. Bagian yang utuh dari program modern yang dikenal dengan “continues and never ending improvement” berbasis antara lain dari hasil-hasil R and D, Research and Development. Air France sendiri berada dibawah pengawasan suatu otoritas penerbangan Perancis, bagian dari otoritas penerbangan Eropa yang dikenal sangat “strict” . Kecil sekali “kecerobohan” dalam masalah pemeliharaan pesawat dan pemeliharaan “skill” awak pesawat bisa terjadi. “perdagangan” perijinan dan proses sertifikasi kualifikasi awak pesawat rasa-rasanya amat tidak mungkin terjadi.
Kemungkinan Bom atau bahan peledak.
Saya tidak begitu mengetahui seberapa ketat sistem pengamanan International Airport di Rio de Janeiro. Akan tetapi saya yakin para petugas “security” dari pihak Air France sendiri yang bertugas didarat adalah terdiri dari orang-orang dengan kualifikasi yang sesuai persyaratan. Namun ada catatan sedikit tentang kemungkinan akan adanya kemungkinan pesawat di selundupkan bom atau sejenis bahan peledak lainnya.
Pada tanggal 27 Mei 2009, hanya beberapa hari sebelum kecelakaan terjadi, pihak Air France menerima ancaman akan adanya Bom dipesawat pada rute penerbangan Air France dari Buenos Aires ke Paris. Menanggapi ancaman ini, pihak otoritas penerbangan Argentina di Ezeiza International Airport Buenos Aires menunda keberangkatan pesawat selama lebih dari 90 menit untuk melakukan pemeriksaan pesawat. Setelah tidak ditemukan hal mencurigakan, pesawat kemudian diijinkan untuk take off dan penerbangan dapat terlaksana dengan aman dan selamat tiba di Paris. Pihak penguasa penerbangan Perancis tidak menindaklanjuti ancaman Bom ini, terlebih karena tidak ada pula satu organisasi pun yang meng-klaim terhadap ancaman tersebut.
Berkait dengan hal ini, beberapa waktu kemudian Menteri Pertahanan Brazil memberikan penjelasan bahwa dalam penemuan serpihan pesawat di perairan lautan Atlantik, selain ditemukannya beberapa pecahan berasal dari badan pesawat, telah ditemukan pula bekas dari aluran sisa bahan bakar didekatnya. Dengan ini maka dapat dipastikan, demikian penjelasannya, bahwa hancurnya pesawat bukan disebabkan oleh bahan peledak atau sejenis bom. Beberapa pihak mengatakan bahwa penjelasan ini memang perlu atau ada kepentingan pihak Brazil untuk mengutarakannya berkait dengan sistem pengamanan bandara internasional Rio de Janeiro, tempat pesawat Air France Flight 447 yang naas itu tinggal landas.
Disambar Petir.
Beberapa media telah pula memuat penjelasan dari beberapa sumber yang telah mencurigai bahwa pesawat telah tersambar petir dalam perjalanannya di ketinggian 35000 kaki. Kecurigaan ini didukung dengan beberapa perkiraan yang diperoleh dari kondisi cuaca didekat dan sekitar rute penerbangan Flight 447.
Khusus tentang pesawat terbang disambar petir, kemungkinannya agak sulit untuk dapat diterima. Design dari suatu pesawat terbang adalah, sudah dilengkapi dengan peralatan pencegah terhadap bahaya petir. Apabila muatan listrik dari sambaran petir mengenai pesawat, maka muatan listrik tersebut akan segera di salurkan keluar melalui apa yang dikenal dengan “static discharges” yang berupa kabel-kabel kecil diujung bidang kemudi pesawat. Demikian pula, pada saat pesawat mendarat, sisa-sisa muatan listrik dipesawat akan disalurkan melalui kabel-kabel dekat roda pesawat atau juga ban pesawat untuk di “grounding”, dinetralisir dengan menyalkurkannya ke tanah seperti pada proses penangkal petir di gedung-gedung tinggi. Dengan demikian petir sebagai penyebab kecelakaan , masih perlu pembuktian yang lebih teknis lagi sifatnya.
Cuaca buruk.
Penyebab lainnya yang dicurigai sebagai penyebab terjadinya kecelakaan adalah cuaca buruk yang terhampar disekitar daerah rute penerbangan. Diperkirakan terganggu oleh adanya ICZ, Intertropical Convergence Zone di atas perairan lautan Atlantik. Biasanya didaerah ICZ dan sekitarnya ini akan terbentu area dengan “heavy turbulance” yaitu gerakan udara yang amburadul dengan kecepatan yang tinggi.
Untuk hal ini, kemungkinannya kecil sekali. Pesawat Airbus A-330-200, dilengkapi dengan “weather radar” yang dapat mendeteksi kondisi cuaca didepannya sampai dengan jarak lebih kurang 150 nm. Indikasi awan aktif yang bermuatan turbulensi, dapat dibaca di radar kokpit pesawat berupa warna hijau, kuning dan merah. Warna hijau berarti memuat turbulensi ringan, warna kuning agak berat dan warna merah mengindikasikan “heavy turbulance” yang berbahaya dan harus dihindari oleh pesawat terbang. Area berwarna merah di radar cuaca pesawat terbang hanya boleh di tembus atas 3 alasan saja, berdasar pada aturan penerbangan internasional. Pertama adalah, bila berada dalam keadaan perang, kedua bila membawa pasien sakit parah (serious illness on board) dan ketiga adalah bila kehabisan bensin (short of fuel). Semua penerbang, dapat dipastikan tidak akan ada yang mau mencoba area merah di radar cuaca pesawatnya.
Penyebab lainnya yang masih harus dicarikan buktinya adalah gangguan listrik yang dilaporkan sistem ACAR pada 40 menit setelah laporan terakhir itu telah mengganggu sistem komputer dari kendali pesawat yang formatnya adalah “fly by wire”.
Semua dugaan masih harus dibuktikan dengan mengumpulkan data-data yang ada. Data yang paling akurat sebenarnya adalah berada di Black Box pesawat, namun pihak Perancis agak pesimis untuk dapat menemukannya.
Untuk dapat mengetahui lebih jauh “apa sebenarnya yang terjadi“ ,kita tunggu saja dulu perkembangan lebih lanjut dan nanti akan kita coba bersama untuk menganalisisnya lebih jauh.
1 Comment
Menjadi hal yang menarik bagi saya karena sistem fly by wire yang diterapkan pada pesawat-pesawat modern. Masih hangat di kepala saya terhadap kepiawaian Pilot Garuda Capt. Abdul Rozak yang berhasil mendaratkan pesawatnya di sungai Bengawan Solo dalam keadaan totaly power down. Apakah ada mekanisme untuk mengantisipasi keadaan darurat ketika-katakanlah pesawat mengalami gangguan “hardware” atau gangguan kelistrikan sehingga pilot harus mengambil alih kemudi secara manual? Pertanyaan ini menjadi penting menurut saya, sebab secanggih-canggihnya hardware suatu sistem komputer pasti ada suatu saat mengalami malfunction-atau dalam bahasa komputer disebut hang.
Hal berikutnya, setelah saya-sebagai seorang awam-yang mulai tertarik dengan dunia penerbangan, pernah saya baca-baca juga tentang fly by wire yang menyatakan bahwa sistem fly by wire ini dapat mencegah pilot melakukan pengendalian secara berlebihan. Yang saya maksud disini adalah seperti pada (membayangkan menyetir mobil atau spd motor) keadaan membanting stir. Pilot tidak bisa “memaksa” pesawat untuk mengalami kondisi “bank angle” atau terlalu mendongak atau terlalu menunduk. Pertanyaan saya adalah: ketika pesawat mengalami kondisi darurat-dalam hal ini, maaf, saya membayangkan saat tragedi pesawat adam air 574. Ketika pilot menyadari bahwa nose sudah terlalu menunduk dan pesawat sudah mulai terjun bebas, pilot adam air masih berusaha menaikkan hidung pesawat. Nah, bagaimana bila saat itu sistem kemudi sudah menggunakan joystick. Apakah pilot masih bisa bertindak dengan “memaksa” pesawat untuk di pull up? Atau pilot sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, katakanlah karena hardware pesawat sudah mulai mengalami kerusakan?
Terima kasih