(Artikel ini sudah diturunkan di koran Sindo hari ini)
Pada saat Malaysia/waktu itu namanya Malaya, “merdeka” pada tanggal 31 Agustus 1957, kita bangsa Indonesia terkaget-kaget karena mereka telah memilih lagu kebangsaannya sebuah lagu yang sangat populer dinyanyikan dibanyak tempat di Indonesia pada masa itu. Lagu dimaksud adalah sebuah lagu yang mendekati irama langgam keroncong dengan judul atau terkenal dengan nama “terang bulan terang dikali”.
Mencermati syairnya, isinya jauh sekali dari jargon-jargon kepahlawanan dan patriotisme seperti yang dibutuhkan dalam sebuah lagu kebangsaan pada umumnya. Syairnya antara lain berbunyi : terang bulan terang dikali, buaya timbul disangka mati. Jangan percaya mulut lelaki, berani sumpah tetapi takut mati. Lagu yang sangat “jenaka”.
Pemerintah Indonesia saat itu sampai perlu untuk mengumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tidak lagi menyanyikan lagu itu, karena telah menjadi lagu kebangsaan Negara Tetangga kita Malaysia. Itulah awal dari Indonesia “kehilangan” sesuatu pada saat Negara Malaysia berdiri.
Minggu ini, Indonesia dihebohkan lagi dengan munculnya klaim Malaysia atas tari Pendet, setelah sebelumnya mengklaim angklung, reog ponorogo, batik dan beberapa lainnya.
Pada waktu “lagu terang bulan terang dikali” diambil Malaysia untuk lagu kebangsaannya, mungkin kita semua tersenyum geli dan kemudian merelakannya, karena merasa kasihan, untuk lagu kebangsaan saja koq milihnya lagu itu?
Kita pun menghormatinya dan kemudian menghentikan menyanyikan lagu tersebut. Sirnalah lagu terang bulan terang di kali dari bumi pertiwi. Tidak demikian yang terjadi berikutnya, yaitu tentang wayang, batik, angklung, reog dan terakhir tari pendet. Kita semua “marah”. Pantaskah kita marah?
Pada saat tahun 1950-an dan diawal tahun 1960-an, kita mengenal yang namanya Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Mungkin karena namanya Pendidikan dan kebudayaan, maka masuklah banyak unsur kebudayaan kedalam program pendidikan disaat kita kala itu.Di Sekolah Rakyat istilah yang sekarang dikenal dengan SD dan di SMP, para murid dikenalkan dengan banyak pelajaran kesenian seperti menyanyi, menari tari daerah , menggambar, main angklung dan juga diselenggarakan lomba antar sekolah secara berkala. Anak-anak merasa sangat senang mengikuti kegiatan ini. Beberapa perlombaan nyanyi atau paduan suara sekolah dan juga menyanyi solo di lombakan dan babak akhirnya dilaksanakan di Gedung Kesenian Jakarta yang terletak di dekat pasar baru. Demikian pula dengan angklung dan menari.
Disaat yang sama, dikenal pula kelompok paduan suara yang bagus, pimpinan Gordon Tobing. Gordon Tobing memainkan gitar akustik dan kelompoknya menyanyikan lagu-lagu rakyat Indonesia termasuk lagu rasa sayange. Dalam beberapa kesempatan upacara kenegaraan dan juga dalam kesempatan menerima tamu negara, maka yang selalu muncul adalah, paduan suara Gordon Tobing dengan lagu-lagu rakyatnya, dan juga tari-tari daerah seperti tari pendet. Gemanya tersiar keseluruh negeri, antara lain melalui mass media dan juga RRI. Dibanyak kesempatan peristiwa besar seperti, Konferensi Asia Afrika, Asian Games, dan kehadiran tamu negara, maka lagu-lagu rakyat Indonesia, tarian-tarian daerah Indonesia, angklung, reog dan bahkan kampanye nasional penggunaan batik, selalu hadir ditengah-tengah kegiatan tersebut. Kelihatan bahwa Itulah milik kita dan selalu hadir ditengah-tengah kita dengan penuh kebanggaan, pada waktu itu. Kelompok paduan suara Gordon Tobing bahkan pernah melanglang buana sampai ke Eropa membawakan lagu-lagu sejenis Rasa Sayange. 17 Agustusan, hampir semua sekolah di Jakarta mengirimkan murid-muridnya memenuhi halaman Istana Merdeka untuk bernyanyi lagu-lagu perjuangan. Bukan hanya sedikit perwakilan saja seperti belakangan ini.
Sekarang ini, bila melihat bidang pendidikan, anak anak sekarang ini, kemungkinan besar belum pernah memegang angklung disekolahnya, apalagi memainkannya. Perlombaan paduan suara antar sekolah dengan lagu Indonesia, nyaris tidak pernah diketahui, diselenggarakan atau tidak? Media televisi, lebih disibukkan dengan berita tawuran dimana-mana, dan hiburan “infotainment”, sinetron hedonis dan horror, kuis mencari jodoh serta berbagai jenis kuis berhadiah yang menjurus ke perjudian. Sama sekali tidak ada kenyamanan, apalagi berharap melihat suguhan reog, permainan angklung, batik dan lain sebagainya. Jauh panggang dari api. Generasi muda lebih sibuk dengan “valentine day” dan membentuk kelompok “fans” nya “Manchester United” dimana-mana, dan semua yang serba “western”.
Malaysia yang sangat jeli melihat peluang wisata yang dapat dijual dengan barang budaya , memanfaatkan kondisi ini. Menyadari bahwa dia tidak memiliki apa-apa yang pantas untuk dijual, Malaysia pun kemudian dengan cerdas mengidentikkan dirinya dengan “Asia”, Malaysia Truly Asia, katanya. Maka diambillah dengan sistematis, barang-barang budaya Indonesia yang bernilai “asia” sangat tinggi yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi oleh si empunya. Satu persatu digulirkan dengan cerdas, mulai dari batik, wayang, rasa sayange dan seterusnya sampai dengan tari pendet. Seolah dia tahu, Indonesia memang akan marah, tapi sebentar saja setelah itu lupa, kemudian mulai lagi dengan lainnya dan seterusnya. Toh, pikirnya, sekali lagi sang empunya sudah tidak berselera lagi untuk menggunakannya. Andaikata terpaksa kemudian menghentikannya dan minta maaf, tidak jadi mengapa, karena Malaysia nya sudah terlanjur populer sebagai “truly asia” di panggung dunia.
Nah, pantaskah kita kemudian marah ? Marah, berdasarkan pengalaman, sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Introspeksi diri, mungkin akan lebih berguna bagi kita semua. Justru, mungkin kita perlu berterimakasih kepada Malaysia yang telah mengingatkan kembali akan karya seni Indonesia yang sangat tinggi nilainya itu dan tengah kita lupakan bersama. Kearifan berfikir, dibutuhkan sebelum kita mengambil keputusan untuk melangkah. Kita seolah tidak menyadari, karya seni yang kita miliki itu ternyata bernilai tinggi dan dapat dijual di pasar global, sampai Malaysia yang harus bersusah payah membuktikannya terlebih dahulu.
Minggu lalu 75 pelajar kita berhasil menyabet 73 medali dalam International Mathematis Contest di Singapura. Tahun 2007 lalu saja, 69 medali emas plus sekian perak serta perunggu diraih anak-anak kita dari berbagai ajang lomba internasional, tidak ada “gema” nya sama sekali ! Mungkin nanti, disatu saat , setelah mereka muncul sebagai Tenaga Ahli di Malaysia, kita baru akan kebakaran Jenggot !
Sungguh menyedihkan !
Jakarta 27 Agustus 2009
Chappy Hakim