Pagi itu , selesai menikmati pertandingan Piala Dunia di televisi yang berlangsung sejak pukul 3 dinihari, saya baru menyadari bahwa punggung telapak tangan saya sudah terlihat mulai keriput. Bentuk yang sama saya lihat pada tangan almarhum ayah saya puluhan tahun lalu. Saya menyaksikannya dengan rasa iba karena melihat ayah saya, tidak hanya tangannya akan tetapi hampir keseluruhan tubuhnya memang telah memperlihatkan tanda-tanda “ketuaan” alami karena usia yang telah menjelang. Kini, bentuk tangan ayah saya itu terlihat kembali, namun pemandangan itu saat ini telah menjelma di tangan sendiri.
Tidak terasa, sudah lebih kurang 10 tahun saya pensiun setelah berkiprah lebih dari 30 tahun sebagai Perwira Angkatan Perang Negeri ini. Sekarang, terminologi yang digunakan secara umum bagi orang-orang seperti saya , yang sudah pensiun adalah “purnawirawan”. Bijaksana adalah hal yang sangat didambakan dari mereka yang telah berumur. Bijak dalam bertindak dan bijak dalam berbicara, sehingga patut diteladani oleh mereka yang jauh lebih muda.
Saya lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Bagian Udara. Satu Lembaga pendidikan Tinggi yang sangat terhormat, yang saya junjung tinggi, membanggakan dan telah menghasilkan begitu banyak Perwira dengan segudang prestasi pengabdiannya kepada negeri tercinta. Satu Lembaga Pendidikan Perwira Militer yang cukup disegani bahkan di pentas Global sekalipun. Empat tahun digembleng di Kawah Candradimuka yang bernama Akabri. Dalam perjalanan karier, saya sempat menjabat sebagai Komandan Wing (Resimen) Taruna Akademi Angkatan Udara, Gubernur Akademi Angkatan Udara dan juga sebagai Komandan Jenderal Akademi TNI. Saya mengenal betul dan sangat mencintai almamater yang sekali lagi “sangat terhormat dan membanggakan” itu.
Namun belakangan ini, diberbagai media berhamburan berita yang sangat menggelisahkan hati. Malu sekaligus cemas beserta rasa sedih yang sangat mendalam, melihat, membaca pemberitaan yang demikian vulgar. Para lulusannya kini , terutama para Purnawirawan telah saling melemparkan banyak hal yang sangat amat negatif dan bahkan membuka data-data yang seyogyanya tersimpan rapi didalam “personal-data” masing-masing dan didalam almari instansi yang terhormat itu. Tidak ada manusia yang sempurna, semua memiliki lembaran hitam dan hal negatif masing-masing didalam perjalanan karier bahkan perjalanan hidupnya, hanya karena memang mereka adalah manusia biasa saja, dan itu bukanlah bahan publikasi yang terbuka.
Perebutan kekuasaan akhir-akhir ini yang sifatnya sangat duniawi ternyata telah memporakporandakan “keperwiraan” dan sifat “ksatria” mereka semua. Akankah dibuka lebar-lebar , seluruh aib yang ada dalam diri kita semua, para purnawirawan lulusan Akademi Militer yang selama ini begitu terpandang? Tidak sadarkah bahwa itu akan membuat “cemar” lembaga pendidikan yang seharusnya dijunjung tinggi kehormatannya. Saya baru menyadari, bahwa ternyata dalam realitanya sifat “perwira” itu mungkin hanya akan terdapat didalam dongeng-dongeng belaka. Sadar sekali saya, bahwa memang hanya sedikit para Purnawirawan itu dibanding dengan ribuan para lulusan Akabri lainnya yang tidak pernah terdengar lagi suaranya sejak mereka masuk masa purnawira. Namun sayangnya, yang sedikit itu, adalah justru mereka-mereka yang memiliki nama besar dan selama ini dikenal sebagai “pemimpin” dan “tauladan” mewakili ribuan teman-temannya yang nyaris sudah tiada lagi terdengar suaranya. Masih adakah “kehormatan” itu, yang telah porak poranda hanya dalam hiruk pikuknya pemilihan Presiden Republik Indonesia? Hanya karena ingin jadi Presiden? Sebenarnya bila ingin tetap menjadi pemimpin, saya teringat akan kata-kata dari seorang yang bernama I. Ayivor bahwa
“ A true leader is still a leader even when he takes up servants’ duty”.
Sebagai pemimpin, tidak harus menjadi Presiden ! Lalu dimana “patriotisme” para purnawirawan lulusan Akabri itu, dimana rasa hormat kepada almamaternya? Entah dimana pula ke “sakral” an nya Hymne Taruna, yang selalu mendirikan seluruh bulu roma saat dinyanyikan? Dimana Sumpah Prajurit dan Saptamarga?
Sekali lagi , baru kali ini sepanjang perjalanan hidup sebagai purnawirawan lulusan Akademi yang begitu terhormat dan membanggakan, saya merasa malu, gelisah dan cemas melihat hal itu semua. Ambisi untuk berkuasa ternyata sangat mudah melunturkan semua kebanggaan dan lebih-lebih kehormatan korps dan rasabangga pada almamater yang bernilai luhur. Dalam merenungkan apa yang kini tengah melanda negeri ini, saya tersadar kembali, melihat punggung dari telapak tangan saya yang sudah mulai keriput , tanda ketuaan yang sudah saya saksikan puluhan tahun lalu ditangan almarhum ayah saya yang sangat saya banggakan, karena dia adalah seorang patriot, seorang “Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia”, demikian predikat yang diberikan Pemerintah RI di hari tuanya.
Saya Bangga padanya, walau dia bukan apa-apa, dia bukan lulusan akademi, dia hanya orang biasa saja, namun saya tidak pernah melihat kemunafikan dalam dirinya, tidak pernah pula mendengar dia menjelek-jelekkan teman-temannya, apalagi di ruang publik . Sejatinya, ditangan yang keriput, yang puluhan tahun lalu saya saksikan, ternyata disitulah berpulang kebanggaan saya padanya. Teringat kembali, betapa ditubuh ayah yang tua renta kala itu, sorot matanya masih memancarkan “spirit” yang begitu tajam memancarkan ketabahan luar biasa menghadapi pahitnya kehidupan , tanpa mudah tergoda dengan hal yang duniawi sifatnya. Ternyata memang Akademi tidak sanggup memberikan segala-galanya dalam membangun karakter seseorang, disisi lain seorang ayah terbukti sangat besar pengaruhnya dalam membentuk dan membangun karakter seseorang.
Jakarta, ditengah hiruk pikuknya pemilihan Presiden 2014, hari hari diawal bulan Juni.
Chappy Hakim
Warga Negara biasa.
31 Comments
Mengharukan. Tapi keporakperandaan itu mungkin berguna bagi perkembangan demokrasi di negeri kita.Kenyataan yang Anda sedihkan itu semoga makin membuka mata para politisi dan rakyat kebanyakan bahwa mantan tentara itu manusia biasa saja yang tabiatnya sama saja dengan warga negara kita pada umumnya. Oleh karena mari kita berdoa agar mereka secepatnya berhenti mengagumi mantan tentara sebagai tegas dengan kepemimpinan yang kita impikan. Apa tidak cukup diperintah 10 tahun oleh seorang Jenderal yang kita pilih secara demokratis?
Ketika saya masih mahasiswa Iilmu politik, salah satu pelajaran penting pertama yang saya dapatkan adalah, in one country there is only one political culture. Sekarang hasil pernelitian Sidney dan Verba itu bisa kita perluas dengan mengatakan bahwa dalam satu bangsa hanya ada satu tingkat peradaban. Kalau rakyatnya “masih berantakan” maka mantan tentara yang tidak lagi terikat komando yang mendisiplin mereka, akhirnya akan sama saja tingkat peradabannya dengan bangsanya.
Pada bangsa yang baru merdeka, tentara adalah lembaga yang paling moderen, paling nasionalis, paling beradab. Tapi ceritanya lain setelah mereka pensiun. Hanya beberapa di antara mereka yang masih dengan bangga bicara Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Kebanyakan tetap bicara mengenai semua sumpah suci tentara yang mereka hapal menjelang dilantik sebagai prajurit/perwira, tapi hidup masa purnawira telah mengubah mereka. Apa boleh buat.
(Prof.DR.Salim Said)
Good morning Chief,
Terima kasih atas sharing ‘pemikiran’ pagi ini.
Saya pribadi senang karena Chief mengalami proses penuaan alamiah dengan bertambah bijak.
Saya sendiri banyak melihat banyak rekan-rekan saya yang mengalami penuaan tapi tidak dibarengi kedewasaan mental, sehingga tidak sinkron antara ‘tua badan’ dan ‘tua bathin’.
Semoga saya bisa banyak belajar dari tulisan Chief dan menularkan-nya ke rekan-rekan saya.
Terima kasih Chief.
You are a true leader!
Salam hormat,
Guntur
Show message history
Imam Wahyudi : Yth, Pak Chappy H. Tangan keriputnya bagus pak. Keriput tapi terus berkarya, Salut bapak..
Yaitu realita Pak,walaupun sdh berkecukupan dlm duniawi serta diusia senja tapi kehormmatan yg diAgung agung selama pendidikan militer sirna begitu saja setelah dihadapkan dng yg namanya mengejar KEkUASAAN,sangat ironis sekali.
Dear Pak Chappy,
Bijak sekali Pak artikelnya!
Sudah saatnya keprihatinan Bapak ini dimuat di koran nasional.
Salam hormat!
Bung chappy yg msh punya hati dan cinta pd bangsanya.
Sy tahu anda malu melihat senior2 anda seperti dagelan sinetron seperti itu. Sy lebih malu lagi , kerena itu corps sy dan institusi saya. Mereka tampil menjijikkan, tidak berkualitas, lupa siapa mereka itu.
Semua terjadi karena mereka dibayar oleh pemodal tempat mereka bernaung. Kok samp kaya gitu teganya.
Mereka semua tanpa embel2 purnawiran tidak ada apa2nya.
Mereka dihargai karena embel2 itu.
TNI TANPA MEREKA DAN SY ATAU ANDA TETAP HADIR DITENGAH BANGSA INI, KARENA DIA PUNYA SAPTA MARGA DAN SUMPAH PRAJURIT.
Salam u anda yg masih punya harga diri.
Pak Chappy,
Apa kata anak cucu kita jika tiap hari disuguhi tontonan politik ancur-ancuran sangat tidak mendidik untuk generasi muda.
Mereka sudah saling memalukan dan menjatuhkan tanpa etika lagi.
Apa yang salah dengan Negeri ku Indonesia ?
Tetap Kritis untuk kesehatan Jiwa dan Raga.
Salam
Freddy LONTOH
Trully need this, cause I’ll be there too. Thank you very much Sir.
Salam,
Irwan
Terima kasih pak Chappy, tulisan yang sangat menggugah…sehingga saya juga teringat tangan kriput ayah dan kakek saya..dan tak lama lagi pasti tangan saya akan menjadi keriput seperti mereka..semoga Allah memberikan pak Chappy dapat tetap sehat sehingga tetap berbakti kepada negara dan bangsa dalam format apa pun dan disebut sebagai patriot bangsa…Amin
Salam hormat,
Samudra Sukardi
Saya baca dan baca lagi dan terasa mengajak mengingat kembali almarhum ayah dan almamater.saya rekomendasi tulisan ini jadi bacaan wajib purnawirawan yang sudah lupa diri. Tks (Noor Aman)
Saya suka skl artikel ini…mestinya pada malu yg katanya jenderal2 itu dgn pernyataan2nya…sy dukung Pak Chappy…sy juga nulis keprihatinsn di blog ramalanintelijen.net. sedih dan prihatin skl….(Pray)
tulisan pak Chappy, tepat sekali, mudah – mudahan mereka yg bpk maksud turut juga membaca tulisan yg sangat inspiratif ini yaa pak, salam (Julius)
Yth. Pak chappy,
Sy suka dgn artikel ini…sejalan dgn apa yg pikir rasakan dan prihatinkan. Sy juga menulis di blog sy…dg judul :” Antara Hierarki, Pilpres dan Keprihatinan Seorang Old Soldier”..ini linknya http://ramalanintelijen.net/?p=8458. Tangan boleh keriput, muka keriput…tapi kita khawatir di usia senja kalau hati kita yg keriput..Astaghfirullah
Apa yg pak Chappy keluhkan sesungguhnya sangat manusiawi, apalagi namanya institusi militer yg keberadaannya indentik dengan kekuatan senjata dan tentunya kekuasaan. Walupun lembaga pendidikan militer penuh dengan doktrin nilai moral, namun ketika terjun kedunia nyata banyak godaan yang tidak mampu ditangkis oleh doktrin2 tsb. Bukan doktrinnya yg salah, tetapi manusianya yg tidak kuat godaan materi dan kekuasaan, shg jiwa ksatria menjadi luntur. Doktrin agama saja yg langsung dari Tuhan yg menciptakan manusia, sangat banyak dilanggar oleh manusia, kendati dengan ancaman dosa dan neraka, apalagi seorang perwira (oknum) yg dengan kekuasaannya dia pasti berpikir dapat membohongi semua manusia untuk tidak memahami dosanya. Nah, dia lupa bahwa dunia bukan segala2nya, ada masa tempat mempertanggung jawabkan dosa2 tsb kelak.
You are the true Leader..< the real General , chief Marshal
One of My idol
Salam
Syafuan Gani
Doha, state of Qatar
Pilpres ujian bagi para Purnawirawan untuk menunjuk kan kenetralan nya. Chief Marshall.
keriput tangan bapak mengingatkan saya akan lagu Ebiet G. Ade berjudul, “Seraut Wajah” yang mengisahkan darma bakti seorang pejuang tua yang telah mendarmabaktikan hidupnya untuk kejayaan negeri. Dan, tentu tidak akan mencederai apa yang yang telah ia perjuangkan itu…
Tulisan yang sungguh menjadi Tadzkirrah/Peringatan bagi seluruh anak bangsa, salut untuk Pak Chappy Hakim yang telah berdiri pada titik yang baik, hingga dimungkinkan menjadi pemersatu bapak-bapak jenderal yang terhormat untuk kembali masuk ke dalam shaf Senior Citizen; yang penuh kearifan dan kebijaksanaan.
Salam Takdzim penuh hormat,
Tatan Ahmad Santana
Anak Muda Merebot Masjid di Bandung
Terima kasih Marsekal.
Karya tulis tangan Keriput bapak masih kami harapkan.
Kapan bapak bisa mengisi lagi di Unhan, agar kami generasi penerus ini bisa lebih baik lagi.
Salam Hormat.
Yth. Pak Chappy Hakim,
Saya terharu membaca tulisan Bapak, sekaligus merasa malu. Dulu saya percaya betul bahwa Tentara kita merupakan Janus bagi Republik ini. Namun melihat tingkah laku para seniornya seperti ini, rasanya mengerikan sekali. Bahkan ada yang berani menyombongkan jagoannya merupakan Jenderal terhebat yang pernah dimiliki Republik ini dan hanya kalah oleh Jenderal Besar Soedirman. Tentu ini sangat menggelikan dan memalukan. Para jagoan sekarang tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan para ‘jagoan’ yang berjuang kala Republik ini didirikan.
Sekali lagi, maafkan saya karena hal ini. Namun, salut saya kepada Bapak yang tidak ikut campur dalam hiruk pikuk dunia politik saat ini.
Semoga makin banyak pemimpin Tentara yang membaca ini dan tetap memegang teguh Sapta Marga dan Sumpah Prajurit meskipun tidak lagi menjadi anggota aktif Tentara Kita.
Agung S. WIrjosoewarno
Luar biasa Chief, merinding saya membacanya dalam situasi yang hiruk pikuk ini
insyaallah ini dapat menjadi pencerahan buat kita semua khususnya kami yang muda2
terima kasih,
salam hormat
Selamat Pagi menjelang siang Pak,
Tulisannya bagus pak, saya sendiri bukan seorang dari dunia militer tapi mencoba memahami apa yang dirasakan Pak Chappy sekarang ini. Sebagai warga negara biasa saja saya merasa malu melihat sepak terjang para orang-orang tua para politisi umumnya, dan purnawirawan khususnya. Tapi melihat salah satu surat pembaca di media kompas yang dituliskan oleh Rm.Magnis, saya sebagai warga negara juga menyetujui pendapat Rm.Magnis bahwa semua fakta yang menyangkut masa lalu, sekarang, dan masa depan negara Republik Indonesia harus dipaparkan secara terbuka kepada masyarakatnya. Walaupun sangat pahit, tapi semua hal bisa diperbaiki jika kita tahu sumber masalahnya. Seperti kita telah tahu, peristiwa 30 September 1965 hingga sekarang masih abu-abu, tiap tahun muncul buku yang mengulas peristiwa itu dari pandangan masing-masing, yang semakin mengaburkan fakta sebenarnya yang dialami Indonesia, lalu bagaimana para generasi muda bisa belajar?
Akhir kata, jika memang ada luka yang harus dibuka untuk mempercepat penyembuhan saya sebagai warga negara mendukung. Daripada itu terus ditutup perban malah menjadi borok yang mungkin malah menyebabkan infeksi. Hanya saja tujuan itu harus bertujuan mulia untuk penyembuhan, bukan untuk menjatuhkan pihak yang berada berseberangan.
Kalau memang luka itu dibuka dengan tujuan mulia sebagai penyembuhan TNI khususnya dan kebesaran Republik Indonesia, seharusnya luka itu dibuka sejak belasan tahun yang lalu ya paK? Bukan menunggu lebih dari satu dekade, menunggu hingga luka itu sudah menjadi infeksi yang menyebar ke seluruh badan, hingga luka pertama sudah tidak terdeksi lagi.
Salam,
Jepri Naibaho
Warga NKRI
Assalamualaikum Pak Chaooy Hakim.
Salam hormat saya selaku warga Indonesia yang biasa saja kepada Bapak.
Saya sangat banyak mendengarkan cerita profile bapak secara khusus maupun secara kekeluargaan dari keluarga Bapak yang berada di Kota Medan dengan berinisial HB di kawasan komplek AURI.
Meskipun kita tidak pernah tembus pandang langsung, namun segenap karya dan jiwa kepemimpinan Bapak akan selalu saya pedomani.
Saya selalu mendoakan Bapak agar sehat selalu dan semoga tidak pernah letih memberikan karya kepada negara dan rakyat Indonesia ini.
Hormat Saya kepada Bapak/Opa Chappy
Ahmad Fazly SE., SH., MH
Jaya di udara, kompak di darat. Hiduplah Indonesia Raya
Terima Kasih Ayahanda (mhn maaf saya panggil ayahanda) atas tulisannya yang menyentuh.
Semoga “Mereka” segera ingat dan sadar dari kebutaan kekuasaan dunia.
Dan semoga Ayahanda Chappy Hakim senantiasa sehat serta bisa menjadi panutan kami yg muda
YTH Bapak Chappy Hakim,
Sungguh terharu saya membacanya, Bapak benar2 patriot Negeri tercinta ini….
Saya termasuk yang setuju, agar hiruk pikuk di matra darat ini segera diselesaikan terbuka, Sehinggal tidak membebani generasi penerus, anak2 Negeri tercinta ini….
Salam Hormat,
Dear Pak Chappy.
Prihatin dengan kondisi Pemilihan Presiden 2014 ini, sebetulnya bisa dikemas dengan apik dan mengusung Indonesia Satu, namun karena awak Media yang ditungganggi para pencari kekuasaan ini, justru kesannya mengadu domba dengan meramaikan suasana….
Betul sekali pemikiran anda…..
Prihatin prihatin…
Tulisan yang bagus dan menarik dari pak Chappy. Saya juga sedih melihat para purnawirawan TNI saat terjun politik>Mereka akhirnya banyak yang terlibat menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertempuran. Semoga tulisan ini bisa menyadarkan kita semua.
Yth bapak Chappy Hakim
Selamat pagi menjelang siang
Saya seorang rakyat biasa yang saat ini masih berbakti untuk TNI yang kita sama2 cintai…….dari lubuk hati yang paling dalam menyampaikan rasa terimakasih dan hormat serta salut akan tulisan bapak yang mampu menghadirkan seluruh perasaan yang campur aduk……..antara sedih, prihatin, jengkel (mohon maaf), dan kecewa……melihat para mantan pemimpin kami berlaku dan berbuat seperti apa yg dipertontonkan pada kesibukan hiruk pikuk pemilihan peresiden saat ini…..semoga tulisan bapakmemberikan pencerahan akan arti kesetiaan dan kehormatan. Saya juga ingin berterimakasih kepada bapak Chappy yang telah menggugah kembali ingatan saya akan alamarhum bapak saya tercinta yang juga purnawirawan dan menjadi warga negara biasa…….terimakasih atas keharuan dan tetesan air mata yang mampu di hadirkan dari tulisan bapak …….saya yang selalu mengagumi pemimpin seperti bapak
Yth. Pak Chappy Hakim
Salut dan takjub akan tulisan Bapak.
Memang tidak mudah untuk menjadi pribadi yang santun, bersahaja, dan bermartabat, sehingga dihargai oleh orang lain sebagai orang yang bijak.
Tua belum tentu Dewasa, Berpangkat belum tentu Berharkat.
Semoga Bapak bisa dijadikan teladan untuk kami semua dan mudah2an kita dimasukkan kedalam golongan orang2 yang berguna. Amien
Salam Hormat
Lalang Herlana
Selamat Malam Chief,
Coretan yang sangat menggugah, sangat membuka hati dan pikiran saya, mudah-mudahan semua yang membaca coretan ini merasakan hal yang sama.
Terhadap pihak yang disinggung dalam artikel ini, semoga menjadi bijak menghadapi arus politik saat ini.
Ketika rasa ‘kehormatan; itu sirna, kebanggaan apa lagi yang tersisa?
Salam,
Andrie
Saya bangga menjadi Bangsa Indonesia…