Saat ini Capt. Marwoto Komar tengah mengikuti pengadilan pidana di Sleman. Marwoto adalah penerbang pesawat Garuda nomor penerbangan GA 200 yang mengalami musibah di Jogyakarta pada bulan Maret 2007 yang lalu.
Apakah sudah tepat membawa seorang penerbang ke hadapan pengadilan pidana? Uraian berikut ini tidak bertujuan untuk menyalahkan pihak berwajib tentang dipidanakannya kasus kecelakaan pesawat terbang di Indonesia. Uraian ini hanya bertujuan memberi masukan semata. Mari kita lihat bersama masalah ini dengan kacamata yang jernih. Penerbang diseret ke pengadilan karena telah terjadi kecelakaan pada saat yang bersangkutan menunaikan tugasnya adalah baru pertama kali ini terjadi. Kita harus hati-hati dalam memutuskan sesuatu yang berkait dengan hukum dan regulasi yang mempunyai dampak secara internasional. Beberapa hal harus dipertimbangkan terlebih dahulu secara masak-masak.
Yang pertama adalah, adanya ketentuan dalam salah satu Annex di ketentuan ICAO, International Civil Aviation Organization yang menyatakan bahwa, semua hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dalam investigasi kecelakaan pesawat terbang, termasuk data yang terungkap dari “black box” tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai barang bukti di pengadilan. Karena tujuan dari penyelidikan terhadap terjadinya kecelakaan adalah untuk mencegah berulangnya kejadian yang sama diwaktu yang akan datang. Hasil penyelidikan, antara lain juga digunakan sebagai bagian dan masukan untuk “Research and Development ” bagi proses penyempurnaan produksi pesawat terbang.
Berikutnya adalah dengan melihat bagaimana peristiwa kecelakaan itu sampai terjadi. Hal ini penting, karena Marwoto akan dituntut terkait kelalainnya dalam mendaratkan pesawat di Jogyakarta yang mengakibatkan banyak penumpang meninggal dunia. Ada kasus atas hilangnya nyawa orang lain.
Penerbang adalah seorang manusia biasa yang tidak akan mungkin tidak bisa berbuat salah. Demikian pula halnya dengan Capt. Marwoto Komar. Itu sebabnya, maka seluruh kegiatan penerbangan penuh dengan regulasi, ketentuan dan peraturan yang tujuannya adalah, untuk mencegah adanya korban yang jatuh, bila terlanjur terjadi suatu kesalahan. Marwoto, membuat kesalahan sehingga pada waktu mendarat, pesawatnya terlalu ke tengah landasan sehingga tidak dapat dihentikan di landasan, melainkan bablas sampai keluar , menabrak pagar dan kemudian terbakar. Dia landing “overshot”. Inilah yang menyebabkan jatuhnya korban yang meninggal dunia. Kecelakaan seperti ini adalah suatu kesalahan yang dapat terjadi terhadap siapa saja penerbangnya.
Kesalahan penerbang dalam mendarat seperti yang dilakukan oleh Komar adalah kesalahan yang memang sudah diantisipasi dalam penyelenggaraan operasi penerbangan. Oleh sebab itu,maka ada aturan dan ketentuan serta regulasi yang mengatur tentang bagaimana suatu airport itu dibangun. Antara lain dalam salah Annex dari regulasi ICAO, setiap landasan harus memiliki perpanjangan landasan yang cukup untuk ruang darurat (dikenal dengan istilah RESA, Runway End Safety Area) apabila sampai terjadi penerbang melakukan “overshot”. Demikian pula suatu airport harus dilengkapi dengan satuan pemadam kebakaran yang kualitasnya sesuai dengan kelas dari pesawat terbang yang menggunakan airport tersebut. Dengan demikian, apabila terjadi kecelakaan yang menyebabkan pesawat terbakar, maka pemadam kebakaran tersebut dapat bekerja dengan cepat untuk memadamkan agar tidak terjadi jatuhnya korban.
Dalam kasus Marwoto ini, jatuhnya korban antara lain didukung oleh kondisi airport atau mungkin lebih tepat dikatakan aerodrome Jogyakarta yang tidak sesuai standar ICAO. Tidak ada RESA, perpanjangan landasan yang cukup untuk menampung lajunya pesawat bila terjadi “overshot”, dan juga tidak ada satuan pemadam kebakaran yang kualitasnya sesuai dengan persyaratan yang memadamkan kebakaran yang terjadi. Konon pemadam kebakaran di airport tidak bisa mencapai ke pesawat yang terbakar karena terhalang pagar.
Kesimpulannya, Marwoto memang melakukan kesalahan dalam mendaratkan pesawatnya. Akan tetapi korban yang jatuh, lebih disebabkan atau didukung pula karena aerodrome Jogyakarta tidak sesuai dengan standar ICAO.
Republik Indonesia adalah Negara anggota ICAO dan telah turut menandatangani konvensi Chicago pada 27 April 1950, yang antara lain memuat regulasi, aturan dan ketentuan tentang penyelenggaraan penerbangan. Dengan demikian, maka Otoritas Penerbangan Republik Indonesia terikat dan tunduk kepada aturan-aturan ICAO yang antara lain memuat tentang persyaratan suatu aerodrome termasuk mengenai RESA dan kelas dari pemadam kebakaran yang harus tersedia.
Dari uraian ini, menjadi sangat jelaslah bahan untuk menjawab pertanyaan, bahwa :”apakah sudah tepat langkah mengadili Capt Marwoto di pengadilan pidana, berkait ada unsur tanggung jawab otoritas penerbangan Republik Indonesia didalamnya yang mendukung sampai jatuhnya korban yang meninggal dunia ?”.
Kita harus hati-hati, karena dunia penerbangan Internasional, akhir-akhir ini senantiasa melihat masalah penerbangan di Indonesia yang kerap terlihat tidak patuh azas.