Berita mutakhir tentang hasil dari studi banding DPR yang banyak muncul di media cetak awal minggu ini ternyata memberikan konfirmasi dari persepsi yang berkembang dimasyarakat selama ini. Persepsi bahwa pelaksanaan studi banding anggota DPR adalah sekedar kamuflase dari jurus “pelesiran gratis“ atau dengan biaya negara. Begitu banyak masukan tentang hal ini, yang tidak saja dari dalam negeri akan tetapi juga datang dari para mahasiswa kita di luar negeri. Masukan yang antara lain menyebutkan bahwa studi banding sekarang ini dapat dengan mudah dilakukan dengan menggunakan kemajuan teknologi seperti internet dan tele konferensi.
Demikian banyak masukan yang positif tentang hal ini, dan semuanya dijawab dengan berbagai macam dalih untuk membenarkan perjalanan mereka ke luar negeri. Tidak sulit untuk melihat hal tersebut sebagai satu jurus yang “akal akalan“, karena pada umumnya tujuan studi banding adalah ternyata sama dan sebangun dengan daerah “tujuan wisata internasional“. Lebih memalukan lagi, karena ternyata ada beberapa dari mereka yang “kepergok” mahasiswa Indonesia di Paris dan negeri Belanda tengah melakukan “shoping” intensif, sambil menenteng kantong-kantong belanjaan dengan berbagai merek terkenal. Lebih menggelikan lagi, karena mereka “kepergok” keluar masuk salah satu toko yang ber label “SALE” di depannya. Lebih hebat lagi, ada yang sambil menenteng belanjaannya membantah bahwa mereka tengah berfoya-foya, sambil mengatakan bahwa mereka belanja itu dengan uang sendiri. Sudah sulit sekali untuk mengetahui lagi siapa yang waras atau tidak .
Berikut, kutipan dari beberapa media di awal pekan ini :
Studi Banding Mubazir karena sistem berbeda :
Hasil studi banding para anggota panja, panitia kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (susduk) ke Jerman dan Amerika Serikat tidak bisa diterapkan di Indonesia karena kondisi dan sistem yang berbeda dengan Indonesia. Dalam sistem Parlemen AS, ketua Parlemen mempunyai kewenangan cukup besar, tidak hanya berfungsi sebagai “speaker of the house“, tetapi juga berwenang menghentikan pembahasan RUU serta mengangkat dan memberhentikan pejabat parlemen. “Apa yang ada di sana sangat berbeda dengan yang ada di parlemen kita “, kata anggota Panja RUU susduk dari F-PAN Sayuti Ahsyatri di Jakarta kemarin. Sayuti adalah salah satu anggota panja yang ikut kegiatan studi banding ke AS akhir januari lalu bersama tujuh rekannya, yaitu Wakil Ketua Pansus RUU susduk Nursanita Nasution sebagai ketua rombongan, Hajrianto Y Thohari, Azhar Romli, Tyas Indyah Iskandar, Wila Chandrawila Supriadi, FX Soekarno dan Fahri Hamzah. Menurutnya, konsep yang ada di AS tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Itu disebabkan kewenangan sebesar ketua parlemen lebih cocok diterapkan untuk sistem dua parpol. Tidak mungkin diterapkan di negara dengan sistem multi partai seperti Indonesia, jelasnya.
Sementara itu, ketua rombongan ke Jerman Mufid Busyairi menyatakan fungsi pimpinan dewan di Jerman juga tidak hanya menjadi pembicara, tapi punya kewenangan merepresentasikan negara jika presiden atau kanselir berhalangan hadir dalam forum internasional. Selain itu, tambah Mufid dengan sistem negara bagian, kewenangan DPRD cukup besar. Karena itu, sistem parlemen yang ada di Jerman itu tidak dapat secara langsung diterapkan di Indonesia.
Nah, dari kedua uraian diatas itu, menjadi semakin terang benderang, bahwasanya memang kegiatan studi banding itu ternyata tidak lebih dari alasan untuk “jalan-jalan” gratis. Agak sulit bisa dimengerti penjelasan tentang mubazir nya pelaksanaan studi banding tersebut. Kalau kita perhatikan, penjelasan mereka yang baru pulang melaksanakan studi banding ke Amerika Serikat, bahwa ada sistem yang tidak bisa diterapkan karena di AS ternyata menganut sistem dua partai dan di Indonesia sistemnya adalah sistem multi partai. Apakah sebelum mereka berangkat, AS itu sistem nya bukan dua partai ? Pasti, kan mereka tahu, akan tetapi toh melaksanakan juga. Jadi mubazir nya kan sudah diketahui dari sejak sebelum berangkat? Jadi kenapa dilaksanakan juga ? Kita semua sudah tahu jawaban klise yang selalu diutarakan yaitu “karena sudah di anggarkan”.
Demikian pula dengan yang tujuannya ke Jerman, mengatakan mubazir karena Jerman itu adalah terdiri dari negara-negara bagian. Pasti juga, sebelum berangkat kan sudah tahu Jerman itu terdiri dari negara bagian, dan berangkat juga, dan pulang mengatakan bahwa sistem di Jerman tidak bisa diterapkan di Indonesia.
Jadi, kesimpulannya, “dagelan macam apa ini ?” Yang menakjubkan, penjelasan yang seperti itu, diberikan langsung oleh anggota DPR yang bersangkutan kepada “pers” dengan wajah tidak berdosa.
Terus, bagaimana dong, saudara-saudara kita yang lain? para korban lapindo, korban banjir, longsor, kebakaran dan lain lain.
Wah, ya kayaknya sih , mungkin harus studi banding dulu…………….. ke negara mana ya ?