Apabila kita sedang sehat wal afiat, terkadang kita tidak menyadari bahwa “sehat” itu adalah nikmat. Begitu kita jatuh sakit, apapun dan seringan apapun sakitnya, maka barulah kita merasa bahwa “sehat” itu ternyata nikmat sekali. Katakan saja, kita sedang sakit gigi, maka langsung saja kita merasa susah sekali untuk makan. Melihat makanan yang paling lezat sekalipun, tidak akan timbul keinginan untuk menyantapnya. Demikian pula saat kita terkilir kaki karena olah raga yang kurang melakukan pemanasan yang cukup.
Maka terasalah, betapa nikmatnya memiliki kaki yang tidak terkilir. Bisa bergerak dengan bebas tanpa hambatan sedikit pun, karena dengan terkilir, maka otomatis kita akan menjadi terbatas dalam bergerak. Pada waktu kita demam, karena masuk angin, mengakibatkan susah tidur dan juga susah untuk mandi dengan air dingin. Barulah kemudian kita merasa betapa nikmatnya membayangkan pada waktu badan terasa sehat. Setidaknya itulah yang dirasakan pada umumnya, pada waktu sehat, maka kita lupa bahwa kita tengah menikmati kebesaran Tuhan dengan segala kemurahan dan kasihnya.
Ini baru satu saja aspek dalam hidup yaitu “kesehatan”. Ekstrimnya, kesehatan itu menjadi tidak ada artinya, dan baru disadari kenikmatannya pada waktu kita jatuh sakit. Ada pepatah yang sangat menarik untuk direnungkan bersama yang berbunyi “Health is not everything. But, without health, everything is nothing !”. Dalam sekali artinya. Jadi dengan ini, saya ingin mengajak kita semua, marilah kita mensukuri nikmat Allah yang tiada tara itu.
Demikian pula dengan apa yang saya alami beberapa tahun yang lalu ketika berhadapan dengan teman-teman di Ambon. Tahun 1970 an, saya acapkali berdinas di Ambon, stand by di pangkalan udara Laha, yang bebatasan dengan Tawiri. Keduanya terletak di teluk Ambon yang sangat indah sekali pemandangannya. Lebih dari itu, kerukunan penduduknya, yang berlainan agama begitu erat hubungannya. Semua terasa bersaudara dekat. Tinggal disana 1 sampai dengan 2 bulan terasa seperti hanya 1 atau 2 hari saja. Pemandangan yang indah, penduduk yang sangat bersahabat dan cuaca yang senantiasa bagus, kecuali di musim hujan. Semuanya terasa menyenangkan. Berbaur dengan penduduk setempat, bermain bola dilapangan, memancing ikan di tepi pantai, bercanda dengan mereka semuanya.
Saya masih ingat, pada waktu itu, kita cukup berdiri saja di pinggir dermaga yang sederhana terbuat dari kayu, kita dapat memancing ikan , cukup dengan kawat yang dibengkokkan saja, tanpa umpan, kita sudah mendapatkan ikan. Kailnya dikenal dengan sebutan “ciki-ciki”, begitu anak-anak disekitar dermaga menyebutnya. Di Mess tempat kami tinggal ada tiga orang yang melayani, dan mereka biasa disapa dengan sebutan atau panggilan Om Boli, Om Joni dan Tante Doli. Mereka bertiga lah yang melayani para awak pesawat yang tinggal di Mess Pangkalan Udara Pattimura Ambon. Tante Doli, pintar juga memasak sayur asem. Kelemahannya, bila dihari pertama kita tiba dan disajikan sayur asem nya, jangan terburu-buru memuji nya dengan mengatakan bahwa sayur asem nya enak. Risikonya, adalah, sepanjang kita tinggal di Ambon satu bulan itu kita akan disajikan sayur asem terus menerus. Itulah Tante Doli, yang memanjakan para awak pesawat sebagai mana layak nya seorang ibu yang mengasuh anak-anaknya. Om Boli dan Om Joni, bertugas membersihkan Mess dan segala perabotannya dan juga berkebun ala kadarnya. Itulah semua kenangan manis selama Stand by di Ambon. Itu lebih kurang 35 tahun yang lalu.
Tahun 2004, saya berkunjung lagi ke Pangkalan Angkatan Udara Pattimura di Laha, Ambon. Apa yang saya saksikan? Sungguh-sungguh memilukan hati. Saya bukan orang Ambon, akan tetapi karena seringnya saya berdinas di Ambon pada tahun 1970 an, saya merasakan Ambon sebagai kampung halaman saya sendiri. Betapa tidak, saat itu umur saya baru sekita 20-an tahun, dan saya berbaur dengan penduduk setempat yang sangat bersahabat, berhati riang dan selalu bercanda sambil bermain cukulele dan bernyanyi. Namun yang saya saksikan di tahun 2004, benar-benar telah mebuat hati saya menangis. Menangis dalam arti yang sebenarnya. menangis, karena menyaksikan banyak bangunan yang porak poranda, tidak lagi kelihatan suasana yang bersahabat riang gembira. Semuanya lenyap, sirna dari pandangan mata.
Saya tidak dapat bertemu lagi dengan Tante Doli, Om Boli dan Om Joni. Beberapa orang, anggota Angkatan Udara yang berdinas disitu, semuanya mengatakan, suasana di Laha dan Tawiri selalu tegang. Entah apa yang sudah terjadi, saya tidak sanggup membayangkannya. Pemandangan yang sangat indah di tahun 1970 an, sudah tidak ada lagi bekasnya. Disana sini terlihat puing-puing berantakan , pantai yang kotor dan bangunan seolah tidak ada yang utuh, kebanyakan terlihat seperti habis terbakar.
Benar-benar menyedihkan dan membuat hati perih sedih dan pilu silih berganti. Bersukurlah, keributan telah berlalu, akan tetapi sisa-sisa yang ditinggalkannya, terasa akan memakan waktu yang cukup lama untuk dapat diperbaiki kembali. Betapa jahatnya, tangan-tangan yang kotor yang telah begitu tega mengadu domba para penduduk yang tiada berdosa. Disini kemudian teringat kembali saya akan kebesaran Tuhan yang maha Kuasa. Pada saat terjadi huru hara yang mencekam beberapa tahun yang lalu, mungkin saja, mereka baru menyadari betapa nikmatnya hidup dalam damai. Seyogyanyalah kita memang harus pandai-pandai bersukur, agar dengan demikian apabila kita hendak mengerjakan sesuatu yang tidak ada faedahnya, kita akan berpikir puluhan kali untuk memulainya. Kembali, seperti juga “sehat” yang terkadang lupa kita nikmati, padahal begitu kita sakit, maka barulah menyadari bahwa betapa nikmatnya sehat itu.
Semoga, suasana damai dimanapun, dapat terjaga dengan baik dan selamanya.