Tidak banyak yang mengetahui tentang beberapa peristiwa penting dalam memperjuangkan Indonesia untuk dapat menjadi sebuah negara yang merdeka dan mandiri.
Cerita bagaimana para perintis kemerdekaan Republik Indonesia berjuang untuk dapat memperoleh kehormatan sebagai bangsa barangkali termasuk kisah yang tak banyak dituturkan.
Salah satu kisah itu adalah bagaimana para pahlawan dirgantara berjuang mencari dana agar perjuangan kemerdekaan memperoleh dukungan yang penuh dari para anak bangsa yang peduli dengan cita-cita mulia menggapai kemerdekaan.
Beberapa sesaat setelah kemerdekaan, yaitu pada tahun 1949, para Perwira muda Angkatan Udara bergerak untuk mengumpulkan dana bagi perjuangan kemerdekaan dengan menggelar jasa angkutan udara di Burma.
Mereka dengan semangat tinggi mengoperasikan beberapa pesawat Dakota di bawah bendera dan logo “Indonesian Airways”. Satu diantaranya, pesawat Dakota RI-001 adalah sumbangsih rakyat Aceh.
Keberadaan pesawat Dakota yang menggelar operasi angkutan udara sipil di kawasan Burma dapat terselenggara karena hubungan kerjasama yang sangat baik antara pemerintah Burma dan pemerintah Indonesia.
Tentu saja pengoperasian Indonesian Airways di Burma tersebut tidaklah semata sebagai kegiatan bisnis murni, karena pada kenyataanya juga kerap digunakan untuk membantu kepentingan perjuangan pemerintah Burma.
Yang kemudian menjadi menarik adalah pada saat Indonesian Airways akan menyelesaikan pengoperasian angkutan udara di Burma ditahun 1950-an, muncul tagihan pajak dari pemerintah Burma, yang harus dibayar oleh Indonesian Airways cq pemerintah Indonesia sebagai pemilik maskapai penerbangan tersebut.
Tentu saja peristiwa itu menjadi kejutan bagi pihak Indonesia yang tidak menduga bahwa kegiatan yang penuh dengan “spirit” kerjasama itu tidak terlepas dari perhitungan “pajak” yang harus dibayar.
Untunglah semangat kerjasama memperjuangkan kemerdekaan antara pemerintah Burma dan Indonesia telah membuka jalan tersendiri dalam keluar dari problematik yang unik ini.
Mutual understanding dan mutual trust berperan sangat besar ketika Indonesia harus menyelesaikan permasalahan yang sangat sensitif itu.
Dapat dibayangkan bahwa pemerintah Indonesia belum memiliki cukup dana untuk dapat membayar tagihan pajak yang sudah terlanjur menumpuk.
Pada sisi lain, sejak awal pengoperasian Indonesian Airways yang memperoleh ijin dengan mudah dari pemerintah Burma untuk beroperasi di sana, telah terlanjur dipersepsikan sebagai bagian dari persahabatan erat yang pastinya tidak akan berhubungan dengan “fee” apalagi kewajiban membayar “pajak”.
Lalu bagaimana menyelesaikan masalah itu tanpa menimbulkan friksi dan ketersinggungan bagi kedua belah pihak?
Agar tetap bisa memenuhi tuntutan pajak pemerintah Burma sekaligus tidak membebani keuangan Negara RI, KSAU menawarkan untuk menghibahkan sebuah pesawat Dakota RI-007 beserta persiapan suku cadangnya kepada Angkatan Udara Burma.
Berkat hubungan baik antara KSAU S.Suryadarma dengan Jenderal Ne Win, pimpinan pemerintah Burma kala itu, tawaran tersebut diterima.
Dengan langkah “Air Diplomacy” model inilah persoalan yang cukup pelik itu dapat diselesaikan dengan “cantik”. Penyelesaian yang tidak menimbulkan kekecewaan bagi pemerintah Burma atas tuntutan pajaknya yang sekaligus tidak pula membebani “kas Negara” RI dalam keharusan membayar kewajiban pajak bagi pemerintah Burma.
Dalam perjalanan proses ini, ada dua surat yang merupakan kunci penyelesaian persoalan tersebut. Pertama adalah surat dari Sekjen Kementrian Pertahanan RI yang dialamatkan kepada Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri RI, dan surat KSAU kepada Jenderal Ne Win.
Di bawah ini adalah kutipan sebagian dari surat Sekjen Kementrian Pertahanan RI , Dr. Ali Budiardjo tersebut:
PERIHAL : Penjerahan kapal terbang Indonesian Airways kepada Pemerintah Birma
Kepada : 1. J.M. Perdana Menteri
2. J.M. Menteri Luar Negeri
Sekarang KSAU menerima surat dari Act. General Manager Indonesian Airways tersebut, ttg. 12 Agustus j.b.l., memberitahukan, bahwa Pemerintah Birma berniat menuntut dari Indonesian Airways padjak antara Ra.235.000 dan Ra.477.500.
Hal ini sebetulnja tidak diduga karena selama ini disangka, bahwa Indonesian Airways dipandang oleh Pemerintah Birma sebagai alat perdjuangan jang disokong sepenuhnja oleh Pemerintah Birma. Lain daripada itu Indonesian Airways djuga sangat berguna untuk Pemerintah Birma dalam mengatasi kesulitannja sendiri.
Supaja kita tidak perlu mengeluarkan uang itu dan pula untuk mengeratkan hubungan baik dengan Pemerintah Birma, maka KSAU berhubungan formil dengan Bo Newin dengan menawarkan kapal terbang R.I. jang masih ada di Birma, ja’ni R.I.007, dengan bagian2nja (asseta) kepada Pemerintah Birma, dengan maksud supaja harga dari kapal terbang diperhitungkan dengan padjak.
Harga tersebut direntjanakan kira-kira Ra.190.000, djadi memang seimbang dengan padjak jang mestinja dibajar.
Dalam surat kepada Komodor Suriadarma, Bo Newin menghargai baik geste ini.
KSAU sekarang berniat bertolak ke Birma untuk setjara formil menjelesaikan soal ini dan djuga sebagai ”return visit” kepada Bo Newin, jang kira-kira satu bulan j.l. datang kemari.
Kami dapat menjetudjui usul dari Komodor Suriadarma; tindakan ini hendaknja dilihat dalam hubungan memperkuat perhubungan kita dengan negara tetangga dan terutama dengan India dan Birma.
Berikut ini adalah sebagian lagi dari kutipan surat KSAU S.Suryadarma kepada Jenderal Ne Win :
FROM : S. Suryadarma, Air Commodore, AURI H.Q. Djakarta Indonesia
TO : H.E. Bo Ne Win, Supreme Commander of the Burmese Armed Forces, Army H.Q., Rangoon, Burma
SUBJECT : Indonesian Airways
DATE : 1 September 1950
Dear General,
I would like to bring forward to your notice our plan concerning the fate of the Indonesian Airways in Rangoon.
The Indonesian Airways began to operate in your country in early 1949 by force of circumstances, known to you, and by the kind permission of your Government. Since then we have been flying our planes for patriotic purposes and thus not for commercial ones.
According to my instruction in the month of August this year, the Indonesian Airways will be withdrawn from Burma and being always our plan from the very beginning, we would like, as a token of goodwill and gratitude from your country’s fine hospitality and magnificent support to our country during those dark days of the struggle against agression, to offer the RI-007 and all other available spares and materials to the Air Transport Command of your Air Force. As to the RI-001, we are going to keep it, since it was presented to us by our people.
Dari kedua kutipan surat tersebut, terlihat sekali bagaimana koordinasi antar instansi pemerintah dalam upaya menyelesaikan masalah yang cukup pelik dimasa awal kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara yang sangat baik.
Sebuah episode yang belum banyak diketahui oleh kita semua, para penerus perjuangan bangsa Indonesia.
Belajar dari sejarah adalah merupakan bagian penting dari upaya menjaga kelangsungan hidup bangsa. Eric Arthur Blair, wartawan dan pengarang berkebangsaan Inggris yang lebih dikenal dengan nama George Orwell, mengatakan bahwa “The most effective way to destroy people is to deny and obliterate their own understanding of their history.”
Jakarta 11 Nopember 2016
Editor : Wisnubrata
2 Comments
Pak Chappy,
Ada rasa yg kuat dr kami untuk menunggu tulisan anda ttg pengalaman anda saat menjabat direktur PT. Freeport. Bawalah kami menyelami peristiwa itu melalui kata2 anda pak, terlebih jika terdapat soal kemanusiaan yg perlu diungkapkan.
Semoga sehat selalu pak!
Terimakasih, saya memang sedang menyusun tulisan tentang Freeport, mudah2an tahun ini bisa selasai.