Beberapa hari yang lalu saya melihat sekilas acara “Today’s Dialogue” di Metro TV. Nara Sumber yang tampil saat itu adalah Endriartono Soetarto, Komarudin Hidayat, Siswono Yudohusodo dan Marzuki Alie. Saya katakan sekilas , karena saya memang tidak melihat secara utuh dari sejak awal. Beruntung, masih bisa mengikuti pada babak akhir perdebatan yang kelihatan cukup menarik.
Melihat susunan para nara sumber dan juga pernyataan-pernyataannya, dengan mudah dapat tertangkap esensi dari fokus pembicaraan adalah mengenai kondisi negara kita saat ini, berkait dengan ketegasan SBY sebagai seorang Presiden, sebagai seorang pemimpin, sebagai seorang yang sedang memegang kendali jalannya pemerintahan saat ini. SBY sebagai seorang yang sedang memegang “wewenang” penuh dalam menggerakkan bangsa ini, sebagai “the man who should moves the nation“. Dengan topik yang lebih kurang seperti itu, maka sangat logis terlihat kemudian sebuah pertandingan yang kurang berimbang yaitu satu melawan tiga. Marzuki Alie Versus Komarudin Hidayat, Endriartono dan Siswono.
Marzuki Alie jelas sekali posisinya yang berada dipihak SBY dan kelihatan mati-matian mempertahankan bahwa SBY adalah seorang Presiden yang tidak “kurang tegas” dan juga tidak “ragu-ragu”. Sementara itu Siswono sangat terang benderang dan lantang sekali dalam mengutarakan pendapatnya yaitu sangat menyayangkan SBY sebagai seorang Presiden yang mendapatkan dukungan lebih dari 60 % namun tidak atau kurang berani, kurang cepat dalam mengambil keputusan, alias kurang tegas. Endriartono, walau kurang sekeras Siswono namun sangat jelas mengatakan tentang kekecewaannya terhadap kelambanan dan keragu-raguan SBY sebagai seorang Presiden.
Sedangkan Komarudin Hidayat, walau terlihat berusaha “agak” menetralkan perdebatan akan tetapi terlihat condong berpendapat sama dengan Siswono dan Endriartono. Mengikuti dari kira-kira pertengahan sampai akhir perdebatan, kelihatan sekali Marzuki Alie babak belur berupaya menangkis berondongan argumentasi dari ketiga tokoh senior yang memang sangat sarat pengalaman itu. Bak pertandingan tinju, Marzuki Alie dipastikan kalah dalam pengumpulan angka. Namun, ditengah babak belurnya Marzuki Alie menampung serangan yang sudah seperti peluru yang berasal dari senapan mesin, dia ternyata cukup cerdas dalam mengambil sikap disaat-saat terakhir. Self defense mechanism dari seseorang yang tengah dalam kritis memang terkadang tidak terduga.
Demikian pula dengan Marzuki Alie, ditengah frustasi mendapat serangan dari tiga orang pembicara lainnya ia mengakhiri pernyataannya dengan “closing remark” yang dapat menyelamatkan dirinya menjadi “the loser” alias si pecundang ! Dia berkata lebih kurang sebagai berikut : “Maaf ya Pak, tidak bisa sepenuhnya dikatakan seperti itu, karena bapak-bapak kan hanya sebagai “pengamat”, kami ini adalah para “pemain” yang mengerti betul permasalahannya. Seperti juga para pengamat sepak bola yang selalu bisa mengatakan apa saja, tetapi buktinya kan belum tentu bisa bermain sepak bola, dan mungkin kalau disuruh bermain bisa malah menjadi lebih jelek ?” Maka selamatlah Marzuki Alie dari posisi yang babak belur total . Minimal dia sudah sedikit agak berhasil dalam membela Bos nya untuk tidak dikatakan “tidak tegas”. Saya tidak hendak memposisikan untuk menjadi Juri dalam pertandingan ini, saya serahkan saja kepada semua penonton yang mengikuti perdebatan menarik beberapa hari yang lalu itu.
Bagi saya sendiri, yang penting adalah bukan memposisikan siapa pengamat dan siapa pemain, akan tetapi yang sangat penting untuk diamati bersama oleh kita semua adalah situasi dan kondisi saat ini , dimana kepercayaan rakyat banyak terhadap pemerintahan terutama sekali terhadap aparat penegak hukum yang sudah sangat menurun. Pertunjukan atau Opera Sabun yang tengah dipertontonkan di panggung nasional dari dampak kasus-kasus Bank Century, Gayus Tambunan, Bibit Chandra, ditangkapnya 25 orang anggota dan mantan anggota DPR dan banyak lagi, telah memunculkan tanda tanya besar bagi masyarakat luas. Sidang Dengar Pendapat DPR yang disiarkan Televisi dalam ujud debat kusir tiada akhir, benar-benar telah menjadi tontonan yang sangat tidak mendidik !
Belum lagi tentang keberadaan Timnas dengan surat kaleng isu suap skor 3-0 dengan Malaysia, kehadiran Liga Primer yang ditolak dan lain sebagainya. Sementara itu, kemacetan jalan-jalan di Jakarta yang sudah nyaris mirip tempat parkir, kesemrawutan motor-motor yang berseliweran tanpa mengindahkan lagi marka dan rambu lalu lintas, diselingi dengan melintas nya orang-orang tertentu yang tidak jelas, menggunakan kawal motor ngoeng-ngoeng mengusir pengguna jalan lainnya yang tengah berusaha tertib mengantri dengan rasa dongkol ditengah kemacetan.
Layanan publik yang sudah kronis dengan Kereta Api yang sebentar-sebentar keluar Rel atau tabrakan, Kapal laut yang tenggelam menghilangkan banyak nyawa dari pengguna jasa angkutan yang tidak berdosa, serta menjelang dihilangkannya angkutan bus biasa di jalur bus way, benar-benar melengkapi kesemrawutan negara ini menjadi amburadul alias acakadut ! Yang menyedihkan adalah, tidak atau belum ada tanda-tanda atau sinyal yang muncul dari para elit yang memberi harapan kearah perbaikan dari masalah serius yang tengah dihadapi rakyatnya. Kesemua itu dengan sendirinya kemudian memunculkan pertanyaan “Who moves the nation?” Semua seolah berjalan sendiri-sendiri.
Ditengah-tengah situasi yang seperti ini, kemudian muncul keterangan pers resmi tentang akan terus dilanjutkannya proyek triliunan rupiah pembangunan gedung baru DPR, dengan penjelasan bahwa sudah tidak ada lagi anggota/fraksi di DPR yang tidak setuju. Muncul pula penjelasan pejabat berwenang tentang persetujuan kenaikan gaji Presiden dan pejabat negara. Diikuti lagi dengan berita yang muncul tentang kenaikan gaji para anggota DPR dan lain lain dan lain lain. Bila memang pembangunan Gedung baru DPR dan kenaikan gaji tersebut sudah menjadi sesuatu yang sangat genting dan tidak bisa ditunda lagi, mungkin tidaklah perlu diumumkan ke masyarakat luas, ditengah-tengah situasi dan kondisi yang seperti ini.
Sampai disini, saya kemudian teringat cerita dari teman saya tentang ucapan Wen Jiabau pada tahun 2003 saat baru saja diangkat secara resmi menjadi Perdana Menteri RRC waktu ditanya wartawan apa yang akan menjadi program kerjanya kedepan. Dia menjawab dengan lugas bahwa ia tidak akan membuat program, dia hanya akan mengerjakan saja apa-apa yang menjadi permasalahan dan keinginan dari rakyat China ! Satu jawaban yang merefleksikan sikap yang tegas ! 180 derajat berbeda dengan topik bahasan dalam acara today’s dialogue di Metro TV mengenai apakah benar bahwa SBY, Presiden yang kurang tegas?
Jakarta 5 Februari 2011
Chappy Hakim
4 Comments
Karater tdk tegas SBY semakin tersandera dengan hutang budinya pada orang-orang atau pengusaha yg ada dibelakanganya bahwa ia harus membalas budi atau melindungi kepentingan2 orang2 yg telah membantunya.
Sikap dan cara SBY memimpin rasanya tdk akan bnyak berubah sampai akhir kepemimpinannya. Bahkan bisa jadi lebih parah, terutama dalam membuat kebijakan2 negara yg tdk strategis, dalam artian, beberapa kebijakannya tdk memihak rakyat, bangsa dan negara ini melainkan memihak kepentingan asing, pengusaha dan orang orang yg ada dibelakanganya. Lihat aja di era kemarin, jelas beberapa kebijakannya jelas merugikan rakyat, salah satunya yg sangat jelas adalah kebijkaan menandatangai membuat kebijakan sewa murah hutan indonesia 3juta/hektarnya, jelas kebijakan ini agar pengusaha2 dng murah merusak hutan2 indonesia untuk dihisab habis2an isinya, dan terbukti di kalimanntan tanah dan hutannya sudah dikapling2 52 perusahaan.
sayang sekali, saya mengharapkan SBY cepat mati, tapi sayangnya Adji Massaid yg punya integritas yg lebih dulu pergi meninggal.
kalau sudah seperti ini, pilihannya cuma…
1. Menahan derita2 ini sampai 2014.. atau…
2. Kita kudeta SBY, soal siapa nanti yg menggantikannya, itu urusan no.2
Who moves the nation kalau presidennya melempem?
Ya kita-kita ini saja.
Saat SBY hanya melongo seperti kebo, kitalah yang harus sigap bertindak.
Kebetulan saya golput waktu pemilu kemarin, jadi sedikit merasa bahwa tidakan saya ada benarnya juga.
Jepang tidak pernah punya pemerintahan yg kuat semenjak selesainya perang dunia, tapi sebagai bangsa mereka menjadi kekuatan ekonomi terbesar di asia timur (sebelum kini disusul China). Bisakah Indonesia maju tanpa terlalu memikirkan politik?
Sering, kesalahan mendasar terjadi sejak awal. Mengapa jadi Presiden? kalau presiden menjadi tujuan, ya pasti salah. Seharusnya, niat menjadi presiden agar jabatan ini bisa dijadikan alat pengabdian. Sebenarnya yang ada adalah who moves goverment, sebab who moves the nations adalah seluruh rakyat Indonesia. Sehingga who moves, tidak harus presiden. Yang harus tegas bukan harus presiden. Karena tugas filosofis presiden adalah meng-innovasi dan mengkreasi cara memakmurkan rakyat. Tapi kalau innovasi dan kreasi aja tak punya, ya memang payah deh
Mungkin bukan SBY yang kurang tegas. Namun Indonesia saat ini sudah memilih sistem demokrasi terwakilkan dimana sudah merupakan kenyataan (setidaknya untuk saat ini) bahwa Presiden tidak akan mampu berbuat apa-apa tanpa dukungan kuat lembaga legislatif (DPR). Pekerjaan Presiden di sistem demokrasi yang kita anut bukan hanya sebagai “pemerintah” tapi juga sebagai “pembuat konsensus”.
Mungkin kurang tepat jika kita membandingkan dengan China dimana mereka hanya memiliki satu partai (Partai Komunis). Perbandingan dengan India lebih fair menurut saya (dan India tidak kalah acak kadutnya dengan kita). Saya jadi teringat Presiden Soekarno yang dengan frustasi mengeluarkan Dekrit Presiden akibat kacau balaunya sistem demokrasi multi partai ketika itu.
Hal yang bisa dilakukan kedepannya adalah menaikkan parlementary threshold agar makin sedikit jumlah partai sehingga tercipta sistem demokrasi yang lebih efektif dan efisien.