Salah satu keputusan bersejarah yang diambil Jenderal Endriartono Soetarto ialah bahwa TNI segera keluar dari DPR tanpa harus menunggu hingga 2009, seperti yang diwacanakan pada saat itu.
Ini keputusan tegas karena menyangkut langsung dengan sikap TNI yang konsisten dan konsekuen meninggalkan arena ”politik”. Pada tahun 2004 TNI/Polri meninggalkan DPR. Berakhir sudah Fraksi TNI/Polri di dalam DPR. Ini langkah patriot yang menandai garis akhir tentara berpolitik.
Langkah berani dari pemikiran sangat maju itu dapat dilihat sebagai tindakan menyesuaikan diri dengan negara beradab-madani penganut paham demokrasi di muka bumi ini. Dalam negara demokratis, senjata berada di bawah kekuasaan pemerintah yang sah, hasil proses pemilihan rakyatnya. Polisi berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Angkatan perang berada di bawah Kementerian Pertahanan.
Respons tak setimpal
Sayang, tindakan tegas dan cepat TNI itu tak mendapat respons setimpal dari DPR. Sampai kini pada tahun 2010 jabatan Panglima TNI masih harus melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), proses yang tak perlu dilakukan. Amanah Reformasi adalah menjauhkan tentara dari politik, lalu mengapa panglimanya harus diuji oleh suatu lembaga politik? Cukup aneh!
Ungkapan uji kelayakan dan kepatutan mengandung makna menguji seseorang, pantas dan cocokkah pada jabatan tertentu. Logikanya: untuk jabatan Panglima TNI, pihak yang akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan tentulah pihak yang sangat tahu, sangat kompeten berkait dengan kecakapan teknis TNI. Bila uji kelayakan dan kepatutan dilakukan DPR, yang terjadi jauh panggang dari api.
Di samping itu, DPR adalah markas besar para politisi. Lengkap sudah alasan menyebut pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan bagi jabatan Panglima TNI sebagai aneh bin ajaib. Lebih dari itu, jika negara dalam keadaan darurat, sesuai dengan dinamika perkembangan situasi di lapangan, mungkin saja sebagai bagian dari strategi, seorang presiden dituntut segera mengganti Panglima TNI sesuai dengan kebutuhan. Jadi masalah besar bila pada saat seperti itu seorang presiden harus menunggu terlebih dahulu DPR menggelar uji kepantasan dan kecocokan.
Panglima TNI bergiliran
Jenderal TNI Endriartono Soetarto adalah Panglima TNI pertama lulusan Akabri pada tahun 1971, yang merupakan Akabri angkatan kedua. Bersama Jenderal SBY, lulusan Akabri angkatan keempat telah berupaya menggilir posisi jabatan Panglima TNI. Minggu lalu seorang perwira tinggi Angkatan Laut dilantik jadi Panglima TNI.
Sayang, muncul kemudian komentar bahwa jabatan Panglima TNI tak perlu bergiliran karena pada kenyataannya tak banyak berpengaruh terhadap kebijaksanaan pertahanan negara RI. Maka, begitulah lanjutan komentar itu, jabatan Panglima TNI jangan bergiliran karena nanti akan terjadi sekadar tunggu giliran urut kacang belaka.
[Untuk diketahui, kebijakan pertahanan negara tidaklah berada di dalam kewenangan jabatan Panglima TNI. Lagi pula, selama republik ini berdiri, Angkatan Laut dan Angkatan Udara masing-masing baru sekali berkesempatan menduduki jabatan Panglima TNI].
Tentang urut kacang: sengaja atau tidak, ini memberi gambaran betapa jabatan Panglima TNI dipandang tak lebih dari sekadar sebuah kekuasaan belaka. Kekuasaan yang tentu saja diterjemahkan secara sederhana sebagai satu keuntungan. Atau, jabatan dilihat dari satu segi semata sebagai sebuah privilese sehingga tidak perlu bergiliran, yang diterjemahkan hanya sebagai gantian.
Jabatan Panglima TNI hendaknya dilihat dari sisi yang lebih mendalam: pada aspek tanggung jawab dan kerja atau bakti kepada TNI dan negara. Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara harus sama-sama dituntut tanggung jawabnya sekaligus unjuk kerjanya bagi TNI. Tidak hanya kepada angkatannya. Masukan seimbang dan komprehensif, sebagai bahan referensi dalam merumuskan kebijakan pertahanan nasional, kepada Kementerian Pertahanan hanya akan diperoleh dengan obyektif apabila para kepala staf Angkatan bergiliran memimpin TNI.
Di sisi lain, spirit dan militansi serta jiwa korps para prajurit yang mempertaruhkan jiwa raganya akan terjaga jika mereka melihat keterwakilan kepala stafnya setara, tak diperlakukan diskriminatif, serta tak terganggu kepentingan politik siapa pun pada posisi Panglima TNI.
Kini saatnya melihat tentara yang tidak lagi berpolitik. Tentara yang steril dari politik. Janganlah lagi ada orang-orang yang berupaya menarik kaum bersenjata untuk terlibat dalam politik. Cukup sudah bagi tentara berpolitik lebih dari 30 tahun. Kini masanya menyaksikan tentara yang ”profesional”. Dirgahayu TNI.
Chappy Hakim Marsekal TNI (Purn), Kepala Staf TNI Angkatan Udara (2002-2005)
Catatan : tulisan ini adalah seperti yang dimuat dikolom Opini Harian Kompas terbitan 6 Oktober 2010