Dengan diumumkannya susunan kabinet Indonesia bersatu jilid 2, semalam, maka berakhirlah sudah, spekulasi, analisis, cacian, pujian, harapan dan entah apa namanya yang begitu banyak dalam menyongsong satu kegiatan besar dari pelaksanaan “hak prerogatif” seorang Presiden dalam membentuk dan menyusun para pembantunya yang akan duduk sebagai pejabat yang paling bergengsi di negara ini yaitu “Menteri”.
Demam kabinet di Indonesia, berakhirlah sudah. Walaupun tidak ada atau tidak banyak yang berbeda dari susunan yang telah beredar di media sebelumnya, tetap saja pengumuman kabinet oleh seorang presiden menjadi satu momentum yang sangat ditunggu-tunggu.
Nah, yang sangat menarik adalah, duduknya seorang Marsekal (pangkat tertinggi di jajaran Angkatan Udara), dalam posisi yang sangat penting dan penuh gengsi serta merupakan jajaran nomor satu dalam jajaran hirarkis Kabinet, seperti yang diumumkan semalam. Menjadi lebih menarik lagi adalah, bahwa sang Marsekal itu diangkat oleh seorang presiden yang Jenderal Angkatan Darat. Menarik, karena mungkin hal ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi bila presidennya bukan seorang SBY.
Dalam jajaran Menko dan Departemen, terdapat tiga orang mantan TNI, yaitu Menko Polhukam (Angkatan Udara), Menteri Sekretaris Negara (Angkatan Darat) dan Menteri Perhubungan (Angkatan Laut). Disisi lain terdapat pula seorang Menteri Negara yang AD dan seorang pejabat setingkat Menteri, yaitu Kepala BIN yang berasal dari Polisi.
Sekedar perbandingan saja, dalam susunan kabinet pembangunan III di tahun 1981, Menteri yang berasal dari ABRI adalah sebanyak 44,99%, dan dari prosentasi itu, 95% adalah berasal dari Angkatan Darat.
Sejak bergulirnya reformasi, memang telah banyak sekali perubahan yang telah dicapai. Khusus di dalam jajaran Angkatan Perang dalam hal ini TNI, yaitu pasca bubarnya ABRI berkait dengan keluarnya Polisi, maka dominasi satu angkatan terhadap angkatan lainnya secara bertahap telah berubah menuju suatu perbaikan. Perasaan “diskriminatif” dan unsur keadilan secara pelahan namun pasti telah bergulir.
Sebagai contoh saja, setelah bergulirnya reformasi, barulah muncul untuk pertamakalinya seorang Panglima TNI yang berasal bukan dari Angkatan Darat (Laksamana, TNI AL, Widodo AS), yang sebelumnya dipahami sebagai sesuatu yang mustahil. Walupun setelah itu diganti lagi oleh AD, namun gerbong berikutnya kemudian diisi oleh seorang Perwira Tinggi dari Angkatan Udara (Marsekal Djoko Suyanto).
Dan, kini dalam susunan kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, ditahun 2009, kita semua dapat menyaksikan betapa “keadilan” telah hadir ditengah-tengah kita. Personil Menteri dalam jajaran kabinet, hanya terdapat 5 orang saja yang berasal dari “ABRI” (TNI dan POLRI), yaitu masing-masing, dua orang dari Angkatan Darat, satu Orang dari Angkatan Laut, satu orang dari Angkatan Udara dan seorang lainnya yang berasal dari Kepolisian Negara. Kesemuanya itu ditunjuk oleh seorang Presiden yang berasal dari Angkatan Darat.
Dalam hal ini, almamater AKABRI, Akademi Angkatan Bersenjata lulusan tahun 1970 an telah tampil dijajaran puncak kepemimpinan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tampil dengan ujud yang merefleksikan “officership”, “leadership” dan “esprit de corps” yang merupakan simbol-simbol dari kehormatan dan nilai-nilai universal yang harus dianut oleh para lulusan Akademi Militer dimanapun dimuka bumi ini termasuk Akademi sekelas AKABRI. Tidak itu saja namun juga telah menjunjung tinggi tingkat intelektualitas yang tidak mentolerir sikap-sikap diskriminatif dan haus kekuasaan, serta mengutamakan rasa keadilan dalam mengelola tatanan birokrasi pemerintahan. SBY telah melihat TNI sebagai Angkatan Perang yang tidak lagi sebagai sosok organisasi politik , seperti dimasa lalu yang terkenal dengan “dwi fungsi” nya, pertahanan dan sospol. Era Tentara Politik memang sudah berlalu. Yang seyogyanya harus disusul nanti, dengan dihapuskannya “proses” Fit and Proper Test bagi seorang calon Panglima TNI di Lembaga Politik yaitu “DPR”.
Kita patut bangga dengan keberhasilan lembaga pendidikan militer sekelas Akabri .
Khusus dalam konteks ini, SBY telah berlaku “adil”, namun sudah cukup tepatkah kemudian SBY disebut sebagai sang :”Ratu Adil” ? Karena beliau adalah seorang pria, maka mungkin lebih tepat bila disebut sebagai “Raja Adil” ?…………..
Selamat kepada SBY, dan selamat bekerja kepada Kabinet Indonesia Bersatu, semoga sukses !