Dengan berbagai kegiatan saya setelah memasuki masa pensiun, saya berkenalan dengan banyak “journalis”. Pertemanan dengan para penggiat dibidang “pers” ini tentu saja sangat menarik. Demikian pula dengan beberapa kesempatan yang diminta oleh banyak teman-teman media televisi. Ada yang berupa wawancara singkat ditempat tertentu, ada pula yang mengundang ke studio untuk acara “talk show” tertentu.
Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan maaf kepada teman-teman reporter yang terkadang mengundang ke studio, akan tetapi tidak dapat saya penuhi. Masalahnya, sebagian besar undangan-undangan tersebut sangat mendadak dan mepet waktunya. Namun bagi undangan yang diajukan satu atau dua hari sebelumnya , biasanya saya atur untuk bisa dipenuhi. Saya senang saja untuk memenuhi undangan ini,namun sayangnya saya hanya dihubungi pada saat terjadi kecelakaan pesawat terbang saja.
Salah satu yang menarik adalah dua kali kesempatan saya diwawancara oleh seorang “young lady journalist” dari stasiun televisi Al Jazeera. Dia wartawan Al Jazeera yang ditempatkan di Jakarta, menguasai bahasa Inggris, Belanda, Indonesia, Jerman dan Perancis. Kelahiran negeri Belanda, lulusan salah satu perguruan tinggi di Holland dalam majoring “publisistik” dan bekerja untuk Al Jazeera yang bermarkas di Kuala Lumpur.
Melihat antusiasme yang tinggi serta perilakunya yang sangat profesional dan juga “general knowledge” nya yang luas ,saya bertanya kepadanya di sela-sela pelaksanaan wawancara, tentang mengapa dia sebagai seorang wartawan muda, tidak bekerja di Eropa atau Amerika, namun lebih memilih di Indonesia, di Jakarta atau Kuala Lumpur ? Mengapa lebih memilih bertugas di dunia ketiga dibanding dengan bertugas di “well developed” country?
Jawabannya, membuat saya agak terperangah juga. Dia mengatakan, sebagai insan pers maka pasti seseorang yang dinamis tidak akan memilih bekerja di negara barat, karena disana katanya berita-berita yang muncul relatif “datar-datar” saja. Sebagai seorang jurnalis, terlebih bagi mereka yang senang bekerja dilapangan sebagai “reporter” pasti akan lebih bergairah untuk bertugas di dunia ketiga. “Berita”, seperti yang diuraikan oleh Djawoto, wartawan senior kondang, yang sayangnya berhasil dibina “PKI”, dalam bukunya “jurnalistik dalam praktek” di tahun 1950 an, di definisikan sebagai “orang menggigit anjing”. Bila ada anjing menggigit orang maka itu bukan berita. Begitulah mungkin maksud sang “young lady” dari Al Jazeera ini, bahwa di dunia ketiga, lebih banyak dijumpai “orang menggigit anjing” dibanding dengan di Negara maju.
Itu sebabnya pula , kemudian dia lebih memilih Jakarta dan Kuala Lumpur, dibanding dengan Paris atau London. Waktu ditanya lebih jauh lagi mengapa dia memilih Jakarta dibanding dengan Kuala Lumpur, maka jawabannya adalah, sebagai reporter dia lebih memilih Jakarta karena berkiprah di Jakarta, lebih memacu “adrenalin” dibanding dengan berdinas di Kuala Lumpur. Lebih lanjut saya ajukan lagi pertanyaan, mengapa Al Jazeera memilih “home base” nya di Kuala Lumpur dan bukan di Jakarta. Sekali lagi saya terperangah dengan jawabannya, bahwa dari sejak semula Al Jazeera menginginkan berkantor di Jakarta.
Namun setelah memakan waktu hampir lebih dari dua tahun, mereka tidak berhasil memperoleh ijin, dengan frustasi maka mereka “terpaksa” berkantor di Kuala Lumpur. Sayang sekali, pikir saya, dia pun mengatakan hal yang sama, “sayang sekali”. Berurusan dengan aparat birokrasi di Indonesia, seperti yang sering digambarkan sendiri oleh Presiden SBY selalu berhadapan dengan pihak yang orientasinya “kalau memang bisa dipersulit, mengapa dipermudah?”. Kesan saya, pasti Al Jazeera berkesimpulan bahwa dari Jakarta akan lebih banyak mendapatkan “orang menggigit anjing” dari pada di Kuala Lumpur. Lebih jauh lagi, saya pikir, pasti “lumpur” lapindo tentunya jauh lebih menarik dari pada Kuala “lumpur”. Disisi lain, sangat jelas Jakarta lebih merangsang dalam memacu “adrenalin” dibanding dengan Kuala Lumpur.
Namun, diluar dari semua itu so pasti sebagai sesama lumpur, maka “Lumpur” Lapindo jauh lebih mempunyai daya tarik dibanding dengan Kuala “Lumpur” .
Sayangnya, ternyata Lumpur Lapindo tidak cukup menarik bagi para calon presiden 2009.
Auckland 25 Maret 2009, pukul 0806 local time.