Di Tahun 2012 ini sebenarnya dengan mengacu kepada Undang-undang Penerbangan no 1 tahun 2009, lembaga Air Traffic Control Services di Indonesia sudah harus berada dalam satu wadah yang terintegrasi. Selama ini jasa layanan Air Traffic kita tersebar dibanyak institusi. Sebagian besar berada dibawah Angkasa Pura 1 dan sebagian lainnya berada di bawah Angkasa Pura 2.
Beberapa lainnya dibawah pengelolaan TNI dan badan institusi lainnya. Khusus ATC ini adalah merupakan salah satu temuan ICAO di tahun 2007. Inilah yang menyebabkan kita dianggap tidak memenuhi syarat minimum requirement dari International Safety Standard sesuai regulasi International Civil Aviation Organization. ATC harus dilola dalam satu wadah yang istilahnya adalah ATC Services Single Provider. ATC harus keluar dari AP 1 dan AP 2 dan institusi lainnya dan dimasukkan dalam satu wadah organisasi yang tersendiri. Diseluruh dunia, standar pelayanan ATC memang sudah demikian adanya. Pelayanan ATC serta pelayanan navigasi penerbangan dan pelayanan di terminal dan atau di Ariport seharusnya dipisahkan. Tidak dicampur adukkan menjadi satu. Inilah sebenarnya salah satu cikal bakal dari kondisi sekarang ini yang membuat ATC kita berada dalam kesulitan yang sangat serius.
Terbang di Cengkareng menjadi Stress. Sekedar contoh sederhana saja, kini terbang dari Cengkareng, setelah “start engine“, rata-rata pesawat harus antri 30 sampai 45 bahkan 1 jam untuk baru bisa mendapatkan kesempatan “take-off”. Tidak ada bedanya dengan “incoming aircraft”, pesawat yang datang ke Cengkareng harus antri berlapis-lapis pada hanya dua titik kedatangan/keberangkatan saja yang tersedia. Beberapa hari lalu, pesawat dari Malang ke Cengkareng, yang waktu normalnya hanya membutuhkan waktu 1 jam dan 5 atau 10 menit saja, bisa memakan waktu sampai 1 jam 45 menit !
Harap dimaklumi karena pertumbuhan traffic kini memang telah mencapai angka yang fantastis. Satu hari sudah melebihi angka 1000 lebih pergerakan pesawat. Dan itu semua dilayani oleh jumlah sdm yang sangat terbatas dan peralatan yang sudah ketinggalan jaman. JAATS (Jakarta Automated Air Traffic Control System)di Cengkareng umurnya sudah 15 tahun. Ditambah lagi informasi meteorology di Cengkareng belum terintegrasi dalam pelayanan ATC, sehingga dalam banyak hal justru menyulitkan Pilot sekaligus juga sang Controller sendiri.
Dari kesemua itu, kiranya kini adalah saat yang tepat untuk segera mengambil tindakan tegas, mendirikan lembaga independen untuk pelayanan Air Traffic yang terpisah dari pengelolaan airport. Sudah waktunya ATC berdiri sendiri sebagai Single Provider demi keselamatan kita bersama. Janganlah ditunda-tunda lagi dengan alasan yang sangat tidak relevan berkait penyelenggaraan operasi penerbangan yang aman. Apa sebenarnya inti masalah dari itu semua? Dalam salah satu rapat staf di hari minggu yang cerah di ruang rapat Meneg BUMN, Dahlan Iskan pernah bertanya kepada pimpinan AP 1 dan AP 2 apakah sekarang sudah rela melepaskan ATC keluar dari Angkasa Pura? Jawaban inilah yang sebenarnya ditunggu banyak orang, ditunggu oleh penyelenggaraan keamanan dan kenyamanan terbang di Indonesia. Ditunggu agar terbang di Cengkareng tidak stress lagi ! Mudah-mudahan.
Jakarta 16 Mei 2012
Chappy Hakim
3 Comments
Orang luar saja malah peduli dengan SATSP….. Salut Pak Cheppy…kalo boleh berandai Bapak lbh pantas menjadi Dirut SATSP……Bravo ATC
Salut Pak Chappy.. Coba dbumbui route charge yang bisa kita naikkan setelah terbentuk ATSP dalam angka milyar/trilyun rupiah per bulan, pasti cepet terbentuk ATSP dan banyak yang sibuk memantaskan diri..
Membaca tulisan pak Chappy yang mempunyai kapasitas sangat mumpuni dalam dunia penerbangan selalu membuka wawasan sekaligus meningkatkan kekhawatiran kita akan kondisi penerbangan di Indonesia. Seyogyanyalah para pihak yang terkait dengan keselamatan udara cermat menyimak dan menindak-lanjuti temuan dan anjuran beliau. Bravo Pak Chappy…..