Jenderal Dwight Eisenhower, menulis dalam bukunya “Crusade in Europe” tentang bagaimana prosesnya Amerika Serikat membangun dan memiliki Angkatan Perang yang kuat, yang kemudian terkenal dengan konsep strategisnya bertajuk
“Global Reach, Global Power”
Jadi pada awalnya Amerika Serikat merasa sangat nyaman dengan posisinya yang jauh dari hiruk pikuknya dunia dan tidak merasa perlu untuk memiliki kekuatan Angkatan Perang yang kuat. Posisi Amerika yang berada di remote area, dipercaya akan menghindarkan Amerika dari konflik yang terjadi di Eropa dan Asia.
Di tahun 1939, Amerika cukup merasa nyaman dengan hanya memilki 130.000 orang anggota angkatan perang ( darat, laut dan udara). Saat itu hanya ada beberapa perwira professional dan sedikit negarawan yang mempunyai visi, mendesak pemerintah untuk membangun dan mengembangkan Angkatan Perang yang kuat. Usulan ini benar-benar telah dianggap angin lalu oleh kongres Amerika. Dengan berkembangnya eskalasi peperangan di awal tahun 1940 an, ternyata dan sangat diluar perhitungan dan juga tanpa memaklumkan perang, pangkalan Pearl Harbour di bombardir oleh pasukan Jepang. Disinilah Amerika kemudian merasakan posisinya tiba-tiba telah berada di tepi jurang antara hidup dan mati.
Serangan Jepang ke Pearl Harbour telah menjadi “wake up call” bagi pemerintah dan kongres Amerika untuk kemudian sadar bahwa bahaya besar telah menghadang di serambi negaranya. Dalam posisi yang seperti ini maka hanya satu pilihan yang harus segera dilaksanakan yaitu membangun dan memiliki Angkatan Perang yang kuat. Ini telah menjadi masalah “hidup atau mati”
India di tahun 1950 an banyak menghadapi sengketa perbatasan dan juga tentang masalah Kashmir yang membuat Negara nya berada pada posisi di ujung tanduk menghadapi masalah hidup atau mati , sehingga tidak mempunyai pilihan lain selain membangun Angkatan Perang yang kuat.
Presiden Soekarno, Ahmadinejad di Iran, Kim Il Sung di Korea Utara dan Lee Kuan Yew di Singapura, adalah beberapa contoh dari pemimpin visioner kelas dunia yang “gila” (gila dalam pengertian yang positif) yang dengan tanpa keraguan sedikit pun, karena kesadaran yang kuat bahwa negaranya adalah merupakan bangsa yang besar dan pula tidak harus melihat dulu adanya ancaman di depan hidung, segera saja membangun dan memiliki Angkatan Perang yang kuat bagi negaranya. Singapura, Negara yang paling kecil di kawasan Asean, bahkan telah menjadi Negara yang paling unggul dalam kekuatan militer nya. Mereka itu adalah para Pemimpin . Pemimpin visioner dan pemimpin yang visioner ternyata telah memiliki talenta yang sudah ada dari sejak lahir yaitu : Keberanian dan Kehormatan.
Dari uraian diatas, menjadi jelas, bahwa suatu Negara akan memiliki kekuatan Angkatan Perang yang kuat hanya dengan dua alasan yaitu : bila mereka menghadapi masalah hidup mati atau bila mereka memiliki pemimpin yang visioner.
Membangun dan atau kemudian memiliki satu Angkatan Perang yang kuat, ternyata tidak ada hubungannya dengan kondisi financial suatu Negara. Bung Karno dan juga Korea Utara dan India, memiliki Angkatan Perang kuat dalam kondisi Negara nya tidak dalam keadaan yang bagus kondisi financial nya.
Bung Karno, memiliki Angkatan Perang yang kuat, sementara rakyat nya antri beras dan minyak tanah. Namun sekarang ini, kita pun masih antri beras dan minyak tanah akan tetapi kita tidak memiliki Angkatan Perang yang kuat.
Bagi para militer professional dan para negarawan sejati , peristiwa Bawean (berkeliarannya pesawat terbang Angkatan laut Amerika ) dan peristiwa Ambalat (diserempetnya kapal Angkatan Laut RI oleh kapal Malaysia ) sebenarnya sudah menempatkan Negara kita pada posisi dalam urusan hidup dan mati. Karena disitu telah terjadi pelecehan terhadap kehormatan dan kedaulatan ibu pertiwi.
Berikut, mari kita lihat lebih lanjut tentang keberadaan Angkatan Perang Republik Indonesia atau TNI, Tentara Nsioanal Indonesia. Sejak reformasi bergulir, maka posisi TNI menjadi sangat runyam. Upaya untuk melengkapi unsur tempur agar dapat mencapai “combat readiness” yang minimal selalu saja mendapatkan tentangan yang luar biasa. Pengadaan pesawat Sukhoi yang hanya empat buah dan juga pengadaan panser yang hanya dalam unit kecil diributkan habis-habisan oleh mereka yang melihatnya sebagai sesuatu yang negatif. Belakangan diketahui bahwa sebagian dari mereka yang menentang itu ternyata berasal dari species yang sama dengan kelompok yang memiliki bisnis amplop dan fit and proper test ala Agus Condro.
Agak sulit dipahami, bahwa telah berkembang dendam dan kebencian yang mendalam terhadap TNI, yang dianggap telah berfoya-foya selama lebih dari 30 tahun di era orde baru. Ada nuansa bahwa sekarang gantian dong, TNI harus menderita.
Mulai dari dihapusnya dwi fungsi, serta mencopot dan membersihkan seluruh jabatan yang diduduki personil militer atau ex militer. TNI tidak boleh berpolitik, harus hengkang dari DPR, semua personilnya harus disingkirkan dari semua bidang dan harus masuk ke barak. Namun anehnya sekaligus ajaib, jabatan Panglima TNI harus melalui proses “fit and proper test” di DPR, sebuah lembaga politik. Satu jabatan jenjang karier yang harus melalui pengalaman puluhan tahun, diharuskan melalui test yang diselenggarakan oleh mereka yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang karier militer, yang bahkan nuansa politk nya justru sangat kental. Benar- benar aneh bin ajaib. Dilanjutkan kemudian dengan upaya menghilangkan fungsi teritorial TNI AD.
Pada saat GAM, TNI diposisikan sebagai unsur berdiri sendiri yang menyerang GAM. Padahal dalam konteks ini, norma yang dianut bagi militer professional dan negarawan sejati adalah, apabila ada sekelompok orang mengangkat senjata yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan, maka posisinya menjadi sangat jelas yaitu sebagai kaum separatis yang harus segera ditindak tegas. Sama sekali bukanlah ajang teater untuk mencari hadiah nobel perdamaian.
Dalam masalah TIMTIM, TNI telah diposisikan sebagai unit yang juga berdiri sendiri. Setelah keputusan yang aneh, untuk menghindarkan istilah keputusan yang tolol, yaitu memerdekakan Timor Leste, maka serta merta TNI, ABRI waktu itu lalu menjadi pihak yang salah, karena tidak mampu menguasai keadaan.
Proses berikutnya adalah pemusnahan bisnis TNI. Walaupun ada benarnya, akan tetapi tidakkah ada jalan atau solusi yang lebih bersahabat. Mengingat banyak manfaat yang telah diperoleh dari badan usaha tersebut untuk membantu meningkatkan kesejahteraan prajurit dan juga membantu para janda prajurit serta anak yatim yang ditinggal suami dan ayah tercintanya dalam menjalankan tugas Negara. Tidak ada satu pun pihak yang memperdulikan ini. Saya pernah berkunjung ke Seoul di Korea Selatan dan bertemu dengan beberapa pejabat di hotel berbintang yang ternyata merupakan milik dari Angkatan Darat Amerika, demikian pula pada beberapa Negara, banyak Angkatan Perang nya yang memiliki unit usaha. Tidak ada yang salah dengan itu, selama tidak ada aturan yang dilanggar. Namun disini, bahkan koperasi TNI pun dituntut untuk dihapus. Semua berpola pada eliminasi dan pembasmian total, tanpa ada yang memikirkan sisi lain dari hal tersebut.
Tidak ada satu pun uluran tangan yang simpatik. TNI telah ditempatkan sebagai musuh. Demikian pula dengan tulisan atau ulasan-ulasan tentang TNI selalu terasa jelas nuansa kebencian yang mendalam terhadap TNI. Hal ini dapat dimaklumi, karena mereka sebenar nya tidak lah mengetahui dengan benar apa sebenarnya yang ada dan terjadi di TNI, mereka tidak mengetahui betapa banyak anggota TNI yang berdedikasi tinggi menjalankan tugas tanpa memikirkan kepentingan dirinya. Mereka tidak mengetahui betapa penderitaan para janda dan yatim piatu yang ditinggalkan ayah nya dalam menjalankan tugas Negara, dan banyak lagi.
Masih lagi dipersoalkan tentang reformasi TNI yang katanya jalan ditempat. Untuk menyegarkan kembali bagi mereka yang masih melihat TNI dari sudut pandang yang negatif. TNI telah dengan kemauan sendiri mengundurkan diri dari DPR/MPR jauh lebih awal dari waktu yang dijadwalkan. Keseluruhan tuntutan tentang apa saja seperti bisnis TNI dan lain-lain, semuanya tengah berjalan. Bersabarlah, semua itu memerlukan waktu, dan yang paling penting jajaran pimpinan TNI telah memperlihatkan iktikad baik nya. Seyogya nya harus diingat, bahwa semua anggota TNI itu adalah manusia biasa, yang juga memiliki hati dan akal budi, selama pendekatan dilakukan dengan pendekatan yang manusiawi dan proporsional, saya yakin tidak akan ada penolakan yang membabi buta dari TNI.
Bahkan ada seorang sahabat yang menyampaikan hal yang sama sekali tidak terpikirkan oleh saya yaitu : Setelah dipisahkannya TNI dan Polri, maka kedudukan Kas Angkatan yang tadinya setara dengan Kapolri tiba-tiba saja kedudukan dari para kepala staf Angkatan Darat, Laut dan Udara menjadi setingkat dibawah Kapolri. Setidaknya dalam perlakuan protocol kenegaraan, sebagai konsekuensi Kas Angkatan berada di bawah Panglima TNI, sementara Kapolri berada di bawah langsung Presiden. Hal ini berlaku pula dalam hal penerimaan penghargaan dari Negara, maka apabila Panglima TNI dan Kapolri menerimanya, maka otomatis, para Kas Angkatan hanya akan memperoleh penghargaan yang satu tingkat dibawahnya. Disadari atau tidak, maka pada saatnya maka kedudukan Kas Angkatan akan setara dengan jabatan Kapolda. Khusus tentang hal ini, saya sampaikan bahwa dapat dipastikan TNI tidak lah akan pernah mempersoalkan masalah tentang kedudukan dan penghargaan, walaupun soliditas anggota kesatuan memerlukan kebanggaan dan jiwa korsa yang tinggi.
Ada pula usulan dari salah seorang anggota DPR yang mengharapkan Mabes TNI dan Dephan untuk memelopori dalam upaya mengembangkan industri strategis dalam rangka membuka peluang kerja dan sekaligus dapat membangun peralatan militer yang kuat. Untuk hal ini saya ingin mengatakan bahwa anda keliru, karena justru lembaga DPR lah yang lebih mempunyai kekuasaan mengambil inisiatif untuk memulainya. Sebabnya adalah TNI sebagai bagian dari satu system, maka tidak ada satu unsur pun yang dapat berubah tanpa mengubah unsur-unsur lainnya. Haruslah selalu disadari bahwa TNI bukanlah institusi yang berdiri sendiri, dia adalah merupakan bagian yang utuh dan tunduk pada system Negara.
Diluar dari itu, saya percaya bahwa TNI senantiasa selalu terbuka dengan koreksi-koreksi yang selalu berdatangan, selama hal tersebut bersifat membangun dan merupakan bagian dari keperdulian untuk kemajuan TNI dan NKRI.
Akan tetapi apabila kita hendak segera memiliki Angkatan Perang yang kuat, maka hanya dua hal yang harus ditunggu yaitu, bila Negara berada dalam posisi hidup atau mati, atau menunggu datang nya pemimpin visioner kelas dunia dan “gila”.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan kepada seluruh jajaran TNI yang saya cintai dimanapun berada, janganlah mudah terpengaruh dengan apapun yang melanda TNI, biarkan anjing menggonggong kafilah lalu. Sesuai sapta marga dan sumpah prajurit jalankanlah tugas anda tanpa memperhitungkan apapun selain loyalitas kepada bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena peringatan 5 Oktober kali ini akan berlangsung di Surabaya , saya teringat pada kata-kata yang saya peroleh di pangkalan Angkatan Laut Surabaya, lebih dari 30 tahun yang lalu : “Tenang dalam derita, tabah sampai akhir”. Maju terus, Dirgahayu dan Jayalah TNI.
4 Comments
Pak Chappy, saya pikir yg perlu digarisbawahi di sini adalah fungsi dari TNI itu sendiri. Bisa dibayangkan, 2/3 wilayah NKRI terdiri dari lautan, tapi unsur TNI belum optimal mengamankan 2/3 wilayah tadi. Di kemudian hari perlu dipikirkan, bisakah kita merubah paradigma angkatan bersenjata yg berideologi maritim. Ini juga tanpa didukung matra udara yg kuat, tidak akan byk manfaatnya.
Untuk kepolisian, saya pikir paradigmanya jg harus mulai dirubah. Terakhir kali dengan merubah penyebutan kepangkatan, akan tetapi atributnya msh tdk beda dgn militer. Padahal, Kepolisian RI seharusnya masuk ke dlm unsur keamanan sipil. Jika kedua paradigma tadi sudah diluruskan, tidak perlu lagi mempersoalkan kedudukan kapolda ataupun kepala staf. Sekalipun sama2 disebut alat negara, akan tetapi sudah beda jalur.
Bapak saya(TNI AL), paman(TNI AU), kakek(TNI AD) tentara dengan pangkat rendah, saya, sepupu saya, tidak ada yang bisa mengenyam pendidikan yang tinggi, karena apa.., beliau sering ceritakan bahwa pengabdian jadi tentara bukan untuk mencari uang atau menjadi kaya ,beliau sering memberikan wejangan kepada kami anak-anaknya, cucu-cucunya. Menjadi tentara semata-mata pengabdian tulus untuk kebesaran Bangsa dan Negara. Walaupun demikian kami bangga mempunyai orang tua yang tidak mewariskan harta dan kekayaan, kami hanya diwarisi nilai-nilai tinggi rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa ini. Biarlah kami kaya akan arti (Kartika Eka Phaksi, Jalesveva Jaya Mahe, Swa Buana Paksa. Dari pada kami diberi warisan harta orang tuanya “Tentara Ngobyek”.
wasalam. TG
Kita memang prihatin sekali ! Terimakasih dan Salam Pak !
Terharu baca artikel bapak ayah dan suami saya tentara jd jiwa saya pun mencintai tentara..rasanya miris spt tertohok mengetahui sgitu bencinya mereka ingin menyingkirkan TNI pdhal TNI sesungguhnya lbh profesional tdk hanya dlm militer tp jg politik