Tulisan DR Damos Agusman tentang FIR adalah berupa uraian yang sangat runtut dan mencerahkan, akan tetapi sayang sekali karena keterbatasannya, maka isi tulisan secara keseluruhan dapat menyesatkan pembaca dalam hal pengertian soal kedaulatan negara di udara. Hal ini sangat berbahaya bila tidak dijelaskan secara menyeluruh dan lengkap termasuk tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Keterbatasan DR Damos sangat amat dimaklumi karena beliau tidak memiliki background dibidang Teknis Penerbangan dan kurang memahami mengenai seluk beluk pertahanan dan keamanan negara. Oleh sebab itu maka beliau menjadi tidak mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi di kawasan udara kepulauan Riau dalam konteks pertahanan keamanan NKRI.
Demikian pula tinjauannya menjadi tidak menyentuh sama sekali mengenai wilayah kepulauan Riau sebagai wilayah perbatasan yang kritikal atau “Critical Border” yang mudah memicu munculnya “Border Dispute” sebagai penyebab yang banyak menyebabkan perang sepanjang sejarah umat manusia.
Untuk meluruskan permasalahan tersebut maka, berikut ini saya lampirkan pokok-pokok tanggapan terhadap tulisan DR Damos Agusman dari seorang Pakar yang merupakan Praktisi dibidang Aviasi (Pilot Angkatan Udara – pernah menjabat Komandan Pangkalan Udara dikawasan perbatasan RI) sekaligus seorang Akademisi Hukum Udara, yang belakangan ini sangat aktif mengkuti perkembangan hukum udara internasional di panggung global.
Penyandang gelar S3 dibidang hukum udara yang tentu saja merupakan orang yang sangat tepat dan kompeten untuk meluruskan kekeliruan DR Damos Agusman yang memang bidang ke ilmuannya tidak bersinggungan dengan masalah teknis penerbangan dan pertahanan keamanan negara. Beliau adalah DR. Supri Abu SH MH yang menanggapi dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap DR Damos sebagai seorang ilmuwan yang banyak berkiprah dalam hubungan Internasional.
Berikut, tanggapan dari DR Supri Abu SH,MH
( Menanggapi tulisan DR. Damos Agusman ): Yang sangat mendasar dalam hal tulisan DR. Damos adalah bahwa uraian analisis tentang FIR sama sekali tidak berdasarkan atau mengacu pada Chicago Convention 1944. Perlu diketahui bahwa Konvensi Chicago Pasal 1 menyebutkan dengan sangat jelas bahwa, setiap negara mempunyai kedaulatan yang “Complete” dan “Exclusive”. Lebih jauh dari itu pada regulasi ICAO Annex 11 yang mengatur tentang Air Traffic Services, di dalamnya terdapat hal yang mengatur masalah FIR.
Pendapat DR Damos yang mengatakan bahwa “Masalah FIR tidak berkaitan dengan masalah kedaulatan tetapi hanya pada aspek keselamatan penerbangan” agaknya sangat keliru. Analisis yang dapat dilakukan terhadap hal tersebut adalah bahwa berdasar kepada Annex 11 pada bagian 2 disebutkan bahwa, “Contracting States shall determine, … for the territories over which they have jurisdiction, those portions of the airspace and those aerodromes where air traffic services will be provided” Hal ini menunjukkan negara yang mempunyai kedaulatan lah yang mempunyai kewajiban memberikan pelayanan lalu lintas udara bagi penerbangan dan ini menjadi bukti pengakuan setiap negara akan adanya kedaulatan.
Pelayanan lalu lintas udara tersebut antara lain berbentuk FIR. Dengan demikian maka hal Ini juga membuktikan bahwa FIR sangat berhubungan dengan kedaulatan sebuah negara.
Tanggapan berikutnya terhadap tulisan DR Damos yang menjelaskan bahwa FIR tidak selalu identik dengan wilayah negara dan bahwa seluruh wilayah di bumi ini harus dikapling-kapling untuk tujuan FIR, adalah betul sekali. Namun harus juga dipahami, sekali lagi bahwa negara yang memiliki wilayah kedaulatan lah yang pertama kali mempunyai kewajiban memiliki FIR. Dalam hal ini bagi yang berbatasan darat dengan negara lain, batas negara selalu identik dengan batas FIR. Tetapi hal tersebut menjadi berbeda dengan negara yang berbatasan dengan wilayah internasional seperti Indonesia yang memiliki ruang udara bebas.
Sesuai dengan ketentuan ICAO, maka hak tersebut harus dibicarakan secara regional yang melibatkan negara disekitar untuk mencapai kesepakatan yang kemudian harus disetujui oleh ICAO. Inilah yang menyebabkan luas negara tidak sama dan identik dengan luas FIR. Jadi jelas sekali disini bahwa tidak hanya sekedar pertimbangan keselamatan semata. Lebih jauh hal ini dijelaskan dalam Annex 11 Pasal 2.1.2 bahwa, “Those portions of the airspace over the high seas or in airspace of undetermined sovereignty where air traffic services will be provided shall be determined on the basis of regional air navigation agreements”.
Dengan demikian kesimpulannya adalah bahwa dasar awal pemberian pelayanan lalu lintas udara itu berdasarkan wilayah kedaulatan. Namun begitu, pemberian pelayanan lalu lintas penerbangan bisa didelegasikan dengan pembatasan, seperti yang telah dijelaskan. Dengan demikian pula menjadi sangat gamblang bahwa, penentuan adanya FIR adalah berdasarkan wilayah udara kedaulatan, dan itu berarti bahwa FIR berhubungan erat sekali dengan kedaulatan.
Kesimpulan ini sekaligus membantah tulisan DR Damos yang mengatakan bahwa, “namun bukan berarti bahwa negara pemilik harus menjadi pengontrol udara di atasnya”. Karena pengontrolan udara adalah implementasi adanya kedaulatan.
Kembali ke masalah FIR di Kep Riau, kewajiban pelayanan memang bisa didelegasikan, pernyataan dalam Pasal 2.1.1 bahwa, Note… “if one state delegates to another state the responsability for the provision of air traffic services over its territory, it does so without derogation of its national sovereignty.
Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa jika suatu negara mendelegasikan pelayanan navigasi penerbangan wilayah udaranya kepada suatu negara, maka hal tersebut tidak akan mengurangi kedaulatan negara yang mendelegasikan
Dengan kata lain bahwa negara yang menerima pendelegasian tersebut hanya mengelola sebatas pada permasalahan teknis dan operasional semata, dan tidak akan keluar dari konteks keselamatan penerbangan dan kelancaran lalu lintas udara yang menggunakan wilayah udara dimaksud. Dalam hal ini memang kedaulatan bisa berkurang bila dilakukan dengan perjanjian karena juga merupakan sumber Hukum Internasional, tapi ICAO juga sudah mengatur bahwa, “Both the delegating and providing States may terminate the agreement between them at any time.”
Sesuai dengan pendapat Hans Kelsen yang mengatakan bahwa kedaulatan merupakan esensi dari kualitas negara yang artinya negara harus berada pada otoritas tertinggi. Otoritas biasanya didefinisikan sebagai hak atau kekuatan untuk mengeluarkan perintah yang mewajibkan.
Kekuatan sesungguhnya adalah untuk memaksa yang lain untuk bertindak tertentu dan tidak untuk membenarkan sebuah otoritas. Individu harus wajib menerima hak untuk mewajibkan perintah, sehingga individu yang lain wajib mematuhi.
Dalam hal ini otoritas merupakan awal dari karakteristik dari sebuah tatanan normatif. Selain itu, bahwa fungsi hukum internasional dalam konteks ilmu hukum sebagai suatu aturan atau kaedah yang berlaku bagi subyeknya, fungsi lain adalah sebagai instrumen yang digunakan oleh pemerintah suatu negara untuk mencapai tujuan nasionalnya.
Untuk itu, agar tercipta otoritas tertinggi di wilayah udara di Kepulauan Riau yang saat ini menjadi kekuasaan otoritas penerbangan sipil Singapura, seluruh wilayah udara Indonesia harus dikendalikan sendiri, termasuk ruang udara di atas Kepulauan Riau yang pengaturan ruang udaranya dikendalikan oleh Singapura yang dikenal dengan nama FIR Singapura.
Terkait dengan pendapat DR Damos bahwa “Indonesia tidak bisa memaknai control oleh Singapura… adalah penggerogotan terhadap kedaulatan Indonesia”. Tentang hal ini dengan mudah bisa dibuktikan bahwa atas nama FIR, Singapura telah menetapkan “Danger Area” Singapura di wilayah udara dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagai Naval Carrier Operation Area (WSD15) dan Naval Exercise Area (WSD45) sampai pada ketinggian FL 550 tanpa izin atau persetujuan dari Pemerintah Republik Indonesia.
Tidak itu saja, bahkan Singapura sudah dengan leluasa menggunakan area tersebut untuk penerbangan militer dan berdalih sebagai “Traditional Training Area”. (terminologi yang tidak memiliki dasar hukum ) Hal ini pasti tidak diketahui dan dipahami oleh DR Damos.
Dengan demikian, maka jelas sekali bahwa penetapan Danger Area tersebut adalah melebihi kewenangan otoritas penerbangan Singapura dan melanggar kedaulatan Indonesia, termasuk telah menetapkan jalur udara menghindari wilayah tersebut yang merugikan penerbangan sipil Indonesia. Apakah hal demikian itu bisa dianggap tidak menggerogoti kedaulatan Indonesia? atau DR Damos dapat dengan gampangnya mengatakan kedaulatan sudah selesai dan tidak relevan? Pada konteks ini, mungkin DR Damos perlu melihat realita dilapangan dan tidak hanya mendalami masalah ini dengan pendekatan yang bersahaja dalam arti melihat persoalan FIR sebagai sebuah masalah yang sangat sederhana saja, sebuah masalah yang hanya sekedar masalah hubungan internasional belaka.
Saya sendiri , dengan tidak bermaksud mengurangi sedikitpun rasa hormat terhadap peran dari para diplomat, lebih setuju jika pengambilalihan FIR Singapura ini cukup dengan pendekatan teknis saja bukan diplomatik, karena para diplomat pada umumnya akan berkonsesntrasi “hanya” kepada tugas pokoknya yang berorientasi pada pendekatan hubungan internasional saja. Disamping itu para diplomat pasti akan kesulitan untuk dapat memahami tentang masalah FIR yang banyak bermuatan teknis penerbangan antara lain seperti hal mengenai Danger Area misalnya.
Maka untuk itulah dalam rangka upaya pengambilalihan tersebut kiranya ketentuan ICAO harus diikuti sebagai acuan utama. Dalam hal ini, pendekatan yang harus dilakukan adalah pendekatan wilayah udara yang memang menjadi tanggung jawab Indonesia. Dengan pendekatan wilayah kedaulatan Indonesia maka, tidak ada alasan penolakan dari Singapura dan Malaysia atau negara lainnya. Hal ini tentu saja berbeda bila wilayah pengelolaan FIR tersebut termasuk wilayah udara bebas maka perlu dilakukan koordinasi antara Singapura, Malaysia dan Indonesia karena wilayah ini tidak masuk ruang udara kedaulatan.
Akhirnya, kita akan dapat lebih mudah dalam menyusun rencana Langkah-langkah pengambilalihan FIR secara teknis dengan mencontoh langkah Kamboja yang mengambil alih FIR-nya dari Thailand. Kamboja telah melakukan pendekatan tehnis terlebih dahulu dan pada tahun 2000 Kamboja membangun pelayanan navigasi internasionalnya serta kemudian pada tahun 2001 membuat workingpaper ke ICAO. Akhirnya walaupun banyak yang menentang,namun atas dasar azas kedaulatan negara, maka Kamboja memperoleh hak mengendalikan sendiri wilayah udara kedaulatannya sejak tahun 2002. (DR. Supri Abu SH MH).
Itulah tanggapan dari DR Supri Abu SH,MH yang mudah-mudahan dapat dimengerti oleh semua pihak yang selama ini terombang ambing dalam mempersepsikan masalah FIR Singapura. Instruksi Presiden Republik Indonesia sudah sangat jelas seperti yang dikemukakan oleh Menhub Ignasius Jonan pada jumpa pers di Kantor Presiden Selasa tanggal 8 bulan September tahun 2015 yang lalu, bahwa kita harus segera mengambil alih FIR Singapura. Tidak ada pilihan atau interpretasi lain.
Jakarta 4 Maret 2019
5 Comments
Tanggapan ini menarik sekali. Sebagai pembanding perlu juga disimak komentar ini:
https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/2016/03/CO16068.pdf
Terimakasih, sudah saya pelajari dan juga sudah saya jawab dengan tuntas.
Pandangan Pangab kok berbeda ya?
https://www.antaranews.com/video/979766/indonesia-sudah-siap-ambil-alih-fir-dari-singapura
Mencerahkan terimakasih pak
Terimakasih, sama sama.