(Gambar : Google)
Pendahuluan.
Sejak Tahun 1794 Perancis telah menggunakan “Army Balloon Unit” yang diperuntukkan bagi tugas-tugas “Reconnaissance”. Ini telah menandai sebuah babak baru sejarah umat manusia dalam hal penggunaan matra udara sebagai salah satu alat yang dilihat sangat menentukan dalam hal tugas-tugas pengamanan.
Selanjutnya, pada awal abad 19, dalam peperangan antara Turki dengan Italia, untuk pertamakalinya “power flight” telah menjadi bagian integral dari sebuah pelaksanaan operasi militer. Pada tahun 1909, yaitu hanya berselang 3 tahun saja setelah Wright Bersaudara berhasil menerbangkan pesawat terbang pertama di dunia, Giulio Douhet telah merumuskan teori tentang perubahan besar dalam peperangan. Pengaruh dari dapat digunakannya pesawat terbang dalam berperang, maka berkembanglah apa yang dikenal kemudian dengan istilah yang populer yaitu “Total War” atau perang semesta. Penggunaan pesawat terbang dalam peperangan telah mengeliminasi keterbatasan yang menghambat pergerakan serangan pasukan akibat rintangan di medan perang, baik yang ada di daratan dan juga di perairan. Dengan lepasnya keterbatasan tersebut, Giulio Douhet telah memprediksi tentang perang yang akan dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan bahkan tidak lagi memerlukan sebuah pernyataan perang (declaration of war) untuk memulai sebuah serangan dalam peperangan.
Pada tahun 1927 Giulio Douhet dalam pengembangan teori penggunaan Air Power telah menegaskan tentang diperlukannya koordinasi yang ketat antara unit – unit tempur Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dalam konteks yang di perkenalkannya sebagai “Unified Command”. Sistem Kodal (Komando dan Pengendalian), Command and Control yang terpadu atau Unity of Command. Ditambahkan pula olehnya tentang kebutuhan dari Ministry of Aeronautics untuk menuju efisiensi dalam mengikuti arus perkembangan strategi dan taktik berperang. Patut dicatat bahwa matra udara dalam titik awal penggunaannya adalah semata untuk keperluan militer dalam hal ini peperangan, jauh sebelum orang memikirkan tentang manfaat yang dapat pula di peroleh bagi keperluan sipil atau non perang atau “other than war”.
Itu sebabnya maka Giulio Douhet menjelaskan dalam penggunaan Air Power, ada tiga hal yang menjadi sangat penting yaitu “bersifat total”, kebutuhan tentang “unified command” dan institusi khusus yang menangani sekaligus mendalami bidang Aeronotika.
Perkembangan dalam Perang Dunia ke 2 dan Setelahnya.
Dalam perkembangannya, peran Air Power membuktikan banyak hal yang telah diprediksi oleh Giulio Douhet pada awal abad ke 19. Setidaknya ada 2 peristiwa besar terukir dalam sejarah umat manusia tentang perkembangan Air Power, yaitu tragedi Pearl Harbor tanggal 7 Desember 1941 dan peristiwa tragis 911 tanggal 11 September tahun 2001. Pearl Harbor seolah menyodorkan bukti dari ramalan Giulio Douhet puluhan tahun sebelumnya tentang perang yang akan dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan tidak lagi diperlukan sebuah “pernyataan perang” sebelumnya. Pearl Harbor dikatakan oleh George Friedman dalam bukunya yang terkenal “The Future of War” sebagai “The origin of American Military Failure”. Kejadian Pearl Harbor telah menjadi titik awal dari para pemikir tentang perang di Amerika Serikat mengenai di perlukannya ADIZ, Air Defence Identification Zone dalam sebuah tatanan sistem dari pertahanan keamanan negara atau National Defence and Security System, terutama dalam konteks antisipasi datangnya serbuan mendadak “surprise attack” dari udara.
Pada sisi lainnya , ketika terjadi tragedi 911 yang sempat disebut-sebut sebagai the 2nd Pearl Harbor, Amerika Serikat merasa perlu untuk membangun 2 institusi baru dalam mengantisipasi agar serangan-serangan sejenis Pearl Harbor dan 911 tidak terulang kembali. Institusi tersebut adalah Department of Homeland Security dan TSA (Transportation Security Administration).
Kedua peristiwa tersebut menjelaskan dengan terang benderang tentang apa yang telah diramalkan oleh Giulio Douhet mengenai aplikasi Air Power yang ternyata bersifat “total”, membutuhkan “Unified Command” serta diperlukannya institusi khusus dalam mendalami perkembangan dinamika kemajuan teknologi di bidang Aeronotika.
Indonesia. Indonesia sebagai negara yang berujud kepulauan dan terletak dalam jalur “ring of fire” sudah sangat dikenal sebagai lokasi yang “sangat rawan” bencana. Dengan demikian maka dalam diskusi tentang Smart, Safe and Secure City jelas sekali dibutuhkannya sebuah Kolabirasi TNI, POLRI, Pemerintah Sipil dan Elemen Masyarakat di Aspek Keselamatan, Keamanan dan Mitigasi Bencana di Perkotaan. Dalam hal ini sekedar untuk dapat dilihat sebagai bahan pelajaran, kiranya beberapa kasus bencana yang pernah terjadi dapat di kaji ulang kembali.
Dalam kasus bencana Tsunami Aceh di tahun di tahun 2004, gempa Jogyakarta tahun 2006 dan gempa tahun 2018 di Banten dan Palu terlihat sekali dalam banyak hal penanganan dalam penanggulangan bencana yang masih banyak memerlukan langkah penyempurnaan. Penyempurnaan dalam hal ini tidak saja dalam hal mengantisipasi bencana, akan tetapi juga tindakan cepat tanggap pasca bencana yang memerlukan ketepatan dan kecepatan aksi. Harus diakui bahwa pada umumnya kita masih terbelengu dalam bingkai kultur “Land-base Thinking” yang sudah saatnya ditinjau kembali dan melengkapinya menuju konsep penggunaan dari “Air Power Capability”. Dalam konteks ini, maka penggunaan jasa sarana Satelit untuk monitoring antisipasi bencana sudah harus menjadi Standar Prosedur dari mekanisme kerja para pihak yang berkompeten. Pola penggunaan “airbridge” dalam pelaksanaan “search and rescue” sudah harus terpola dengan baik ditingkat strategis. Demikian pula mengenai “aero medical evacuation”, dukungan adminlog melalui udara dan angkutan peralatan penting penanggulangan bencana seyogyanya sudah merupakan standar baku dalam pelaksanaan di lapangan.
Kesimpulan.
Kesimpulan sementara yang harus menjadi catatan kita bersama adalah , untuk mewujudkan Smart, Safe and Secure City yang membutuhkan kolaborasi TNI, POLRI, pemerintah sipil dan elemen masyarakat di aspek keselamatan, keamanan dan mitigasi bencana di perkotaan, akan sangat dibutuhkan peran penting dari “Air Power” yang melekat didalamnya.
Air Power dalam hal ini membutuhkan kerja yang “total” sifatnya, serta sistem komando dan pengendalian yang tunggal serta institusi di tingkat pusat yang dapat dengan efisien mengkoordinasikan (lintas sektoral) dengan baik seluruh unsur dari potensi yang tersedia baik di dalam maupun di/dari luar negeri.
Jakarta 5 Oktober 2019, Chappy Hakim (Pusat Studi Air Power Indonesia)
Naskah diatas adalah naskah yang dipersiapkan untuk: FGD – Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas (APIC) Senin, 7 Oktober 2019 Multi Function Hall D’Capital, l Soho Capital Lt. 29 Jalan Jenderal S. Parman Kav.28 Jakarta Barat 11470