Mengamati kembali tentang kecelakaan tragis Lion Air JT-610 minimum ada dua hal yang patut menjadi fokus perhatian. Yang pertama adalah mengenai kerusakan yang sama yang telah terjadi pada penerbangan sebelumnya. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebutkan masalah itu sudah terjadi dalam empat penerbangan terakhir.
“Pada 4 penerbangan terakhir ditemukan kerusakan pada penunjuk kecepatan di pesawat, airspeed indicator,” kata Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono dalam konferensi pers seperti yang dapat dikutip dari Reuters. Sebagai catatan, konon pesawat terbang Lion Air JT-610 dengan registrasi PK-LQP adalah merupakan salah satu unit Boeing 737 MAX-8 gelombang pertama yang diterima oleh Lion Air.
Yang kedua adalah terbetik dari adanya berita tentang Asosiasi pilot pesawat komersial di Amerika Serikat yang sempat mempertanyakan kehandalan sistem otomatisasi yang melengkapi Boeing 737 MAX. Pertanyaan mereka itu muncul seiring dengan peristiwa kecelakaan Boeing B 737 MAX 8 PK-LQP Lion Air 29 Oktober 2018 lalu.
Para anggota asosiasi juga memprotes keras Boeing karena dinilai tidak memberikan informasi yang cukup tentang sistem kendali otomatis 737 MAX selama pelatihan. Para pilot menduga, sistem kendali otomatis ini memiliki andil dalam kecelakaan pesawat Lion Air JT610.
Dari kedua hal yang telah diuraikan, maka dapat dengan mudah disimpulkan walau hanya untuk sementara waktu, bahwa telah terjadi “lack of information” dan “lack of supervision”. Kurang lancarnya arus informasi tentang kemajuan teknologi mutakhir yang berjalan demikian cepat dan sekaligus diikuti oleh kurang efektifnya sistem pengawasan dalam pengoperasian penerbangan menggunakan produk mutakhir pesawat terbang super modern.
Dunia penerbangan relatif masih sangat muda usianya, pesawat terbang bermesin pertama baru terbang pada akhir tahun 1903, akan tetapi kemajuan dari lajunya teknologi penerbangan sungguh sangat menakjubkan. Dari penerbangan yang hanya menempuh jarak dan mencapai ketinggian beberapa meter saja di tahun 1903, pada tahun 1969 orang sudah mampu menciptakan pesawat terbang yang dapat terbang dengan kecepatan yang melebihi kecepatan suara, bahkan sudah pula mampu mendaratkan Neil Armstrong di permukaan bulan.
Demikian juga dengan perkembangan pesawat terbang dari keluarga Boeing-737 sebuah tipe produk unggulan pabrik pesawat The Boeing Company. Dalam 50 tahun terakhir, pesawat B-737 telah dikembangkan mulai dari B-737 seri 100, 200, 300 dan seterusnya hingga seri 900 dan 900 ER sampai dengan B-737 Max 7, Max 8 dan Max 9. Dapat dibayangkan bagaimana pesat dan dinamisnya penerapan dari kemajuan teknologi penerbangan kedalam proses produksi pesawat terbang khususnya dalam hal ini jenis B-737. Tentu saja yang sangat dominan dalam hal ini adalah pada proses penyempurnaan produk dari target hemat dalam penggunaan bahan bakar serta efisiensi pengoperasian pesawat terbang yang menyangkut sistem kendali dan informasi serta otomatisasi yang telah merambah ke sistem digital.
Pada setiap perubahan dalam produk baru, dipastikan penjelasan tentang bagaimana cara serta prosedur mengoperasikan pesawat dan faktor pemeliharaannya akan menjadi satu paket dalam proses pengadaan atau pembelian pesawat terbang. Demikian pula mengenai publikasi tambahan dan atau susulan bila terjadi proses penyempurnaan yang terjadi pada setiap produk pesawat terbang. Sementara hal – hal yang mendasar dan prinsip sifatnya akan di tuangkan dengan jelas pada manual operasi (baik normal maupun keadaan darurat) dan manual pemeliharaan pesawat terbang.
Persoalannya adalah dengan begitu pesatnya kemajuan teknologi yang merubah dengan cepat tipe dan jenis serta sistem pengoperasiannya, apakah dapat diikuti dengan baik oleh para pengguna pesawat terbang dilapangan dalam hal ini Maskapai Penerbangan dan jajarannya. Demikian pula seberapa efisien aktivitas pengawasan terhadap kepatuhan dalam menjalankan perubahan baru dari prosedur operasi dan pemeliharaan dapat dilaksanakan dengan baik.
Dunia penerbangan dalam konteks keselamatan dan keamanan terbang sangat memerlukan disiplin yang tinggi dalam pengoperasiannya. Demikian tinggi sehingga dibutuhkan pengawasan melekat yang terus menerus serta tindakan sanksi dengan efek jera bila terjadi kelalaian atau pelanggaran terhadap ketentuan, regulasi dan prosedur yang berlaku. Masalahnya adalah setiap kelalaian atau kecerobohan apalagi pelanggaran terhadap aturan dan prosedur dalam dunia penerbangan maka itu sudah berarti membuka peluang terhadap kemungkinan akan terjadinya kecelakaan.
Kembali pada kecelakaan Lion Air JT-610 dari Jenis B-737 Max 8 yang baru pertama dioperasikan di Indonesia, dengan catatan telah mengalami kerusakan yang sama dalam 4 penerbangan sebelumnya, maka patut dipertanyakan apakah Operator penerbangan dalam hal ini Lion Air telah menerima informasi yang cukup dan lengkap tentang adanya perubahan dari tata cara dan prosedur baku dalam menggunakan pesawat “super-baru” tersebut. Perubahan tata cara dan prosedur yang mencakup tentang pengoperasian dan tindakan pemeliharaan. Apabila sudah diterima, maka pertanyaan berikutnya adalah apakah sudah dilaksanakan dengan baik dan benar proses perubahan tersebut, serta siapa yang harus berperan dalam proses pengawasannya.
Pada titik inilah, kemungkinan besar sistem informasi dan mekanisme pengawasan (dalam dunia penerbangan ) akan sangat membutuhkan proses penyesuaian dan penyempurnaan dalam menghadapi cepatnya perubahan produk pesawat terbang yang melekat erat dengan cepat lajunya kemajuan teknologi. Informasi dan metoda pengawasan yang tertinggal dengan laju kemajuan teknologi yang sangat cepat itu akan memunculkan banyak masalah yang berujung kepada kecelakaan fatal.
Mudah-mudahan kecelakaan pesawat terbang Lion Air Jt-610 dapat menjadi titik awal dari sebuah proses penyempurnaan dalam menyesuaikan sistem informasi dan mekanisme pengawasan terhadap pengoperasian pesawat terbang produk mutakhir berteknologi tinggi yang sarat dengan perubahan. Penyempurnaan dan penyesuaian terhadap Sistem Informasi dan proses pengawasan dalam era “digital cockpit” yang harus dimulai dari internal Maskapai dan bermuara di Otoritas Penerbangan Nasional dalam hal ini Kementrian Perhubungan. Semoga kedepan tidak akan terjadi lagi kecelakaan fatal dalam dunia penerbangan terutama dalam menghadapi produk teknologi mutakhir yang membutuhkan antisipasi jauh sebelumnya untuk menghadapi perubahan yang terjadi.
Jakarta 13 Desember 2018
Chappy Hakim
Ketua Timnas Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi tahun 2007.