Kita dapat mengerti atau memahami para pembuat UUD 1945 yang asli (sebelum perubahan) merumuskan pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut : “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Karena mungkin mereka belum menyadari atau kurang pengetahuannya tentang betapa pentingnya wilayah ruang udara bagi eksistensi suatu negara, atau mungkin mereka masih terbius oleh ungkapan “tanah air” untuk menunjukkan negara Indonesia, atau juga karena suasana revolusi waktu itu yang segala sesuatunya harus serba cepat sehingga tidak mungkin untuk merumuskannya secara sempurna.
Tapi ketika perubahan-perubahan UUD 1945 terjadi, yaitu pada tahun 1999 – 2002 keadaan negara dan bangsa kita sudah jauh berbeda dengan keadaan tahun 1945. Apalagi bila kita lihat mereka yang terlibat dalam perubahan UUD 1945 tersebut, mulai dari Tim Ahli para pimpinan Badan Pekerja MPR, para Anggota MPR, dan pimpinan MPR, mustahil rasanya tidak mengetahui dan memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keruangudaraan, bahkan kerungangkasaan. Mustahil pula rasanya beliau beliau tidak mengetahui bahwa wilayah negara kita tidak hanya terdiri dari “tanah” dan “air”saja, melainkan juga termasuk “ruang udara” di atas daratan dan perairan. Demikian juga rasanya mustahil beliau beliau tidak mengetahui bahwa Indonesia telah meratifikasi (adhesi) Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan terhadap ruang udara di atas wilayah teritorialnya.
Keseluruhan uraian diatas adalah kutipan dari Kertas Kerja atau makalah dari almarhum Guru Besar Fakultas Hukum Unpad Prof.(em) Dr.E.Saefullah Wiradipradja.SH,LL.M. Pada bagian akhir makalah tersebut ditegaskan bahwa : Apabila masalah kedaulatan negara di atur dalam UUD Negara, maka pelanggaran terhadap ruang udara tersebut merupakan pelanggaran terhadap UUD yang bagi seluruh rakyat wajib mempertahankannya. Khusus bagi Indonesia mudah-mudahan dalam rangka Perubahan UUD 1945 berikutnya, masalah “ruang udara” ini (khususnya Pasal 33) perlu mendapat perhatian serius, tidak seperti terjadi pada perubuhan-perubahan sebelumnya. (Bandung , Juli 2013)
Dari keseluruhan uraian diatas maka sangat jelas bahwa keperdulian terhadap keudaraan dan atau keruangakasaan dari kita pada umumnya masih sangat kurang. Padahal kemajuan teknologi telah menempatkan wilayah udara sebuah negara menjadi sangat penting dan strategis. Ini merupakan tantangan besar kedepan bagi sebuah bangsa yang ingin tetap berada dalam posisi sederajat dengan bangsa bangsa lain di dunia. Itu pula yang menyebabkan sampai dengan saat ini wilayah udara strategis di kawasan perairan selat Malaka dan kepulauan Riau pengelolaannya masih berada di otoritas penerbangan negara lain. Tidak atau belum terlihat upaya yang serius untuk segera mengambil alih pengelolaan wilayah udara NKRI di kawasan tersebut. Padahal masalah tersebut jelas jelas bertentangan dengan UU mengenai penerbangan no 1 tahun 2009.
Ruang udara dan ruang angkasa atau Dirgantara adalah merupakan masa depan umat manusia. Kemajuan teknologi kedirgantaraan sudah sangat pesat yang ditandai dengan Cyber World dengan ciri penggunaan Artificial Intelligent dan sistem autonomous. Sistem persenjataan udara juga telah memasuki era penggunaan Drone sebagai pengganti pesawat terbang tempur atau Fighter Aircraft. Penggunaan pesawat intai, pesawat tempur udara ke darat dan udara ke udara hanya menunggu waktu yang tidak terlalu lama untuk diganti oleh Drone. Penggunaan drone menjadi sangat efisien disamping tidak akan mengorbankan nyawa manusia dalam pelaksanaan menjalankan misi tempurnya.
Dengan demikian, maka sangat ironi, Indonesia yang sudah Merdeka sejak tahun 1945 hingga tahun 2024 sekarang ini, secara yuridis hanya berdaulat terhadap Tanah dan Air saja.
Jakarta 21 Januari 2024
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia