Pagi itu saya bersama dengan Prof. Priyatna, Dudi Sudibyo dan beberapa teman penerbang Garuda, turut menghadiri sidang pengadilan negeri Sleman yang akan menjatuhkan vonis nya terhadap Capt. Marwoto. Kami tiba jauh lebih awal dari jadwal sidang yang renacananya akan dimulai pada pukul 1000 wib. Suasana disekitar gedung pengadilan negeri Sleman, sudah dipenuhi banyak wartawan yang sebagian besar, lebih dari separuhnya adalah wartawan dari media asing. Gedung pengadilan negeri Sleman, kali ini mirip obyek tujuan wisata , karena banyak sekali orang bule disekitarnya.
Tidak itu saja, para orang bule ini, sebagian besar menenteng kamera yang gede seperti lazimnya digunakan oleh para awak televisi. Di arena parkir di depan gedung terlihat pula sebuah “OB-Van” milik Metro TV. Kedatangan saya bertiga segera saja diserbu oleh para wartawan asing tersebut. Beberapa ada yang mengenal saya, antara lain karena membaca beberapa artikel saya yang pernah dimuat di Jakarta Post. Ada dari Reuter, ada pula dari TV Australia dan lain lain. Pertanyaannya tentu saja adalah berkait dengan “diadilinya seorang pilot di pengadilan pidana”, sesuatu yang sangat “aneh” yang terjadi.
Sangat berlainan dengan apa yang saya sering lihat di film-film tentang pengadilan di Amerika, yang tidak terlihat sama sekali tukang potret bisa masuk ruang peradilan, maka diruang pengadilan Sleman ini pengunjungnya adalah sebagian besar tukang potret dan juru kamera Televisi. Kita sering melihat bahwa visualisasi dari suasana ruang sidang, gambar hakim ketua, terdakwa dan pembela selalu hanya dapat dilihat dalam ujud “sketsa” lukisan, sebagai akibat larangan memotret di ruang sidang pengadilan.
Saya pikir, akan sangat mirip dengan apa yang lazimnya terjadi di ruang rapat Presiden, dimana diberikan waktu sejenak untuk para wartawan mengambil gambar, dan kemudian setelah sidang dimulai maka semuanya dipersilahkan untuk keluar. Benar sekali, setelah sidang akan dimulai diumumkan untuk semua tukang potret untuk keluar ruangan, disusul dengan beberapa petugas menggiring kamerawan untuk keluar. Namun hanya terjadi sesaat, setelah itu mereka semua masuk lagi dan tidak ada lagi yang melarangnya. Jadilah ruang sidang itu seperti pasar layaknya. Semua tukang potret dan kamerawan tumplek masuk ruang sidang.
Bagi mereka yang hadir duduk manis ditempat duduk yang disediakan, maka hanya bisa melihat punggung-punggung para tukang potret yang selalu saja berubah posisi dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri, bahkan ada yang memanjat sisi jendela segala. Situasi ini mirip dengan berada dikandang monyet. Tidak ada “respect” sama sekali terhadap jalannya sidang. Begitulah yang terjadi sepanjang pembacaan vonis oleh tim Hakim yang berlangsung lebih dari 3 jam tersebut.
Betapa tidak ada harganya sama sekali , isteri, bapak dan ibu terdakwa yang sebentar-sebentar didatangi tukang potret untuk mengambil gambarnya dari dekat, tanpa meminta ijin bahkan basa basi untuk mengatakan ba atau bu. Mereka diperlakukan sebagai barang mati yang sangat menarik untuk dipotret, sementara mereka dengan penuh keprihatinan senantiasa menyimak pembacaan vonis orang yang disayanginya.
Suasana sidang, jauh sekali dari kehikmatan suatu peradilan yang seharusnya dihormati. Belum lagi ruangan yang cukup besar dengan AC yang hanya satu dan nyaris tidak begitu baik fungsinya, dipenuhi begitu banyak orang, jadilah semua orang yang hadir kepanasan dan mandi keringat, menjadikan ruangan penuh sesak padat dan bau keringat ! Ini benar-benar satu pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Menghadiri sidang diruang pengadilan yang nyaris sulit dibedakan dengan berada dipasar ikan, untuk tidak mengatakannya seperti berada di kandang monyet! Inilah gambaran Pengadilan Negeri kita tercinta!
2 Comments
Setuju sekali Pak Chappy, saya juga heran kok suasana pengadilan kita menjadi seperti syuting film, apa memang tidak ada peraturan yang mengatur ya Pak, apakah tidak bertentangan dengan asas praduga tak bersalah. Setahu saya kalau di negara maju seperti jepang yang boleh diperlihatkan gambarnya hanya para hakin itupun hanya sebentar, setelah itu hanya sketsa jalannya persidangan.
Brian,
Saya yakin sebenarnya peraturannya sama, karena pada waktu sesaat menjelang dimulainya sidang ada beberapa petugas yang menyuruh semua juru potret untuk keluar ruangan, akan tetapi sayang nya setelah mereka semua membandel, antara lain pada masuk lagi, anehnya para petugas itu yang justru meninggalkan ruangan, memang aneh !? Terimakasih komentarnya, salam, CH