Pendahuluan
Udara pada umumnya, terutama walayah udara teritori sebuah negara telah menjadi medan utama dalam kontestasi kekuatan negara-negara modern. Sejak kemunculannya sebagai arena peperangan dalam Perang Dunia I, hingga menjadi domain utama dalam strategi militer kontemporer, udara telah mengubah cara negara melihat pertahanan. Di abad ke-21, ketika ancaman bersifat lintas batas dan waktu reaksi menjadi sangat sempit, kemampuan menguasai dan mempertahankan udara merupakan syarat utama bagi kedaulatan dan keberlanjutan eksistensi negara.
Pemikir klasik strategi udara Giulio Douhet sejak awal abad ke-20 telah meramalkan bahwa “To gain command of the air means victory; to be beaten in the air means defeat and acceptance of whatever terms the enemy may be pleased to impose”1. Dengan kata lain, kekalahan di udara berarti menyerah tanpa syarat. Pandangan ini semakin relevan di era modern di mana perang tidak lagi terbatas pada garis depan konvensional.
A. Penguasaan Udara sebagai Pilar Pertahanan Strategis
Penguasaan udara (air superiority) memungkinkan negara untuk mencegah dan menangkal ancaman dengan kecepatan, jangkauan, dan daya hancur tinggi. Billy Mitchell, perintis kekuatan udara Amerika Serikat, menegaskan bahwa “who controls the air controls the world”2. Pernyataan ini menjadi prinsip utama dalam doktrin militer berbagai negara, bahwa tanpa dominasi udara, kekuatan darat dan laut menjadi rentan dan terbatas.
Operasi Desert Storm (1991) menjadi bukti nyata: koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat memenangkan pertempuran lebih dulu di udara sebelum menginjakkan kaki di darat. Dominasi udara memberikan keunggulan strategis dalam menghancurkan infrastruktur militer lawan tanpa menimbulkan kerugian besar di pihak sendiri3.
B. Pertahanan Udara dalam Perspektif Hukum dan Kedaulatan

Harus dipahamu benar bahwa dalam hukum internasional, Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menegaskan bahwa setiap negara berdaulat penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya4. Prinsip ini mengandung implikasi operasional: negara harus mampu melindungi dan mengawasi wilayah udaranya secara aktif. Kedaulatan udara bukan hanya legalitas, tetapi juga kapasitas militer untuk mempertahankan ruang tersebut.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas dan pada posisi sangat strategis memiliki tantangan tersendiri dalam menjaga ruang udara teritorinya. Kasus pelanggaran wilayah udara oleh pesawat asing di Bawean (2003) menjadi ilustrasi bahwa tanpa sistem hanud (pertahanan udara) yang mumpuni, wilayah nasional menjadi rentan terhadap penetrasi pihak luar5.
C. Evolusi Ancaman dan Perluasan Dimensi Pertahanan Udara

Ancaman udara hari ini bukan hanya berupa pesawat tempur atau rudal konvensional, tetapi juga drone otonom, senjata hipersonik, bahkan gangguan siber terhadap sistem pertahanan. Oleh karena itu, sistem hanud modern harus bertransformasi menjadi sistem multi-domain, yang mengintegrasikan komando, kontrol, komunikasi, komputer, intelijen, pengawasan, dan pengintaian (C4ISR).
Pemikiran Giulio Douhet yang menekankan dominasi strategis melalui serangan udara awal, kini mendapat bentuk baru dalam konsep pre-emptive strike menggunakan sistem presisi tinggi berbasis satelit dan AI. Negara-negara seperti AS, Tiongkok, dan Rusia terus mengembangkan kapabilitas udara untuk menjamin efek deterensi dan superiority di masa damai maupun perang6.
D. Udara sebagai Penentu Mobilitas dan Respons Nasional
Di luar fungsi ofensif, udara memiliki fungsi strategis dalam respons cepat terhadap bencana, gangguan keamanan, dan evakuasi. Negara-negara dengan sistem transportasi udara militer-sipil yang terintegrasi mampu memobilisasi kekuatan dan bantuan dalam hitungan jam. Untuk Indonesia yang berpulau-pulau, ketergantungan terhadap udara jauh lebih besar dibanding negara kontinental. Ini menjadikan pembangunan kekuatan udara sebagai kebutuhan bukan pilihan.
E. Mobilitas Strategis: Peran Pesawat Dakota dan Hercules dalam Operasi Militer Indonesia
Dalam sejarah militer Indonesia, udara telah memainkan peran sentral dalam mobilisasi pasukan ke berbagai medan operasi. Keunggulan waktu dan jangkauan yang dimiliki kekuatan udara menjadi solusi dalam mengatasi tantangan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Dua jenis pesawat yang menandai tonggak penting mobilitas strategis Indonesia adalah Douglas C-47 Dakota dan Lockheed C-130 Hercules.
1. Dakota: Simbol Awal Mobilitas Udara Indonesia
Pesawat Dakota menjadi bagian dari sejarah perjuangan Indonesia sejak awal kemerdekaan. Salah satu momen monumental adalah ketika pesawat Dakota RI-001 Seulawah, hasil sumbangan rakyat Aceh, digunakan untuk misi diplomatik dan logistik dalam rangka menggalang dukungan internasional bagi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1948. Dakota menjadi lambang bahwa Indonesia mampu mandiri dalam mengelola angkutan udara strategis, walau dalam kondisi keterbatasan.
Tidak hanya sebagai alat angkut diplomasi, Dakota juga berperan dalam mengangkut pasukan dalam berbagai operasi militer awal, seperti penumpasan pemberontakan dan penyelundupan logistik ke daerah-daerah yang terisolasi. Keandalan Dakota menjadikannya pionir dalam membangun jembatan udara nasional yang bersifat strategis dan simbolis.
2. Hercules: Tulang Punggung Operasi Cepat TNI
Memasuki era modern, Indonesia mengoperasikan pesawat Lockheed C-130 Hercules, yang sejak tahun 1960-an menjadi kekuatan utama dalam mobilisasi militer dan tanggap bencana. Hercules dikenal karena kapasitas besar, kemampuan mendarat di landasan pendek dan tak beraspal, serta fleksibilitasnya untuk berbagai jenis misi.
Pesawat ini memainkan peran vital dalam Operasi Seroja (1975), Operasi Rajawali di Aceh, dan berbagai misi penanganan konflik separatis maupun kemanusiaan. Kecepatan manuver dan daya angkutnya memungkinkan TNI melakukan “geser pasukan” dalam waktu singkat ke wilayah rawan, seperti Papua, Kalimantan, dan daerah perbatasan lainnya.
Sebagaimana ditegaskan oleh Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia:
“Bagi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, penguasaan udara adalah kebutuhan vital. Jika kita tidak mampu mengendalikan udara kita sendiri, maka kita tidak akan mampu mempertahankan tanah dan air kita.”7
Kesimpulan
Penguasaan udara bukan sekadar dimensi teknis dalam strategi pertahanan, tetapi mencerminkan kapasitas negara untuk melindungi dirinya secara menyeluruh—baik dari ancaman militer, diplomatik, maupun bencana alam. Sejarah telah menunjukkan bahwa negara yang mampu mendominasi udara, seperti diramalkan Giulio Douhet dan Billy Mitchell, akan berada dalam posisi strategis untuk memengaruhi jalannya konflik dan stabilitas kawasan.
Bagi Indonesia, penguatan pertahanan udara harus dilakukan dengan kesadaran geografis dan geopolitik. Pengalaman historis dengan pesawat Dakota dan Hercules menunjukkan bahwa mobilitas dan kesiapan adalah kunci. Maka, pembangunan postur pertahanan udara yang modern, adaptif, dan berdaulat mutlak diperlukan agar Indonesia tidak sekadar menjadi penonton di udara, tetapi tuan rumah di langitnya sendiri.
Daftar Pustaka
- Chappy Hakim. Tanah Air Udara-ku Indonesia. Jakarta: PSAPI, 2022.
- Douhet, Giulio. The Command of the Air. Washington, D.C.: Office of Air Force History, 1983 (asli 1921).
- ICAO. Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention), 1944.
- Keegan, John. The Iraq War. New York: Alfred A. Knopf, 2004.
- Mitchell, Billy. Winged Defense: The Development and Possibilities of Modern Air Power. New York: G. P. Putnam’s Sons, 1925.
- TRADOC. Multi-Domain Operations 2028. U.S. Army Training and Doctrine Command, 2018.
- Supriyadi, Eddy. Pesawat Dakota dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas, 2009.
- TNI AU. 70 Tahun Pengabdian TNI AU. Jakarta: Dinas Penerangan TNI AU, 2016.
Footnotes
- Giulio Douhet, The Command of the Air, translated by Dino Ferrari, 1942, p. 30. ↩
- Billy Mitchell, Winged Defense: The Development and Possibilities of Modern Air Power—Economic and Military, 1925. ↩
- Keegan, John. The Iraq War. Alfred A. Knopf, 2004. ↩
- International Civil Aviation Organization (ICAO), Chicago Convention, 1944, Article 1. ↩
- Chappy Hakim, Tanah Air Udara-ku Indonesia, PSAPI, 2022. ↩
- U.S. Army Training and Doctrine Command, Multi-Domain Operations 2028, TRADOC Pamphlet 525-3-1, 2018. ↩
- Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, Tanah Air Udara-ku Indonesia, PSAPI, 2022, hlm. 118. ↩
Jakarta 12 April 2025
Kelompok Kerja Pusat Studi Air Power Indonesia