Dinamika ritual dari pemilihan Presiden berakhir sudah, tepatnya setelah KPU mengumumkan hasil perhitungan suara pada tanggal 20 Maret 2024. Seperti biasa pada setiap penggal akhir pemilu, siapapun yang muncul sebagai pemenangnya pasti akan mengundang protes dari pihak yang kalah. Protes tentang telah terjadinya kecurangan dalam proses pemilihan Presiden adalah hal yang biasa saja. Mungkin yang sedikit membedakannya adalah kadar kecurangan yang terjadi sedikit atau banyak atau TSM (Terstruktur Sistematis dan Masif).
Kecurangan adalah tetap saja kecurangan apakah itu sedikit, banyak atau TSM. Itulah yang terjadi saat ini pasca pengumuman hasil perhitungan suara Pilpres 2024. Menjadi Istimewa untuk tahun 2024 karena kontroversi sudah muncul justru sebelum Pilpres dimulai. Telah terjadi penyalahgunaan wewenang kekuasaan yang merekayasa persyaratan usia bagi Cawapres yang dalam hal ini untuk memfasilitasi anak Presiden Jokowi.
Pemilihan Presiden tahun 2024, bahkan sejak dua dekade belakangan ini memang memunculkan hal baru antara lain membingungkan lawan dan kawan. Sahabat saya orang Jerman, seorang budayawan, menulis artikel menarik tentang hal ini. Dia sangat memahami kebingungan yang terjadi pada teman temannya orang Indonesia. Dia melihat dalam menghadapi Pemilu Presiden sebagai refleksi sistem demokrasi ala barat yang terjadi khususnya pada dua atau tiga periode pemilu presiden di Indonesia. Dia menguraikan banyak hal namun tidak mempermasalahkan apakah demokrasi cocok atau tidak untuk Indonesia. Salah satu catatannya yang menarik adalah, dia sangat memahami tentang kebingungan yang terjadi pada sebagian orang Indonesia dalam menilai pemilu presiden, khususnya tahun 2024 ini.
Sahabat saya itu melihat tentang betapa persaingan yang antara para capres cawapres terjadi begitu tajam dan fanatik. Para pengikut dan atau pendukung masing masing paslon melihatnya laksana pertarungan antara “Malaikat” versus “Setan” yang tentunya tergantung mengikuti opini masing masing pendukung paslon. Pada babak final pasti salah satu saja yang akan keluar menjadi pemenangnya. Disinilah, ketika terjadi paslon pemenang mengajak paslon yang kalah untuk bergabung dalam pemerintahannya terjadi kebingungan yang luar biasa yaitu bagaimana mungkin menerima realita Sang Malaikat bisa dengan enteng bergabung dengan Setan atau sebaliknya.
Ditengah kebingungan itu, sayup sayup ditenggarai bahwa ternyata ditingkat atas telah terjadi permainan “sandiwara” yang sangat canggih dan tentu saja sulit dipahami orang awam. Hal ini terlihat betapa kelompok akar rumput yang mendukung masing masing paslon,terbelah menjadi dua dan saling bermusuhan satu dengan lainnya. Tidak perduli sahabat dekat, bahkan saudara kandung banyak yang terbelah dalam soal dukung mendukung paslonnya masing masing. Sementara sang paslon beserta beberapa para elit pendukungnya dengan enteng saat selesai pemilu presiden langsung saja bergabung bergandengan tangan menjadi satu kubu dan menikmati kekuasaan bersama.
Lebih jauh lagi ada juga beberapa kelompok elit terpelajar tertentu yang tadinya sangat membenci bahkan memusuhi salah satu paslon, belakangan malah berubah tidak hanya berpihak akan tetapi masuk dalam jajaran inti tim sukses paslon yang tadinya dimusuhi. Semua terlihat enteng saja tanpa beban sama sekali. Sudah tidak ada lagi prinsip dan pendirian yang dianut sebagai landasan mental, karakter, etika dan moral kepribadian dalam berperilaku. Tidak ada lagi martabat dan apa lagi harga diri. Kemunafikan dan bahkan pengkhianatan sudah tidak lagi dipandang atau dianut sebagai sesuatu hal yang buruk. Haus kekuasaan dan juga kerakusan materi sudah mengubur hidup hidup prinsip perilaku yang bermartabat dalam menjaga harga diri. Kondisi yang benar benar membingungkan lawan dan kawan, terutama bagi sebagian besar masing masing pendukung paslon di jajaran akar rumput yang sudah terlanjur fanatik hidup mati.
Catatan penting lainnya adalah ketika sejak awal persiapan pilpres telah terjadi manipulasi dalam menyesuaikan peraturan yang berlaku demi memuluskan salah satu paslon yang kebetulan anak sang presiden. Ketika muncul protes, maka sidang Majelis Kehormatan MK menghukum ketua MK yang dianggap bersalah dengan mencopot dari jabatan ketua MK. Aneh bin Ajaib, peraturan hasil dari manipulasi yang terbukti menyalahi regulasi sehingga Ketua MK dihukum ternyata berstatus tetap memiliki kekuatan hukum. Sekali lagi sebuah realita yang sulit dimengerti akal sehat dan logika. Sebuah realita yang sangat tidak mendidik. Sebuah realita yang membingungkan.
Masih ada lagi, ketika keputusan MK yang sarat KKN keluar, maka sebagian besar pendukung Jokowi marah sekaligus terperangah kaget. Mereka tersadar bahwa pimpinan pujaannya yang selama ini terlihat jujur, merakyat, penuh dedikasi, bekerja hanya untuk negeri ternyata diakhir jabatannya melakukan tindakan yang sangat amat tercela. Sulit dipercaya Sang Ratu Adil ternyata bekerja keras hanya untuk anak kesayangannya. Tersadar bahwa selama ini mereka tertipu dengan penampilan setengah dewa dari sosok seorang Jokowi. Tersadar bahwa ternyata benar sekali apa yang dikatakan oleh John Dalberg-Acton bahwa power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely . Kekuasaan ternyata memang memabukkan, membuat orang lupa diri dan penyalah gunaan kekuasaan pun menjadi satu hal yang biasa biasa saja.
Tidak sedikit orang yang kemudian merasa tertipu oleh Jokowi. Akan tetapi ternyata tidak sedikit pula orang yang tetap melihat Jokowi sebagai mahluk setengah dewa. Mereka mengkultuskan Jokowi sedemikian rupa laksana Raja yang maha bijaksana. Semua ulah Jokowi yang jelas jelas melanggar tata kelola pemerintahan dan aturan negara selalu saja diberikan alasan pembenarannya. Masyarakat kita memang kelompok yang mudah sekali diyakinkan untuk mendewakan seseorang yang di pujanya. Sebuah fenomena yang sudah mulai terlihat sejak Presiden RI pertama yang terkenal dengan jargon para pengikut setianya untuk : Pejah Gesang nderek Bung Karno.
Demikian pula misalnya, sebagian masyarakat kita yang dengan mudah di rubah bentuk keyakinannya terhadap masalah masalah fanatisme terutama dalam ber-agama. Ini terlihat antara lain dengan kelompok anak anak muda yang tiba tiba saja menggunakan Hijab yang tertutup rapat laksana kaum hawa yang hidup di Tengah gurun pasir panas serta para pemuda yang beralih penampilan dengan jenggot lebat dan celana cingkrang. Entah apa pemikiran yang muncul dan dapat tiba tiba saja merubah kepribadiannya dengan begitu cepat. Sebuah fenomena yang sangat menarik untuk diteliti.
Disisi lain, kabar mutakhir mulai muncul bahwa beberapa parpol penentang paslon yang menang, segera akan bergabung pada koalisi partai yang menang. Seperti biasa yang menjadi alasan adalah demi persatuan dan kesatuan bangsa yang besar. Lengkaplah sudah drama pilpres 2024 kali ini, mulai dari manipulasi regulasi ditingkat MK sampai dengan kecurangan yang terjadi di lapangan hingga munculnya kelompok mereka yang munafik dan pendukung setia yang membabi buta. Nafsu dan kerakusan membuat semua hal seperti etika, norma kepribadian dan moral menjadi tidak ada maknanya. Maka benar sekali pepatah yang mengatakan bahwa “Some people can betray their friendship just for their own advantage”. (Sebagian orang bisa mengkhianati persahabatan mereka hanya untuk keuntungannya sendiri.)
Dengan itu semua, anak anak generasi muda bangsa kehilangan panutan, kehilangan role model, kehilangan inspirasi dalam membangun prinsip hidup dan cita cita luhur sebagai individu dan bangsa yang bermartabat. Semua yang tersaji adalah para elit yang hanya mempertontonkan perilaku tidak berprinsip. Mempertontonkan perilaku munafik dan tamak, perilaku preman pasar, perilaku yang hanya mengabdi untuk kepentingan diri sendiri. Menjadi sulit sekali untuk menerka apa gerangan yang telah memicu bangsa menjadi seperti ini.
Dengan gejala yang seperti itu, maka kedepan akan mudah ditebak apa yang akan terjadi. Bila tidak ada tindakan korektif yang dilakukan, maka Pemilu dan atau Pilpres akan menjadi sebuah event “biasa”. Event yang akan diorganisir oleh sebuah EO (Event Organizer) dan akan bekerja sesuai pesanan dengan tarif tertentu. Tarif yang “All In” tentu saja, termasuk ongkos merubah peraturan di MK, ongkos untuk para jawara “Quick Count”, ongkos untuk tim sukses, ongkos untuk bansos, ongkos untuk Lembaga Survey dan ongkos untuk Lembaga penyelesaian sengketa pasca Pemilu Pilpres. Semua akan menjadi lebih mudah, semua akan menjadi sangat tergantung dengan jargon terkenal yang berbunyi “Wani Piro”. Kekuasaan dan uang yang akan menjadi faktor penentu. Ideologi, Etika, Norma dan kejujuran serta cita cita luhur sebagai bangsa sementara harus beristirahat sejenak atau mungkin terkubur hidup hidup untuk selamanya. Tidak ada lagi kejujuran dan hati Nurani.
“If a politician and a puppy participate the same election, you can be sure that the puppy will win the election because people will find it much more sincere!”.
(Mehmet Murat ildan)