Pagi hari yang cerah sekitar pukul 1035 waktu setempat di Kill Devil Hill, North Carolina pada tanggal 17 Desember tahun 1903, Wright Bersaudara berhasil menerbangkan pesawat terbang bermesin pertama di dunia. Walau “hanya” berhasil terbang selama 12 detik dan pada ketinggian 120 kaki, namun itulah tonggak sejarah penerbangan di permukaan bumi ini dimulai. 17 Desember 1903 telah menjadi tanggal bersejarah yang merubah perilaku kehidupan umat manusia dalam hampir setiap aspek kehidupannya. Dokumen (termasuk foto) bernilai sejarah tentang penerbangan pertama ini tersimpan rapih dalam “Wilbur and Orville Wright Papers at the Library of Congress” di Washington DC Amerika Serikat.
Salah satu pesawat terbang populer yang mungkin paling banyak digunakan dalam ajang perang dalam rentang waktu ketika perang dunia ke dua, perang Vietnam dan perang Korea hingga di awal tahun 1980-an adalah pesawat Dakota. Pesawat Dakota bermesin 2 dengan roda ekor (tail wheel) yang digunakan untuk keperluan militer disebut sebagai C-47, sedangkan yang dikembangkan bagi keperluan penerbangan sipil komersial dikenal sebagai DC-3. Pesawat Dakota diterbangkan pertamakalinya adalah tepat 32 tahun setelah Wright Bersaudara sukses menerbangkan pesawatnya, yaitu pada tanggal 17 Desember tahun 1935. Setahun setelah itu pesawat terbang Dakota mengukir sejarah dunia penerbangan global dengan aneka operasi penerbangan sipil dan militer di se-antero jagad. Pesawat terbang buatan pabrik pesawat Douglas Aircraft Company Amerika Serikat ini tercatat dalam beberapa tulisan sebagai pesawat terbang yang masuk dalam list kelompok pesawat terbang yang paling banyak diproduksi dan dipakai paling banyak negara di dunia sepanjang sejarah. Salah satu catatan menyebutkan bahwa Dakota telah diproduksi sebanyak tidak kurang dari 10.600 pesawat.
Kebetulan, walau “katanya” di dunia ini tidak ada yang kebetulan, saya lahir pada tanggal 17 Desember tahun 1947 yang berarti tepat 44 tahun setelah Wright Bersaudara menerbangkan pesawat terbang pertama di North Carolina. Kebetulan lagi pesawat terbang pertama yang pernah saya naiki adalah pesawat terbang Dakota milik Angkatan Udara Republik Indonesia pada tahun 1969. Ketika itu sebagai Taruna Akabri Udara tingkat 2 saya mengikuti latihan “para dasar” terjun payung di Pangkalan Udara Sulaiman, Margahayu Bandung. Lagi-lagi kebetulan pesawat terbang operasional yang pertama kali saya terbangkan setelah selesai “Sekbang”, Sekolah Penerbang Angkatan Udara di tahun 1973 adalah C-47 Dakota di Skadron Udara 2 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta. Saat itu Skadron Udara 2 bernaung dibawah Wing Operasional 001 Kopatdara (Komando Paduan Tempur Angkatan Udara). Selanjutnya saya berhasil mencapai kualifikasi sebagai Captain Pilot C-47 Dakota di tahun 1978 dengan pangkat Kapten, yaitu sebelum pada tahun 1981 memulai karier sebagai Penerbang Hercules.
Nah, intinya adalah bahwa tanggal 17 Desember telah menjadi sebuah tanggal yang penuh makna bagi saya pribadi. Saya merasa tidak cukup apabila pada tanggal 17 Desember itu “hanya” dirayakan sebagai hari lahir saja. Realitanya, sebagai anak dari keluarga yang sederhana, sekedar untuk menghindarkan diri dalam menggunakan istilah “keluarga miskin”, kami memang tidak memiliki kebiasaan atau tradisi “tiup lilin” diatas onggokan Kue Tart Istimewa ,cipika cipiki dalam sebuah pesta yang megah. Walaupun begitu keluarga kami tetap memberikan perhatian yang “khusus” pada ketika ada yang berulang tahun dengan cara yang “apa adanya” saja. Khusus dalam arti hari ulang tahun tidak dibiarkan lewat begitu saja sebagaimana hari-hari biasa berlalu.
Beberapa tahun belakangan ini saya berusaha keras untuk membuat tanggal 17 Desember sebagai tanggal peluncuran buku. Sampai dengan tanggal 17 Desember 2019 saya sudah menerbitkan tidak kurang dari 30 buku. Tidak seluruhnya merupakan buku yang saya tulis sendiri, karena ada yang saya tulis berdua, ada pula yang berisi tulisan saya bersama-sama penulis lainnya. Namun demikian inisiatif dalam menyusun, menulis dan terutama menerbitkan buku-buku tersebut murni dari keinginan saya sendiri. Khusus di tahun 2019 ini , pada tanggal 10 Agustus saya meluncurkan buku berjudul FIR diatas kepulauan Riau di Gramedia Pondok Indah Mall dan pada tanggal 28 Oktober saya meluncurkan buku “Freeport – catatan pribadi Chappy Hakim” di Auditorium Perpustakaan Nasional Jakarta Pusat. Lebih khusus lagi di tanggal 17 Desember 2019, atas inisiatif anak-anak Abdul Hakim saya bersama Budiman Hakim menyusun dan sekaligus menerbitkan serta meluncurkan buku “Abdul Hakim – Wartawan Antara” dalam kenangan anak dan cucu. Sebuah buku yang mencatat sedikit tentang kiprah ayah saya Abdul Hakim dalam perjalanan kariernya sebagai Wartawan Antara dan catatan-catatan penuh kenangan dari anak-anak dan cucunya. Tidak bisa dihindari, karena buku ini memang menuangkan kenangan bersama almarhum Ayah, maka akan terasa nuansa “sentimentil” dalam setiap bab nya.
Menjadi menarik, karena dalam kesempatan pembahasan di acara peluncuran buku tersebut , yang dipandu oleh Tascha Lidmila, justru muncul cerita-cerita baru baik dari para pembahas , Parni Hadi, Bachrul Hakim dan Saudara Akhmad Munir maupun dari para hadirin antara lain Daud Sinyal, Prof Dr Bachtiar Aly dan Hadidjojo Nitimihardjo. Dengan demikian maka timbul gagasan lain untuk lebih menyempurnakan lagi isi buku yaitu dengan mengumpulkan ulang bahan-bahan tambahan dalam buku Abdul Hakim Wartawan Antara.
Demikianlah memang dinamika yang terjadi dalam sebuah proses penulisan sebuah buku. Yang menjadi utama adalah tulis saja dulu, luncurkan dan dipastikan akan banyak masukan yang akan datang dengan serta merta mengikutinya. Masukan-masukan yang terkadang jauh dari ekspektasi namun juga kadang menjadi sebuah surprise yang diluar dugaan yang kesemuanya menjadi sangat berharga dalam proses penyempurnaan tulisan dari sebuah buku. Yang menjadi penting disini adalah sebuah inisiatif untuk mewujudkannya terlebih dahulu buku yang akan ditulis walau dipastikan akan banyak kekurangan disana-sini. Dapat dikatakan bahwa tidak pernah ada buku yang ditulis dan diterbitkan langsung berbentuk dalam format yang memuaskan, pasti akan masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan di dalamnya, sebuah hal yang biasa terjadi. Sayangnya adalah masih belum banyak orang yang ingin dan mau menulis sebuah buku. Banyak tantangan memang, akan tetapi dengan kemauan yang kuat maka pada semua tantangan akan hadir dan terlihat jalan keluar dalam mengatasinya. Itu sebabnya, saya tetap bertekad untuk pada setiap tanggal 17 Desember berusaha keras dapat menggunakannya sebagai momentum yang tepat untuk meluncurkan minimum sebuah buku.
Sebagai catatan saja, bahwa pada tanggal 17 Desember 2019 ini , selain buku Abdul Hakim Wartawan Antara – dalam kenangan anak cucu, saya juga bersama teman-teman di Pusat Studi Air Power Indonesia telah menyelesaikan pula sebuah buku bertajuk “Bunga Rampai Dirgantara Indonesia” yang berisi kumpulan tulisan dari para praktisi dan akademisi bidang Kedirgantaraan dalam kegiatan diskusi bulanan sepanjang tahun 2019. Jadi, sejauh ini dalam beberapa tahun belakangan saya sudah melakukannya, melakukan ritual peluncuran buku di tanggal 17 Desember. Alhamdulilah.
Jakarta 20 Desember 2019
Chappy Hakim