SELURUH Maskapai Penerbangan Republik Indonesia, sudah lebih dari satu tahun dilarang terbang ke Eropa. Mengapa dan apa yang sebenarnya terjadi. Rumor atau cerita burung yang menyertainya adalah, konon disebabkan faktor politis, ada juga yang mengatakan sebagai dampak dari persaingan usaha antara Airbus dan Boeing. Kemudian muncul pula, katanya disebabkan oleh karena klarifikasi terhadap banyaknya accident yang terjadi di Indonesia oleh Uni Eropa tidak pernah dijawab, katanya lagi karena staf nya Ditjen perhubungan udara yang tidak bisa bahasa Inggris. Ada juga yang mengatakan karena adegan pembunuhan Munir yang berlangsung di negeri Belanda, dan lain lain dan lain-lain.
Lupakan saja berbagai rumor tersebut dan selanjutnya , marilah kita bahas masalah ini dengan berpedoman kepada realita yang terjadi. Pada kesempatan saya memimpin delegasi pemerintah Indonesia ke Brussel bulan Agustus 2008 untuk mengetahui lebih jauh tentang “ban UE” ini, saya dapat menangkap penyebab utama dari dijatuhkannya sanksi “ban UE” itu. Hal yang paling utama adalah, bahwa sanksi tersebut dijatuhkan dengan mengacu kepada tindakan FAA yang men “down-grade” otoritas penerbangan Republik Indonesia ke kategori 2, yaitu sebagai “un-safe” atau “fail” atau “does not meet the requirement“.
Requirement dimaksud adalah “ICAO Standard Flying Safety “. ICAO sendiri, setelah melakukan “audit” di Indonesia, kemudian mengumumkan tentang ditemukannya 121 penyimpangan dari aturan baku keselamatan terbang internasional. Berdasarkan temuan itulah FAA kemudian men “down-grade” otoritas penerbangan Indonesia. FAA hanya mengenal 2 kategori yaitu kategori 1 : “Pass” atau memenuhi syarat dan kategori 2 : “Fail” atau un-safe yang berarti tidak memenuhi syarat.
Hal yang kedua adalah, UE mempertanyakan tentang metoda apa yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Republik Indonesia dalam melakukan “kategorisasi” Maskapai Penerbangannya. Disertai saran agar kategorisasi tersebut disesuaikan dengan standar prosedur yang tercantum dalam regulasi yang tercantum di ICAO.
Kesimpulannya adalah, UE menerapkan “ban” kepada seluruh Maskapai Penerbangan Indonesia terutama mengacu kepada 121 “ICAO findings“ yang disertai dengan mempertanyakan tentang metoda kategorisasi maskapai penerbangan Indonesia yang dilihat sebagai tidak mengacu kepada standar keselamatan terbang ICAO.
Memahami tentang hal tersebut, saya beranggapan bahwa “Ban UE”, tidak perlu untuk segera ditindak lanjuti. Yang penting harus dikerjakan sesegera mungkin oleh Ototritas Penerbangan Republik Indonesia adalah menyelesaikan pekerjaan rumah nya, yaitu menindak lanjuti 121 temuan ICAO, agar Otoritas Penerbangan Indonesia dapat memperoleh kembali kredibilitas nya di dunia penerbangan internasional . Dengan itu pula, maka UE akan kehilangan alasan untuk memberlakukan “ban” terhadap maskapai penerbangan kita.
Jadi sebenarnya adalah, selama ini kita telah mengambil langkah yang kurang tepat, yaitu dengan mencoba melanjutkan lobi tentang dicabutnya “ban” oleh Uni Eropa. Dengan berusaha keras mendekat ke UE, yang terjadi adalah, kita menjadi bulan-bulanannya UE, yaitu diberikan “pekerjaan rumah” tambahan dengan ujian yang dilaksanakan setiap tiga bulan sekali. Padahal, jelas-jelas masalah nya adalah terletak di dalam diri kita sendiri yaitu berupa 121 temuan ICAO tadi. Sekali lagi, akan jauh lebih baik kita mengerjakan sendiri apa yang harus diperbaiki dari temuan ICAO tersebut, dan segera setelah selesai maka secara otomatis “ban” UE akan segera pula berakhir, dalam arti UE tidak akan memiliki alasan lagi untuk mem “ban” maskapai penerbangan kita.
Dengan demikian, maka apa yang kita kerjakan itu memiliki keuntungan yang langsung bagi dunia penerbangan kita, mengembalikan “kredibilitas” otoritas penerbangan nasional dan sekali gus berpotensi besar melepaskan maskapai penerbangan nasional dari “ban” UE. Hal ini akan jauh lebih baik, karena dampaknya langsung kepada perbaikan diri kita sendiri. Memasuki tahun baru 2009, dengan berbagai perkembangan yang mungkin terjadi, “Ban” UE, dapat saja kemudian, setiap saat dicabut dengan alasan “politis” atau alasan lainnya , kita tidak tahu, akan tetapi kebobrokan di diri kita sendiri yaitu 121 temuan ICAO, hanya kita sendiri yang bisa memperbaikinya, tidak ada langkah lain apalagi “politik” untuk menyelesaikannya selain mengerjakan dan memperbaiki temuan-temuan tersebut. Karena temuan-temuan tersebut sifatnya “teknis”, yang harus diselesaikan secara “teknis” pula.
Selanjutnya, tentang kategorisasi maskapai penerbangan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, kiranya memang seyogyanya lebih disempurnakan lagi dan mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang standar internasional. Saat ini yang tengah disoroti dalam dunia penerbangan kita adalah aspek “safety”, jadi logika nya adalah, kategorisasi yang dilakukan harus berdasar kepada masalah keselamatan terbang. Pada kenyataannya, kategorisasi yang telah dilaksanakan selama ini adalah yang mengacu kepada “kinerja operasional“. Inilah terutama yang menjadi pertanyaan dari pihak UE. Saya pikir, hal ini tidak ada masalah sama sekali, sepanjang ada kemauan dari kita sendiri untuk memperbaikinya.
Itulah semua gambaran umum dari bagaimana kita dapat berupaya membuat industri penerbangan nasional menjadi lebih baik. Kedepan dengan telah di “sah” kannya Rancangan Undang-undang Penerbangan menjadi Undang-undang, pada beberapa hari yang lalu, maka peluang Republik Indonesia untuk tampil kembali di dunia internasional dengan wajah yang lebih bagus akan lebih terbuka lebar. Hal ini mengingat, banyak faktor yang tercantum dalam undang-undang tersebut sebagian telah mengakomodir beberapa rekomendasi penting yang telah dihasilkan oleh Tim nasional evaluasi keselamatan dan kemanan transportasi tahun 2007 yang lalu.
Mudah-mudahan memasuki tahun 2009, Republik Indonesia dapat bangkit kembali menempatkan diri di dunia penerbangan internasional sesuai dengan martabatnya. Semoga !