Belum lama ini saya telah menyelesaikan buku tentang Pertahanan Indonesia, Angkatan Perang Negara Kepulauan. Peluncuruan dan bedah buku belum saya lakukan, namun buku itu sendiri sudah didistribusikan ke beberapa toko buku, antara lain toko buku Gramedia Group.
Cukup surprise, saat kemarin membuka detik.com ternyata ada artikel tentang keudaraan, tulisan dari seseorang yang saya tidak mengenalnya, dan juga tidak pernah saya bagikan buku tersebut kepadanya.
Tulisannya cukup menarik, dan memberikan kepada saya beberapa masukan yang positif. Seiring dengan ucapan terimakasih yang ingin saya sampaikan, berikut ini di sajikan ulang tulisannya :
Mengejar PIA dengan Sukhoi
Ardi Winangun – detikNews
Jakarta – Dalam bukunya yang berjudul Pertahanan Indonesia, angkatan perang negara kepulauan, Marsekal TNI (purn) Chappy Hakim menguraikan ada dua perang udara yang bisa dijadikan dan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi sistem pertahanan negara untuk mempertahankan wilayah atau pangkalan udaranya, yaitu Battle of Britain dan Pearl Harbor.
Kedua pelajaran itu adalah, pertama, pentingnya fungsi radar. Dengan radar, Inggris dapat memantau pesawat-pesawat Jerman yang ancang-ancang siap menyerbu. Selain itu, dengan radar, AU Inggris, Royal Force, dapat memantau di mana posisi pesawat AU Jerman. Dengan radar tersebut, Inggris sukses membendung serangan udara besar-besaran Jerman. Kedua, seluruh kekuatan peperangan, harus siap siaga selama 24 jam. Hancurnya pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor terjadi akibat lengahnya sistem pertahanan militer. Amerika Serikat sebenarnya memiliki armada laut dan udara yang cukup banyak, namun lengah dan menganggap sepele ancaman serangan Jepang, akibatnya serangan dadakan itu membuat Amerika Serikat malu. Dari peristiwa itu membuat doktrin bagi sistem pertahanan Blok Barat dan Blok Timur, saat terjadi Perang Dingin, bahwa mereka harus selalu siaga satu atau maintain 24 hours in alert.
Pelajaran tersebut juga menjadi acuan bagi TNI AU, buktinya di masa damai, TNI AU berhasil mencegah dan memaksa beberapa penerbangan ilegal. Ketika Pakistan Internasional Airlines (PIA), jenis Boeing 737 seri 300, melintas wilayah udara Indonesia tanpa izin, dan gerak pesawat terdeteksi oleh radar Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional II di Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, serta merta dua Sukhoi yang ada di Skuadron Udara 5 Lanud Sultan Hasanuddin langsung terbang dan memberikan peringatan pesawat asing itu mendarat darurat. Disebutkan dua pesawat milik TNI AU itu mengejar pesawat dan berhasil memaksa pesawat PIA mendarat di Lanud Hasanuddin.
Langkah yang dilakukan oleh TNIAU dalam menjaga wilayah udara Indonesia itu patut diapresiasi. Di tengah minimnya anggaran TNI, TNI AU masih setia dan siaga mengawal wilayah udara. Penerbangan ilegal lain yang juga pernah digagalkan oleh TNI adalah ketika pesawat jenis BAE 146-200 yang membawa rombongan keluarga Kerajaan Melaka dari Dili menuju Kuala Lumpur, Malaysia, mendarat darurat untuk isi bahan bakar. Menjadi masalah karena pesawat tersebut hanya mengantongi izin melintas bukan izin mendarat. Karena pendaratan ilegal di Bandara Internasional Djuanda Surabaya itu maka TNI sempat menahannya, sama seperti PIA yang ditahan beberapa jam.
Menjadi pertanyaan, jika TNI AU sukses menahan pesawat-pesawat sipil yang terbang atau mendarat secara ilegal di wilayah udara Indonesia, lalu bagaimana ketika yang melakukan itu pesawat tempur, apalagi pesawat tempur itu dari negara yang mempunyai pengalaman perang yang hebat dan handal? Sepertinya kita, pemerintah Indonesia dan TNI tidak bisa berbuat banyak. Perdebatannya bukan pada pelanggaran penerbangan namun pada masalah hukum internasional mengenai alur bebas bagi pelayaran internasional.
Hal itu pernah terjadi ketika 5 pesawat F-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) terbang dan bermanuver di perairan Bawean, Juli 2003. Tindakan yang disebut sebagai provokasi itu sebenarnya terdeteksi oleh radar sipil maupun TNI. Sebagai pengaman wilayah udara Indonesia, maka TNI AU pun mengirim 3 pesawat F-16 untuk memantau pesawat itu. Akibatnya bersiteganglah 3 pesawat F-16 dan F-18 itu. Bahkan dua Air Born dari kapal induk US Navy siap membantu 5 F-18 bila dogfight terjadi.
Karena merasa inferior, kalah jumlah, tidak mempunyai pengalaman dogfight, dan alutsista yang dimiliki Indonesia jauh tertinggal meski saat itu F-16 dilengkapi dengan misil, akhirnya kita tidak bisa berbuat banyak kepada pelanggaran penerbangan itu. Dan TNI AU pun tidak dapat memaksa pesawat-pesawar US Navy itu mendarat.
Dalam bukunya, Chappy Hakim mengupas panjang lebar mengenai pentingnya pertahanan Indonesia yang bertumpu pada matra laut dan udara. Namun karena kebijakan saat Orde Baru yang lebih bertumpu pada darat, serta banyak faktor lainnya maka pertahanan Indonesia jauh dari ideal dan wajar sehingga rentan terhadap penyusupan atau penerbangan ilegal.
Dalam sejarah pertempuran di Indonesia, selama ini mungkin belum menempatkan TNIAU pada posisi yang bagus. Kalau kita lihat AL dan AD sudah memberi catatan-catatan sejarah pertempuran membela NKRI. Dalam Pertempuran Laut Aru, misalnya terlihat betapa gagah beraninya TNIAL dalam bertempur melawan dua kapal destroyer dan pesawat Neptune dan Frely milik Belanda menyerang KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau. Dalam pertempuran itu akhirnya KRI Macan Tutul yang di pimpin Komodor Yos Sudarso tenggelam.
Dalam pertempuran itu, ada beberapa pihak yang menyalahkan AURI (TNI AU) karena tidak terlibat dalam pertempuran. Akibatnya dari peristiwa itu maka membuat KSAU Suryadarma mengundurkan diri. Pertempuran itu sebenarnya momen bagi fighter pilots TNI AU menjadi war pilots. Akibat minimnya pertempuran udara yang diikuti oleh TNI AU, maka di jajaran TNI AU hanya Komodor Udara Ignatius Dewanto yang hanya pernah melakukan dogfight (War Pilots, Dari Perang Dunia I Hingga Perang Teluk, Angkasa Edisi Koleksi). Minimnya pengalaman pertempuran udara yang dimiliki membuat TNI AU tidak memiliki ace, sebutan pilot yang jago tempur, jago udara, jago tembak, dan jago terbang. Justru Vietnam yang memiliki banyak ace, seperti Mai Van Cuong dan Nguyen Van Bay. Selain Amerika Serikat yang memiliki banyak ace, Jerman, Rusia, Inggris, Jepang, dan negara-negara yang memiliki angkatan udara yang tangguh juga banyak memiliki ace.
Bila di masa Orde Lama kekuatan TNI AU bisa dikatakan handal dengan jumlah pesawat mencapai 443 pesawat (pada tahun 1966) maka selepas pasca pemberontakan G 30 S, kekuatan TNI AU semakin melemah, tercatat pada tahun 2010 hanya 256 pesawat yang dimiliki. Kondisi yang demikianlah yang mungkin menyebabkan TNI AU tidak bisa memaksa mendarat penerbangan ilegal pesawat tempur US Navy.
*) Ardi Winangun adalah peminat studi pertahanan, pernah bekerja di Civil-Militery Relations Studies (Vilters). Penulis tinggal di Matraman, Jakarta Timur. Kontak: 08159052503, ardi_winangun@yahoo.com