Pak Chappy yang terhormat,
Terima kasih atas e-mail Bapak tanggal 17 Jan yang menyebutkan tentang pelajaran dari SHIA. Sesungguhnya saya sudah baca tulisan tersebut dalam koran, yang kalau saya tidak salah dalam KOMPAS.
Pada dasarnya saya sangat terkesan dengan tulisan tersebut. Saya juga seringkali mempertanyakan apakah pemanfaatan Halim untuk schedule aircraft sipil dapat mengganggu kegiatan pertahanan udara Indonesia, apalagi dalam situasi geo-politik dan geo-strategis di sekitar Indonesia pada waktu ini, khususnya kenaikan temperatur politik antara AS dan Cina serta Australia, khususnya dalam perkembangan situasi di Laut Cina Selatan (LCS). Saya selalu mempertanyakan apa kemungkinan reaksi Indonesia kalau-kalau aircraft carrier Cina yang disertai begitu banyak pesawat terbang memasuki Samudera Hindia lewat perairan Indonesia di sealane lewat Selat Sunda, dan aircraft carrier AS “menantangnya” dengan memasuki Selat Sunda dan perairan Indonesia menuju LCS, dan saling berhadapan tidak jauh dari Halim. Apakah persiapan lanud Halim menghadapi keadaan ini, kalau landasan terbangnya yang cuma 1 juga dikerumuni oleh kapal-kapal sipil schedule aircraft.
Karena itu, tulisan Bapak sesungguhnya sangat penting, apalagi jika kekuatan tersebut menggunakan “drone” melintasi perairan Indonesia sebagaimana yang terjadi di Pakistan/Afghanistan. Saya menyebut bahwa perkembangan geo-politik dan geo-strategis dewasa ini membuat Indonesia kelihatan lebih terjepit, apalagi mengingat kepentingan Cina yang semakin besar di Samudera Hindia.
Memperhatikan hal ini, apakah kira-kira mungkin Pak Chappy dan kawan-kawan yang memikirkan hal ini mengadakan diskusi-diskusi informal, tertutup, untuk membahasnya sambil mencari jalan keluar, misalnya dengan mengusahakan semacam “Rules of Engagement” (RoE) antara pihak-pihak terkait mengenai hal ini.
Demikianlah tanggapan saya dan semoga kiranya bermanfaat untuk sama-sama kita pelajari dan perhatikan. Akhirnya, terima kasih atas pikiran dan komentar Bapak Chappy.
Hormat dan wassalam,
Hasjim Djalal