Tadi pagi, pagi-pagi sekali, saya menerima email dari seorang rekan yang isinya adalah sebuah surat dari Kanada. Surat yang isinya , sebenarnya sudah banyak saya dengar dari beberapa teman-teman PTDI, dahulu bernama IPTN. Isi yang nadanya adalah, sebenarnya kita bisa maju dengan industri dirgantara di tanah air sendiri, namun pada kenyataannya saat ini, orang atau negara lain lah yang menikmatinya.
Kita memiliki banyak pakar industri dirgantara yang sekarang bertebaran diseluruh pabrik pesawat di dunia, termasuk di Boeing dan Airbus. Sementara yang tetap di Indonesia dapat dipastikan berstatus “pengangguran” atau setengah pengangguran. Itulah nasibnya PTDI, sudah bagus-bagus bernama IPTN yang merupakan refleksi dari rasa hormat kepada seorang pahlawan bangsa, tidak ada angin dan tidak ada hujan diganti namanya beberapa kali dan berakhir dengan nama PTDI. Maka seolah seperti itu pulalah nasibnya……. “full amburadul”!
Berikut ini isi suratnya, yang saya pikir cukup menarik :
Renungan : Menyimak Industri Dirgantara Manca Negara.
Industri dirgantara di Kanada terdiri dari sekitar 400 perusahaan nasional yang tersebar di delapan wilayah propinsi. Sebagian besar dari perusahaan2 tersebut berada di propinsi Quebec dan Ontario. Perkembangan industri di Kanada paska perang dunia berlangsung selama 50 tahun terakhir dan sejauh ini berhasil menciptakan produk2 unggulan antara lain pesawat terbang, helikopter, mesin turbin gas, simulator pesawat terbang dan “Canadarm” yang dipergunakan di stasiun ruang angkasa milik NASA. Berdasarkan data statistik tahun 2007, besaran nilai jual produk2 industri dirgantara per tahun di Kanada adalah sebesar USD 22.7 miliard, dimana sebagian besar (USD 18.6 miliard) berupa komponen ekspor.
Investasi yang ditanamkan selama tahun 2007 di sektor dirgantara sebesar USD 1.6 miliard dan pemerintah federal maupun propinsi berperan besar dalam mendukung investasi terutama di bidang riset kedirgantaraan. Tercatat tidak kurang dari USD 6 miliard telah dikucurkan kepada empat pemain utama yaitu Bombardier Aerospace, Pratt & Whitney Canada, Bell Helicopter Textron dan CAE dalam dua dasawarsa terakhir guna mendukung program pengembangan produk2 baru mereka. Dana ini dberikan dalam bentuk pinjaman penyertaan modal usaha yang kadang kala masih menjadi bahan perdebatan di tingkat nasional maupun internasional.
Bagaimanapun industri dirgantara Kanada selain mampu terus meningkatkan nilai jual per tahun mereka, juga telah menciptakan sekitar 82,000 lapangan kerja bersifat permanen. Rasio jumlah pekerja dan nilai jual di Kanada termasuk yang terkecil di antara negara2 penghasil produk dirgantara lainnya, hal ini menunjukkan tingginya tingkat efisiensi proses yang diterapkan.
Di tingkat internasional, industri dirgantara Kanada menempati urutan ke empat bersama Jerman dalam hal nilai penjualan dan berada di urutan pertama pada kategori nilai jual ekspor bersama Inggris Raya. Menarik untuk diperhatikan, Brasil dengan Embraer sebagai pemain utama menduduki urutan ke enam di dunia dengan nilai penjualan sebesar USD 5.4 miliard dan 90% merupakan komponen ekspor. Perlu diingat bahwa privatisasi Embraer baru terjadi sekitar 15 tahun lalu dimana kemudian mereka memilih sektor “regional aircraft” sebagai platform produk dirgantara mereka. Dalam waktu singkat mereka telah menjadi perusahaan pengekspor terbesar di Brasil.
Jauh sebelum privatisasi Embraer, PTDI (dh. IPTN) telah mencanangkan program pengembangan produk pesawat terbang berbasis pasar domestik. Desain pesawat terbang regional N-250 dan N-2130 tidak jauh berbeda dengan produk2 Embraer yang sekarang berjaya di pasar internasional. Seandainya Indonesia dapat menuntaskan program2 mereka di tahun 90-an, bukanlah sesuatu yang mustahil kalau 50% dari pendapatan Brasil saat ini bisa menjadi milik Indonesia. USD 2.7 miliard dibanding dengan USD 136 miliard prediksi nilai ekspor Indonesia di tahun 2008 bukan suatu besaran yang kecil. Perdebatan mengenai perlu atau tidaknya mengembangkan industri dirgantara di Indonesia mungkin akan tetap berlangsung terus mengingat adanya prioritas2 lain yang dianggap memiliki tingkat urgensi yang lebih tinggi. Namun sekali lagi jika Brasil dijadikan sebagai tolok ukur, fakta menunjukkan bahwa pendapatan per kapita mereka USD 7,600 dibandingkan Indonesia USD 1,420 .. Tidak berbeda terlalu jauh! Dan Brasilpun, sama halnya dengan Indonesia, memiliki kendala misalnya dalam hal pengentasan kemiskinan.
Dengan wilayah udara yang begitu besar dan negara yang terdiri dari ribuan pulau, alangkah baiknya jika Indonesia mampu memenuhi kebutuhan transportasi udara secara swadaya dan tidak hanya bergantung dari produk2 luar negeri. Contoh2 dari Brasil dan Kanada di atas mudah2an dapat menjadi bahan pelajaran bagaimana kita dapat mengawali dan mempertahankan industri dirgantara nasional secara profesional.
Wednesday, June 3, 2009 at 6:51am,
Wassalam,
Albertus M .Tjandra
Mudah-mudahan, dengan membaca curhat nya Albertus M.Tjandra, kita semua dapat memetik manfaat untuk melangkah kedepan dengan lebih arif dan bijaksana. Amin.
2 Comments
Pal Chappy, kita patut Prihatin memang dgn matisuri-nya Industri hi-tech yg telah dirintis oleh Pak Nurtanio dan dikembangkan lebih lanjut oleh Pak Habibie. Namun yang lebih disayangkan lagi adalah eksodusnya sejumlah pakar penerbangan kerja di luar negeri al. Malaysia, Sinagapore dll.
Penyebabnya mungkin PTDI saat itu tersendat sendat dan kurang mampu memberikan dana & peluang utk berkarya.
Disana mereka berkarya buat kemajuan bangsa lain , Kasihan, memang dgn nasib N250, N2130 namun yg lebih dikasihani adalah fakta bahwa sumber daya manusia yg hebat hebat pada kabur keluar negeri !!!!!
Kita harus maklum bagaimanapun mereka manusia…… krn mereka juga ingin maju…….. ingin berkarya dgn memanfaatkan keilmuannya ….. ingin dihargai karya nya dan tentusaja ingin memiliki masa depan yang lebih baik buat keluarganya.
Didunia Oil & Gas misalnya , Indonesia pernah berjaya dan diakui sebagai perintis LNG bahkan di-era 90an menjadi eksportir terbesar LNG…….., Sehingga saat Gas resources ketiga terbesar didunia ditemukan, negara timur tengah dipertenganan 90an mulai mengincar dan merekruit sumberdaya yg memiliki keakhlian LNG dari Indonesia.
Tentusaja peluang tsb segera diambil, krn fakta saat itu adalah sumber bahan baku Gas di Indonesia mulai menipis dan masa depan masih menjadi tanda tanya besar. Maka diawal 1996, dilanjutkan pada 1998, 2000 terjadi eksodus besar besaran para profesional dibidang LNG ke LN.
Hasilnya ? didukung dengan sumber Gas yg berlimpah ruah dan dgn menggunalkan sumberdaya Indonesia pada commisioning LNG Plant-nya, Salah satu negara Di Tim-Teng telah menjadi penghasil dan pengekspor LNG terbesar .
Malangnya lagi, walaupun ada peluang kembali ke Indonesia krn sdh adalagi LNG plant yg dibangun, toh Para profesional ini enggan kembali. Kenapa ? kalau kembali, Compensation& Benefit mereka diperlakukan sbg bangsa dewe, bukan Expatriate………. so yg terjadi adalah , orang Indonesia kerja ke Luar negeri orang luar negeri kerja ke Indonesia !!!! Silahkan di cek berapa banyak ex pegawai Migas yg kerja di Tim-Teng, Sachalin Rusia, Kzakastan, Nigeria, Libya , Malaysia, Brunei, Australia . dan berapa banyak org malaysia , Aussi yg kerja di Migas………
Mungkin Direktur Migas akan terkejut ,mengetahui banyaknya profesional migas kita yg berkiprah dan memgang posisi yg cukup dibanggakan. (saya ga yakin mereka aware abaout this issue) The botom line adalah karena Faktor Masa depan ……., jadi utk sementara pengabdian dilupakan sejenak…….., siapa yang salah ? wallahualam. sxgani di Qatar
SXGani, wah terimakasih banyak komentarnya dari Qatar. Bagaimana kabar? Mudah-mudahan bangsa Indonesia cepat dapat segera menyadari kekurangan-kekurangnnya, sehingga negeri kita dapat lebih maju lagi, salam dari tanah air ! CH.