Bila kita bicara tentang FIR Singapura (dimana sebagian wilayah udara nya adalah merupakan wilayah udara kedaulatan RI) , maka jawaban standar yang muncul adalah :
Wilayah udara FIR itu bukan soal kedaulatan tetapi masalah “Aviation Safety.” Itu biasa, banyak koq negara-negara di Eropa yang wilayah kedaulatannya juga di atur oleh Negara lainnya. Di Kita juga, ada wilayah kedaulatan Australia disektor Christmast Island yang pengaturannya berada dibawah Otoritas penerbangan RI, jadi biasa dan nggak apa karena sekali lagi itu kan masalah safety.
Kita sendiri kan ngurus wilayah udara di Soekarno Hatta aja kan belum bisa beres, jadi ngapain ngurusin FIR Singapura? Paling kalau diserahkan kita juga , kita nggak bisa ngurusnya, karena kita kan nggak punya sdm yang berkualitas dan juga nggak punya cukup dana untuk membeli peralatan pendukung pengaturan lalulintas udara seperti antara lain radar.
Banyak yang tidak menyadari, bahwa RI adalah merupakan Negara terbesar dan terluas dikawasan ASEAN. Bahwa RI adalah terletak pada lokasi yang sangat strategis terutama dalam konteks perhubungan udara di kawasan Asean.
Dari sisi ini saja, tentunya sangat tidak pantas bila pengaturan wilayah udara kedaulatan RI diserahkan kepada satu Negara kecil di kawasan perbatasan yang sangat padat dalam konteks niaga dengan banyak Negara lain disekelilingnya. Ini lebih dari sekedar mengandung makna komersial dan komoditi semata, akan tetapi lebih jauh dari itu, ini adalah masalah kehormatan sebagai bangsa, masalah nasionalisme, masalah harga diri bangsa, masalah patriotisme, masalah kebanggaan sebagai bangsa besar, masalah keperdulian terhadap kebanggaan sebagai bangsa bahari (ingat kita adalah Negara kepulauan terbesar di seantero jagad ini), kita bukanlah Eropa ! ini adalah masalah dignity ! masalah kesadaran berbangsa, kesadaran akan sikap bermartabat sebagai satu Nation ! Kebanggaan sebagai Saya Orang Indonesia ! Belum lagi bila kita sudah memasuki pembahasan tentang kecintaan terhadap Negara bangsa yang otomatis membuat setiap warga negaranya memiliki tugas melekat untuk mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia !
Tidak bisa disangkal oleh siapapun dan oleh teori manapun tentang sistem pertahanan Negara yang bisa mengatakan bahwa kawasan selat Malaka adalah bukan kawasan perbatasan kritis yang bernilai sangat strategis / Critical Border yang harus menjadi bagian utama perhatian RI dalam menggelar sistem pertahanannya. Ingat, lebih dari 60% perang yang terjadi disepanjang sejarah dunia, penyebab utamanya adalah “border dispute”/ Sengketa Perbatasan. Jadi, sangatlah naïf, bila kemudian ada yang berkata dengan enteng bahwa itu hanya soal biasa dan itu hanyalah soal “aviation safety” belaka.
Jangan coba-coba mengatakan FIR Singapura sebagai hal biasa, hal keamanan terbang belaka, bahwa ini bukanlah soal kedaulatan semata, apalagi dengan mengatakan, wilayah kedaulatan kita diatur oleh Singapura, tidak apa, karena kita pun diberi hak mengatur wilayah udara kedaulatan Australia, satu Negara besar, yaitu dikawasan udara sekitar Christmast Island. Jadi….. ya biasa !
Ini benar-benar menyesatkan ! Christmas Island adalah hanya sebuah pulau sangat kecil milik koloni Inggris dan dikelola Singapura yang kemudian diserahkan/dibeli oleh Australia . Terletak di selatan samudra Hindia , lebih kurang hanya berjarak 970 km di selatan Jakarta, jauh sekali dari Australia, dia berjarak 2600 km dari Australia.
Chrismast Island adalah sebuah pulau yang penduduknya hanya 2000 orang, luasnya hanya 135 km2 dengan garis dalam pulau yang paling panjang hanyalah 19 km, lebih pendek dari jarak Harmoni ke Blok M. Itu artinya sangat sulit untuk mengatakan kawasan tersebut sebagai critical border.
Apalagi kalo kita bicara tentang “air traffic” yang pengelolaannya diserahkan kepada otoritas penerbangan Indonesia. Ini data mutakhir dari kepadatan lalulintas penerbangan di Chrismast Island. Ada empat penerbangan dalam satu Minggu menggunakan Virgin Australian Airlines ke Chrismast Island yang berangkat dari Perth dan satu penerbangan carter yang kadang-kadang tidak terselenggara karena tidak cukup penumpang, yang diselenggarakan salah satu travel biro kecil di Malaysia.
Jadi menyamakan kawasan kedaulatan Udara Australia yang dikelola otoritas penerbangan Indonesia dengan kawasan selat malaka tempatnya wilayah kedaulatan Indonesia yang dikelola oleh otoritas penerbangan Singapura, adalah benar-benar laksana membandingkan Bumi dengan Langit ! Sekali lagi sungguh Naif !
Berikutnya lagi ada juga argumen yang mengatakan bahwa kita mengurus kawasan udara di Soekarno Hatta saja tidak becus, ngapain lagi repot-repot mau ambil alih FIR Singapura? Ada satu analogi yang mungkin bisa menjelaskan tentang hal ini. Bila didalam sebuah rumah, kita sebagai pemilik rumah berhadapan dengan kesulitan dalam mengelola ruang didalam rumah kita sendiri, apakah kemudian kita akan membiarkan sebagian pekarangan kita ditanami pohon singkong oleh tetangga rumah sebelah yang rumahnya pun jauh lebih kecil dari rumah kita?
Kenyataannya, jangankan pekarangan, apalagi dengan tetangga rumah sebelah yang rumahnya kecil, daun pohon saja yang melintas pagar rumah kita, itu sudah menjadi alasan kuat untuk menegur sang tetangga !
Berikutnya lagi, nggak mungkinlah kita ambil oper itu FIR Singapura, walau itu adalah wilayah udara kedaulatan kita. Kenapa nggak mungkin? Ya, karena kita kan nggak punya sdm yang berkualitas, kita juga kan nggak punya cukup dana untuk pengadaan peralatan yang mahal-mahal itu dan lain sebagainya. Intinya kita tidak punya sdm dan cukup dana !
Sebagai pemilik wilayah udara, walau saat ini wilayah tersebut tengah berada dibawah pengelolaan Negara lain, kita seharusnya berhak menempatkan sdm kita di Negara pengelola. Negara pengelola selayaknya juga merekrut tenaga sdm kita sebagai sdm yang berkualitas standar internasional untuk dapat membantu mereka dalam pelaksanaan tugas berkait dengan kepentingan Negara pemilik Wilayah Udara tersebut.
Paling tidak dengan menempatkan sdm kita disana, minimal kepentingan operasi penerbangan di wilayah kedaulatan kita sendiri dapat berlangsung lebih mudah. Sang pemilik wilayah sangat berhak memperoleh prioritas dalam perijinan terbang yang cakupannya memang berada diwilayah sendiri. Di wilayah sendiri yang secara kebetulan kini tengah berada dibawah kewenangan otorotas penerbangan sipil negara lain. Disisi lain banyak juga penerbangan yang berlangsung diwilayah tersebut yang tidak seharusnya diketahui secara detil misi penerbangannya oleh Negara tetangga.
Lebih-lebih kepentingan dari misi penerbangan tertentu kadang justru terhambat karena tidak diketahuinya dengan benar oleh pihak pengelola. Hal ini akan jauh lebih menyelesaikan masalah bila ada perwakilan sdm kita disana. Dengan pola seperti ini, secara bertahap. Kita akan memperoleh sdm berkualitas yang juga dapat dalam satu waktu nanti bertugas diwilayah yang padat tersebut.
Mengenai soal dukungan dana dalam konteks pemenuhan peralatan pengatur lalu lintas udara, dapat dengan mudah dicarikan jalan keluarnya. Fee dari jasa pelayanan lalulintas udara di atas wilayah kedaulatan kita, seyogyanya menjadi hak kita, paling tidak dalam prosentasi tertentu. Biaya itulah yang dapat digunakan sebagai “kredit” mencicil dalam proses pengadaan peralatan modern pengatur lalulintas udara.
Minimal, dalam konteks ini dapat dengan mudah dilakukan kerjasama yang sifatnya “saling-menguntungkan”. Jadi alasan tidak memiliki sdm dan biaya dalam hubungannya dengan upaya pengambilalihan FIR Singapura sama sekali tidak bisa diterima akal sehat.
Dalam perkembangannya, penerbangan sipil sudah demikian pesat berkembang. Peristiwa 911 di tahun 2001, memberikan sinyal yang sangat kuat tentang bagaimana penerbangan sipil sudah harus berada dalam pengawasan yang ketat, menyangkut keamanan satu Negara .
Sekarang ini sudah waktunya memikirkan satu bentuk civil military air traffic flow management system, dimana pengelolaan lalulintas udara sipil yang sangat padat sudah seharusnya menjadi bagian terpadu dari pengaturan lalulintas penerbangan secara keseluruhan termasuk penerbangan militer. Beberapa Negara telah melaksanakan hal ini, tidak saja ditujukan untuk keamanan terbang tetapi juga dalam kerangka pengamanan Negara dalam arti luas.
Kita harus segera berusaha membenahi masalah FIR ini. Masalah yang tidak cukup diserahkan kepada Kementrian Perhubungan saja tetapi juga dan terutama bersama-sama Kementrian Pertahanan, Kementrian Luar Negeri dan Kementrian Dalam Negeri. Masalah yang sangat serius dan bergengsi yang tidak hanya menjadi urusannya Kementrian Perhubungan semata, seperti yang selama ini berlangsung.
Jakarta 12 Mei 2013
Chappy Hakim
6 Comments
Setuju dgn pandangan Marsekal Chappy, its about our dignity as a nation, dan juga telah diamanahkan dalam UU no.1/1999 tentang penerbangan, dan saya sebagai seorang Air Traffic Controller YAKIN kita bisa memberi air traffic services seperti yang diberikan oleh Singapura
Maju terus dunia penerbangan indonesia, terima kasih atas buah fikiran pak Chappy Hakim dalam artikel ini..
buat pak Ali Husein Bahweres, sukses pak buat karirnya, terima kasih atas ilmu yang bapak berikan selama di pendidikan..
Betul Pak Marsekal, kini kesadaran dan kebanggan kita sebagai bangsa Indonesia mulai sedikit tergerus dengan Singapurisasi Asean, dimana terkadang WNI lebih senang pergi ke Singapur daripada tinggal di Indonesia, lantas meremehkan Indonesia atas singapur, kita bahkan tidak sadar kalau TNI AU sampai diprotes saat terbang di wilayah sendiri. Saya terkadang miris ketika banyak orang Indonesia berkata menjelek2an bangsanya dari singapur tanpa mereka berbuat apa2. Intinya, globalisasi sedikit berefek buruk terhadap dignity kita selaku BANGSA INDONESIA.
Pak Chappy, perkenalkan saya pensiunan ATC Jakarta, saya setuju dan sependapat dengan Pa Chappy penguasaan, pengelolaan FIR yang sekarang dipegang oleh Singapore harus kita ambil alih. Saya ingat kejadian tahun 80an, GA874 mau terbang ke HKG dan minta FL330. Singapore ACC mengatakan < tunggu 30 menit lagi atau berangkat sekarang tapi di FL250. Alasannya Singapore punya traffic yang mau ke Australia yg bisa conflict dg GA874 jika berangkat sekarang . Jelas GA874 tidak mau karena itu bukan economic Flight levelnya, Dalam contoh ini jelas Singapore mendahulukan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan kerugian Garuda.
Lha wong dilangit kita sendiri kok negara lain yang atur, gimana ini?
Kalau ada yang membuat analogi penyerahan control Christmas dan Timtim sama dengan penyerahan FIR Indonesia kepada Singapore, itu benar2 logikanya terbalik, yang benar ya Singapore yang kecil menitipkan controlnya pada Indonesia, (tapi Singapore tidak akan mau, karena itu satu2nya pintu masuk ke Singapore).
Singapore punya fasilitas dan SDM yang lebih baik, itu pendapat yang melecehkan bangsa sendiri.
Terimakasih banyak atas tanggapannya Pak ! Mari kita perjuangkan bersama untuk menjaga kehormatan bangsa !
Bravo ! Ayo bergerak !