Dalam menghadapi anak-anak muda, generasi penerus bangsa, maka yang dibutuhkan adalah sikap yang tepat dari para senior dan atau orang tua mereka. Anak muda membutuhkan sikap yang mendidik, satu sikap yang mempunyai nilai edukasi, agar pertumbuhan para anak muda bangsa itu menjadi sehat dan sejahtera. Ada dua pedoman penting yang seyogyanya menjadi pegangan para orang tua dalam hal ini yaitu memberikan bimbingan atau guidance dan contoh atau keteladanan atau set the example. Pilihan atau alternatif akhir hendaknya diberikan kebebasan kepada para anak muda itu untuk memutuskannya. Proses pengambilan keputusan ini adalah juga merupakan bagian dari pendidikan terutama dalam konteks menentukan sikap. Proses bagaimana decision making itu berjalan.
Dengan demikian secara utuh mereka juga berhadapan dengan tindak lanjutnya yang akan berujud dengan tanggung jawab. Belajar mengambil keputusan, haruslah berjalan dengan keleluasaan yang besar, agar tuntutan tanggung jawab terhadap pilihan yang telah diambil menjadi bagian yang utuh dari proses pengambilan keputusan tersebut. Dalam konteks ini akan berjalan relatif sejajar antara berlatih mengambil keputusan yang berangkai dengan tumbuhnya rasa tanggung jawab sebagai risiko dari proses pengambilan keputusan tersebut.
Decision making, can be regarded as the mental processes (cognitive process) resulting in the selection of a course of action among several alternative scenarios. Every decision making process produces a final choice. The output can be an action or an opinion of choice.
Dalam hal ini, action dan atau opinion of choice itulah yang akan selalu berhadapan atau diikuti dengan tanggung jawab.
Khusus mengenai bagaimana mendidik dalam hal pengambilan keputusan , menarik untuk diikuti ilustrasi berikut ini:
Mengambil keputusan adalah sesuatu yang harus dilatih. Latihan mengambil keputusan seharusnya sudah dimulai dari sejak usia dini. Professor Diran, guru besar Institute Teknologi Bandung, dalam salah satu ceramahnya, memberikan satu ilustrasi yang sangat menarik.
Prof. Diran mengatakan, salah satu kelemahan orang Indonesia adalah dalam mengambil keputusan. Mereka pada umumnya selalu kalah cepat dengan rekan-rekannya dari negara lain, terutama dari negara maju tentu saja. Mengapa? Sebabnya sederhana sekali. Beliau memberikan contoh bagaimana anak-anak kecil orang Indonesia, seolah tidak boleh menentukan sendiri kemauannya. Dari sejak kecil sudah “familiar” bahwa hanya orang tua lah yang memutuskan segala sesuatunya dalam setiap aspek kehidupan. Mungkin, lebih kurang, kita semua juga mengalami hal seperti itu.
Contoh sederhana adalah bila kita bersama-sama makan di sebuah restoran, maka biasanya yang memilih menu terlebih dahulu, akan kemudian diikuti oleh seluruh teman-temannya. Apalagi bila itu terjadi di Luar Negeri. Satu orang memilih “orange Juice”, maka biasanya diikuti dengan “same” dan akhirnya semua nya “same” Celakanya, walaupun ada juga yang tidak doyan dengan “orange juice” ya tetap saja memesan “same” juga alias “orange juice”. Mengapa? ya itu tadi, tidak biasa mengambil keputusan sendiri, dan juga merasa sungkan untuk menjadi lain sendiri. Tapi yang inti adalah “tidak biasa mengambil keputusan”
Nah, setelah beliau berkeluarga, atas persetujuan dengan isteri, maka beliau melatih anak-anaknya dari sejak usia dini untuk mengambil keputusan sendiri terhadap segala sesuatu yang menyangkut kepentingan mereka sendiri, tentunya. Disinilah, mereka belajar memutuskan sesuatu dan kemudian dipersilahkan menikmati hasil keputusannya itu.
Memutuskan masalah dengan solusi “A”, yang kemudian berakibat enak atau tidak enak, atau memutuskan dengan solusi “B”, juga dengan akibat yang dihadapi kemudian senang atau tidak menyenangkan. Inilah proses pembelajaran yang kemudian menjadi bekal pengalaman bagi sang anak untuk mengambil keputusan selanjutnya atau yang akan datang. Demikianlah, tentu saja dengan bimbingan yang mendidik dari orang tuanya, anak-anak pak Diran menjadi terlatih dalam soal mengambil keputusan sendiri. Kesemuanya tentu saja melalui tahapan-tahapan yang diperkirakan sesuai dengan usia sang anak. Mereka menjadi “well trained” dalam soal mengambil keputusan. Celakanya, masih kata Prof Diran, pada satu waktu anaknya ulang tahun, dibawa ke satu toko dan disuruh menentukan sendiri kadonya mau apa, dan keputusan yang diambil oleh sang anak adalah sesuatu barang atau mainan yang digemarinya, yang…cukup mahal harganya?! Apaboleh buat, saya harus konsisten dan harus konsekuen, karena ini adalah proses mendidik anak, dimana faktor tanggung jawab juga harus paralel diberikan dengan contoh atau keteladanan. Jalan keluarnya, ya kalau sang anak ulang tahun selalu dibawa ke toko yang kira-kira harganya terjangkau, he he he he , lanjut beliau sambil bergurau.
Ilustrasi itu sangat sederhana, namun mengandung makna yang sangat dalam. Saya sendiri, kemudian mencontoh apa yang disampaikan Professor Diran. Anak saya, alhamdullilah sudah terbiasa dengan mengambil keputusan sendiri, sepanjang yang menyangkut diri mereka sendiri. Saya dan isteri hanya memberikan saran, pertimbangan dan berbagi pengalaman dengan mereka dan kemudian mereka putuskan sendiri. Tentu saja pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Manusia tidak ada yang sempurna, namun paling tidak, kemudian terlihat bedanya anak saya dengan beberapa anak teman saya. Semasa anak-anak masih sekolah dan kuliah, beberapa teman dekat saya, sering mengeluhkan selalu banyak pertanyaan dari anaknya yang nyaris tiada henti tentang apa-apa yang harus dia putuskan dalam beberapa kegiatan disekolahnya. Anak-anaknya selalu gagal untuk dapat memutuskan sendiri pilihan-pilihan yang mereka hadapi selama sekolah dan kuliah. Anak-anak mereka selalu menunggu orang tuanya mengambil keputusan untuk dirinya. Beda sekali dengan anak saya, mereka hanya bertanya, bila betul-betul dibutuhkan kepada ayah dan ibunya untuk mendapatkan pertimbangan, lalu segera saja mereka memutuskan sendiri keinginannya. Tidak
ada sedikitpun keraguan baginya, karena mereka sudah sangat “biasa” mengambil keputusan. Tentu saja melalui proses panjang “trial by error” untuk dapat mencapai kemantapan diri yang seperti itu. Sebagai manusia biasa, terkadang ada juga beberapa hal yang kami sesali sebagai orang tua terhadap keputusan yang telah diambil oleh anak-anak. Lho, kenapa yang itu yang dipilih? Lho kenapa begitu diputuskannya dan lho, lho yang lainnya. Saya kemudian selalu menghibur isteri saya, sambil juga sebenarnya menghibur diri sendiri, bahwa semakin dewasa anak-anak kita, maka akan semakin berbeda dalam melihat referensi yang digunakannya untuk mengambil keputusan. Ini tidak dapat kita hindari, namun paling tidak didalam hati saya bersukur, bahwa anak-anak saya sanggup megambil keputusan sendiri. Berbeda? saya pikir itu alamiah dan manusiawi sekali, dan mungkin itulah yang kerap terdengar sebagai “generation gap”. Minimal dalam memberikan bimbingan kepada anak, kami, saya dan isteri sudah membekalinya dengan“visi” yang ideal. Demikian pula pada proses pengambilan keputusan salah satu hal yang juga sangat penting sebagai bekal bagi sang anak adalah sikap yang “selalu berfokus pada misi“, sifat yang “mission oriented”. Itulah: Visi dan misi, dan bukan popularitas!
Disamping uraian atau ilustrasi tersebut, dalam konteks yang berbeda dapat juga dicermati ilustrasi lainnya, masih tentang pengambilan keputusan. Kisah ini dikutip dari pengalaman Jenderal George Smith Patton, lulusan Akademi Militer West Point tahun 1909. Seorang Jenderal Angkatan Darat Amerika Serikat, terkenal dengan gaya kepemimpinannya sepanjang perang dunia kedua. Populer karena dianggap sebagai Jenderal eksentrik dengan banyak pernyataan-pernyataannya yang kontroversial. Dia punya pemahaman sendiri mengenai bagaimana seharusnya mengambil keputusan sebagai berikut:
Ada yang mengatakan bahwa hidup adalah hanya berupa untaian dari proses pengambilan keputusan. Nah, bagaimana seseorang itu mengambil keputusan, maka itulah warna hidup yang akan dinikmatinya. Banyak sekali teori tentang bagaimana seharusnya kita mengambil keputusan, dan demikian pula banyak sekali permasalahan yang kita hadapi yang harus segera diambil keputusannya. Khusus mengenai hal ini, ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa: “sekali anda mengambil keputusan, jangan coba untuk melihat kembali kebelakang lagi”. Maksudnya, mungkin agar anda tidak kemudian menyesalinya, menyesali keputusan yang sudah anda ambil.
Bagaimana agar kita tidak kemudian menyesali keputusan yang telah diambil? Disinilah gabungan dari pengetahuan seseorang dengan karakter pribadi yang sedikit banyak akan dominan mempengaruhinya. Untuk sekedar menambah wawasan dan sedikit pengetahuan, akan saya uraikan kutipan dari, bagaimana saran Jenderal George Smith Patton dalam salah satu bukunya yang mengatakan sebagai berikut:
Ada saat yang tepat untuk membuat keputusan. Berusaha menemukan saat yang tepat adalah faktor terpenting dari semua keputusan. Merupakan kesalahan jika membuat keputusan terlalu dini, dan merupakan kesalahan jika membuat keputusan terlalu lambat. Kesalahan terbesar adalah tidak pernah membuat keputusan! Sebagian manajer adalah orang yang suka menunda-nunda, yang menunda pengambilan keputusan hingga keadaan memaksa, dan hingga “keputusan” menjadi mudah, mereka tidak mempunyai pilhan, tetapi sekedar bereaksi, apapun yang akan terjadi, terhadap tuntutan keadaan. Manajer lainnya terlalu gelisah, dan mengambil keputusan -keputusan apa saja- sesegera mungkin, dan kemudian bersusah payah menanggung akibatnya. Jenderal Patton beranggapan bahwa: “kebijakan terbaik adalah menunda keputusan selama mungkin sehingga lebih banyak fakta dapat dikumpulkan” Akan tetapi harus selalu diingat: ”Bila keputusan harus dibuat, tidak boleh lagi ada keraguan!”
Dengan menyimak uraian Patton diatas, maka akan sangat tepatlah apa yang dikatakan pada awal dari tulisan ini yaitu: “sekali anda mengambil keputusan, jangan coba untuk melihat kembali kebelakang lagi”.
Lebih dari itu, sebagai seorang pemimpin, maka anda harus lebih tegas lagi dalam mengambil keputusan. Ragu-ragu akan merefleksikan kelemahan anda, merefleksikan “ketakutan” anda, padahal, pemimpin itu harus “berani”, berani berbuat dan berani bertanggung jawab! Untuk itu, yang paling dan maha penting adalah sebagai “bos” anda tidak mungkin untuk dapat menyenangkan semua orang, dan jangan pula pernah mencobanya, karena: “If you want to please everybody, you please nobody”.
Jakarta 15 Januari 2012
Chappy Hakim
1 Comment
Hi oom CH! Iya oom …inti dari kehidupan itu sebenarnya mengambil keputusan sampai mati. Kadang keputusan yg diambil tidak sesuai dgn harapan…kadang sukses. Itu sebabnya,butuh keberanian u/ hidup. Supaya hidup juga gak asal berani & asal mengambil keputusan manusia perlu kerja sama dengan TUHANnya (sesuai dgn keimanan masing2) dalam mengambil keputusan. Man do the best, GOD do the rest!
Betul om, peran & teladan ortu sangat membantu perilaku anak tmsk salah satunya keberanian mengambil keputusan.
Saya hanya heran dengan orang2 yg diberikan karunia o/ TUHAN untuk mengatur negara ini…sering banget tidak berani dalam mengambil keputusan. Contohnya Presiden kita cenderung peragu.
Apakah presiden kita ini benar2 peragu atau karena kondisi? Bukankah u/ menjadi presiden sudah membuktikan sebuah keputusan besar dalam hidupnya? Kenapa jadi peragu pas jadi presiden?
Sayang sekali kalo jadi presiden/pemimpin tidak berani mengambil keputusan alias peragu. Padahal apapun orangnya & bagaimanapun prosesnya ,gak ada yg kebetulan jadi presiden/pemimpin.
Jangan mau dikenang sebagai presiden/pemimpin asal lewat aja….ambil keputusan!
-intanalyze-