Sengkarut tentang G-30 S PKI. Hari Senin yang lalu saya menerima seorang Kolonel Angkatan Darat. Sang Kolonel dikirim oleh DR Makarim Wibisono, guru besar dosen pembimbing sang Kolonel yang ternyata mahasiswa kandidat program Doktor sebuah Universitas di Jakarta. Dalam hal ini saya akan selalu cepat merespon untuk sebuah momentum yang saya dapat berkontribusi di dalamnya pada konteks menjadikan para Perwira TNI masuk dalam golongan intelektual. Masuk kedalam kancah cerdik cendekia kaum terpelajar yang akan lebih memudahkan perjalanan bangsa ini menuju ke cita-citanya. Saya selalu akan mendorong setiap Perwira untuk mendalami pendidikan apa saja yang membawanya ke tingkat Master atau bahkan Doktor agar negeri ini lebih banyak lagi memiliki Perwira yang berorientasi “Country before Self” dan sekaligus juga memiliki pengetahuan yang luas.
Samuel Huntington dalam bukunya yang terkenal, tentang hubungan sipil dan militer mengatakan tentang satu hal yang menarik. Dikatakannya bahwa apa yang dicari oleh seorang pengusaha adalah jelas yaitu uang. Yang dicari oleh politikus adalah kekuasaan. Lalu apa yang akan diterima oleh seorang militer profesional dari hasil seluruh unjuk kerjanya, respect ! Sampai disini, maka kita sebenarnya akan masuk dalam ranah “peradaban” atau civilization.
Akhir-akhir ini muncul perdebatan yang seolah akan menjadi perdebatan tiada akhir tentang film G-30 S PKI. Menjadi menarik untuk menghayati apa yang disampaikan oleh Prof DR Salim Said, guru besar Universitas Pertahanan, wartawan senior dan Chairman dari Institute Peradaban dalam menanggapi hal ini. Beliau berkata : “Sayalah yang paling berhak berbicara soal film, karena thesis tentang film Indonesia yang membuat adalah saya. Dan sayalah yang pertamakali melihat film itu di Amerika Serikat saat Arifin C Noor akan melakukan finalisasi film tersebut. Arifin sebenarnya tidak mau membuat film itu. Pelurusan sejarah adalah langkah politik, dan itu memprovokasi, kalau anda mau pelurusan tulislah buku.
Anjuran Professor Salim Said itu perlu digarisbawahi yaitu pada bagian yang menjelaskan tentang Pelurusan sejarah adalah langkah politik, dan itu memprovokasi, kalau anda mau pelurusan tulislah buku. Dalam konteks ini maka menjadi sangat jelas bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Salim Said adalah sebuah pendekatan dari sebuah lingkungan yang sangat menghormati dan tunduk pada norma norma sebuah peradaban.
Menulis apalagi buku memang tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut yang bergelar PhD, mantan DanJen Akademi TNI pernah mengutarakan bahwa ia paling tidak suka mendengar Perwira yang berkata bahwa saya tidak bisa menulis Pak, karena saya orang lapangan. Sang DanJen selalu menjawab bahwa : Menulis itu adalah bukan urusannya orang lapangan atau bukan. Menulis itu sangat tergantung kepada kepala Anda. Kalau Kepala Anda memang tidak ada isinya, lalu apa yang mau ditulis? Itu semua adalah refleksi dari sebuah pernyataan bahwa seyogyanya seorang Perwira itu adalah perwira yang terpelajar dan memiliki ilmu serta wawasan yang luas.
Dengan demikian apapun yang akan dikerjakannya akan menghasilkan “respect” sebagai seorang profesional seperti yang dikatakan Samuel P. Huntington. Perwira Profesional Perwira yang dihormati. Ternyata memang hanya orang penting yang sangat memahami tentang kepentingan dan hanya Pejuang yang memahami arti dari perjuangan.
[wp_ad_camp_1]