Kelemahan yang sangat mendasar dari bangsa kita adalah dalam menepati waktu. Untuk hal ini banyak sekali olok-olok yang muncul sebagai reaksi kekecewaan orang terhadap kebiasaan terlambat dari orang Indonesia. Pada satu waktu di tahun 1970-an, saya berjumpa dengan seorang bangsa Belanda (dia fasih berbahasa Indonesia) yang tengah sama-sama transit di Pelabuhan Udara Biak. Dia hendak ke Jayapura dan saya akan kembali ke Jakarta. Ditengah asyik berbicara tentang dunia penerbangan, dengan maksud untuk tidak menyebabkan dia terlambat, saya tanyakan jam berapa pesawat yang akan ditumpanginya ke Jayapura itu akan take off. Dengan tenang dia mengatakan jam 10.00, yang kemudian saya lanjutkan dengan bertanya 10 waktu mana ( beda waktu wib dengan wit adalah 2 jam), karena dia baru tiba dari Jakarta dan saya sendiri akan menuju Jakarta. Dia tidak mengatakan wib atau wit, tetapi disebutnya sebagai wik. Wah, apa itu wik? Dengan setengah bergelak dia menjawab WIK itu sebagai Waktu Indonesia Kira-kira, sambil menceritakan bahwa selama lebih dari dua tahun di Indonesia dia tidak pernah mengalami terbang dengan tepat waktu.
Terlalu banyak contoh untuk dapat mengemukakan mengenai kelemahan yang satu ini. Salah satu Lembaga Tinggi Negara yang mungkin paling sibuk menggelar rapat dalam mekanisme kerjanya adalah DPR. Rapat yang paling banyak diselenggarakan, mungkin rapat yang bernama Rapat Dengar Pendapat (RDP). Rapat ini biasanya diselenggarakan oleh komisi-komisi di DPR. Pengalaman saya selama tiga tahun, mengikuti kegiatan RDP di DPR Republik Indonesia, tidak pernah satupun yang berlangsung dengan tepat waktu. Selalu terlambat dan beranggapan bahwa terlambat itu ya tidak apa-apa.
Beruntung, dimasa kecil , ayah saya mengajarkan dengan keras soal menepati waktu ini. Pertamakali ayah menegur saya tentang terlambat, beliau tidak memarahi dengan kasar atau menghukum dengan keras. Beliau hanya mengutarakan saja, bahwa ayah saya menginginkan didalam rumah ini tidak ada orang yang mengabaikan tentang ketepatan waktu, lebih-lebih bila sudah berjanji. Tepat waktu tidak mengenal hierarchies, siapa saja, tua muda , atasan bawahan dan entah siapa lagi, begitu sepakat dengan satu waktu yang telah ditentukan, maka wajib hukumnya bagi semua untuk menaati. Tepat waktu adalah refleksi dari tanggung jawab perorangan. Ayah bercerita tentang gurunya orang Belanda, bila jam pelajarannya mulai pukul 9, itu tidak berarti jam 9 dia datang. Lima menit sebelum jam 9, sang guru sudah berdiri didepan pintu. Penekanan beliau adalah, bila ingin sukses, dimana saja, haruslah dimulai dari hal yang prinsip ini, yaitu tepat waktu. Tepatilah waktu, dan Insya Allah anda akan sukses.
Teringat kemudian, dimasa masih di sekolah rakyat, sekarang sekolah dasar, kami anak-anak di jalan Segara IV sangat gemar sepakbola. Waktu itu beberapa pemain terkenal kesebelasan Indonesia yang menjadi idola antara lain adalah Van der Vijn, Ramang , Kiat Sek, Tan Liong How, Witarsa , Saelan, Rukma, Suwardi, Nursalam dan lain-lain. Ada orang Belanda, orang keturunan Cina dan lainnya lagi. Klub Persija waktu itu terdiri dari banyak perkumpulan, antara lain Setia , UMS, Hercules, Chung Hua, MBFA dan lain-lain. Anak-anak Segara IV pun tidak mau kalah, mereka kemudian membentuk PSSR, Persatuan Sepakbola Segara Remaja. Nah disinilah, saya dan abang saya mengkoordinir anak-anak Segara IV dalam bermain bola untuk tepat waktu. Sebabnya sederhana sekali, yaitu saya dan abang saya hanya mempunyai waktu bermain dari jam empat sore sampai menjelang maghrib saja, sedangkan anak-anak lainnya bisa bermain sampai malam hari. Bagi saya dan abang saya, bila terlambat pulang selepas maghrib, maka sudah pasti akan di “rotan” atau di “rim” (rim adalah bahasa belanda yang berarti ikat pinggang) di rumah. Sehingga, secara tidak sengaja juga, saya dan abang saya mengajarkan tentang tepat waktu kepada teman-teman lainnya, walaupun hanya untuk sekedar bermain bola.
Di tahun 1961, saya masih duduk dibangku kelas 1 SMP, ayah saya mendapat undangan dari pemerintah Jerman Barat untuk melakukan “ tur jurnalistik ” ke Jerman Barat. Namun dengan beberapa kegiatan kantor lainnya, ayah saya juga kemudian berkunjung ke London, disana ada Bapak Mashud, kepala perwakilan Kantor Berita Antara di Inggris. Kemudian juga ke Moskow, diundang oleh Adam Malik, Duta Besar luar biasa dan berkuasa penuh Republik Indonesia untuk Uni Sovyet. Dalam perjalanan pulang ayah saya juga sempat mampir di Kairo. Perjalanan utama adalah perjalanan jurnalistik memenuhi undangan pemerintah Jerman Barat. Bagi ayah saya, tur ini adalah kesempatan yang pertama kali bepergian ke Eropa.
Demikianlah di hari yang sudah ditentukan itu saya dan ibu mengantar ayah berangkat sampai ke pelabuhan udara Internasional yang waktu itu masih berlokasi di Kemayoran. Pagi hari sebelum berangkat, ayah saya sudah siap jauh lebih awal, sampai ibu saya mengingatkan untuk jangan “nerveus”, relaks, waktu masih cukup, tidak akan terlambatlah. Sesampai di Kemayoran, sudah menunggu disitu Atase Pers kedutaan Jerman Barat di Indonesia yang juga turut mengantar keberangkatan ayah saya. Seperti biasanya ibu-ibu, ibu saya becerita basa basi ke pada Atase Pers Jerman, bahwa Ayah saya terlihat nerveus, takut terlambat. Langsung saja sang Atase berkata kepada ayah saya, tenang saja pak, bila terlambat dengan pesawat ini, kita masih bisa dengan pesawat berikutnya esok pagi.
Ternyata ayah saya akan berangkat dengan menggunakan pesawat terbang dari Maskapai penerbangan Jerman yang bernama Lufthansa. Pesawatnya besar dengan empat buah mesin yang berada dua masing-masing disayap kiri dan kanannya. Terlihat gagah sekali pesawat dengan body berbentuk seperti ikan Hiu raksasa, yang dibelakang hari saya baru mengetahui bahwa pesawat tersebut masih bermesin piston engine jenis radial dengan 18 silinder , belum berjenis turbo prop engine. Pesawat tersebut adalah pesawat C-121 Super Constellation buatan tahun 1940-an oleh pabrik pesawat terbang Lockheed di Amerika Serikat yang dikemudian hari juga memproduksi pesawat C-130 Hercules. Tidak berapa lama terlihat pilot bule dengan pakaian seragam sambil menenteng Tas Pilot yang khas itu, melangkah gagah diikuti beberapa pramugari melintas masuk kedalam ruang airport menuju ke pesawat. Terpesona saya melihat si bule yang akan menerbangkan pesawat besar itu rupanya. Muncul kembali impian saya untuk bisa menjadi pilot seperti si Bule !
Setelah melalui pemeriksaan seperti layaknya orang yang bepergian keluar negeri, ayah saya pun pamit kepada kita semua untuk masuk keruang tunggu. Tidak berapa lama, terlihat kemudian semua penumpang boarding masuk ke pasawat. Pesawat besar bermesin empat itu pun, segera menghidupkan mesinnya setelah semua penumpang habis masuk pesawat dan pintu ditutup. Berikutnya terlihat , pesawat taxi menuju runway dan kemudian take off.
Begitu pesawat bergerak untuk taxi, saya dan ibu serta Atase Pers Jerman melambai-lambaikan tangan kearah pesawat, walaupun tentu saja kami tidak tahu dimana jendela tempat ayah duduk. Saya dan ibu dengan pandangan iba, agak sedih tetapi juga bangga terhadap ayah, mengikuti arah take off pesawat sampai keujung runway dan akhirnya pesawat terbang itu menghilang dari penglihatan. Masih terkagum-kagum melihat gerakan pesawat take off, saya dikagetkan dengan teguran dari ibu saya, yang berkata wah memang benar-benar hebat penerbangan Jerman. Waktu saya tanyakan apanya yang hebat, ibu saya menjelaskan bahwa jadwal pesawat Lufthansa tersebut adalah jam 0900, dan tepat jam 0900 (ibu saya menunjukkan jam tangannya) itu pesawat berangkat yang ditandai dengan lepas nya roda pesawat dari rumway. Ternyata diam-diam ibu saya mengamati secara detil. Kembali saya terkagum-kagum, bukan main, bagaimana cara manajemen penerbangan bekerja, untuk bisa menepati waktu. Baru kemudian saya menyadari tentang penjelasan ayah saya yang mengatakan bahwa kita harus sudah berada di airport 2 jam sebelum jam keberangkatan. Satu lagi hal yang memprovokasi saya sebagai anak yang masih kecil melihat kenyataan tentang pentingnya mematuhi ketepatan waktu. Pelajaran mahal yang sudah saya peroleh pada usia yang sangat dini. Kagum, heran dan terkesima yang kemudian tertanam “dalam” di diri saya sebagai bekal yang sangat berharga untuk mengarungi samudra kehidupan yang membentang luas di depan pada tahun 1961 itu. Pengalaman yang luar biasa. Pengalaman tentang “tepat waktu”.
Jakarta 5 Januari 2011