Di tengah dinamika global yang semakin cepat berubah, regionalisme kembali menemukan relevansinya. Konsep ini—yang berakar pada gagasan bahwa negara-negara yang berbagi kedekatan geografis dan ketergantungan timbal-balik dapat bekerja sama lebih efektif—menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga stabilitas ekonomi, keamanan, dan identitas kawasan. Seiring globalisasi terus meluas, regionalisme, alih-alih memudar, justru bertransformasi menjadi mekanisme pertahanan kolektif terhadap ketidakpastian global.
Sejarah menunjukkan bahwa regionalisme berkembang dari kebutuhan mendasar yaitu mengelola ancaman bersama dan mengoptimalkan peluang kolektif. Sejak Perang Dunia II, kita melihat lahirnya berbagai organisasi kawasan: NATO untuk menghadapi ekspansi Uni Soviet, ASEAN sebagai respons terhadap instabilitas Asia Tenggara, hingga Uni Eropa yang lahir dari semangat rekonsiliasi dan integrasi ekonomi di benua biru. Dalam semua kasus itu, regionalisme muncul bukan sekadar sebagai alat diplomatik, melainkan sebagai sarana membangun masa depan bersama yang lebih aman dan makmur.
Ada dua faktor besar yang mendorong lahirnya regionalisme: politik dan ekonomi. Dari sisi politik, dinamika kekuasaan dan ancaman internal-eksternal memainkan peran sentral. Negara-negara seperti Indonesia di ASEAN atau Mesir dalam Liga Arab menunjukkan bagaimana kepemimpinan regional dapat membentuk ekosistem politik yang lebih stabil. Ideologi pun turut berperan: NATO dan Uni Eropa berakar pada nilai liberal-demokrasi, sedangkan Liga Arab dibentuk atas semangat anti-kolonialisme.
Sementara itu, dari sisi ekonomi, meningkatnya interdependensi melalui perdagangan dan investasi menciptakan kebutuhan untuk membangun pasar bersama dan harmonisasi kebijakan. Globalisasi mempercepat proses ini. Justru ketika arus barang, jasa, dan modal semakin mengglobal, banyak negara merasa perlu memperkuat ikatan regional untuk melindungi diri dari guncangan eksternal dan mengoptimalkan sinergi ekonomi.
Regionalisme mengalami dua gelombang besar. Gelombang pertama, dari 1940-an hingga 1970-an, bertepatan dengan Perang Dingin dan lebih berpusat di Eropa. Gelombang kedua, yang dimulai akhir 1980-an, dipicu oleh perubahan besar pasca-Perang Dingin: berakhirnya bipolaritas dunia, percepatan globalisasi ekonomi, serta ketidakpastian dalam forum global seperti WTO.
Namun regionalisme bukanlah proyek tanpa tantangan. Kerap kali, regionalisme terbentur pada perbedaan kepentingan domestik, ketimpangan ekonomi antar anggota, hingga tarik-menarik kekuatan besar di luar kawasan. Contohnya dinamika ASEAN yang harus terus bermanuver di tengah rivalitas AS–Tiongkok, atau ketegangan di dalam Uni Eropa pasca-Brexit.
Di tengah tantangan itu, salah satu kunci sukses regionalisme terletak pada persepsi kolektif—bahwa negara-negara anggota merasa bagian dari sebuah komunitas dengan nasib yang saling terkait. Perasaan memiliki “identitas regional” ini memperkuat ketahanan organisasi kawasan terhadap tekanan internal maupun eksternal.
Hari ini, kita melihat bahwa regionalisme terus berevolusi. Di Asia, ASEAN mencoba mengembangkan peranannya tidak hanya sebagai forum diplomatik, tetapi juga sebagai kekuatan penggerak kerja sama ekonomi dan keamanan. Di Afrika, transformasi dari Organisasi Persatuan Afrika menjadi Uni Afrika menunjukkan ambisi baru dalam mengelola tantangan benua tersebut secara kolektif. Di Amerika, dinamika NAFTA yang berevolusi menjadi USMCA (United States–Mexico–Canada Agreement) memperlihatkan bagaimana kerja sama kawasan tetap relevan bahkan dalam iklim nasionalisme ekonomi.
Bagaimana dengan masa depan regionalisme?
Pertama, regionalisme akan semakin dituntut untuk bersifat fleksibel. Tantangan dunia yang makin kompleks—seperti perubahan iklim, pandemik, dan revolusi teknologi—memerlukan model kerja sama yang adaptif dan responsif, bukan sekadar mekanisme birokratik yang kaku.
Kedua, inklusivitas menjadi penting. Regionalisme yang hanya menguntungkan segelintir negara akan rapuh. Untuk itu, diperlukan mekanisme kompensasi bagi negara-negara yang lebih lemah agar integrasi ekonomi tidak menciptakan ketimpangan baru yang justru merusak solidaritas regional.
Ketiga, kemandirian kawasan menjadi agenda utama. Dalam dunia yang makin multipolar, ketergantungan buta pada kekuatan eksternal menjadi sumber kerentanan. Regionalisme harus memperkuat kapasitas kolektif kawasan, baik dalam bidang keamanan, ekonomi, hingga teknologi.
Indonesia, sebagai negara besar di Asia Tenggara, memiliki peran strategis untuk mendorong arah regionalisme yang inklusif, adaptif, dan berorientasi masa depan. Melalui ASEAN, Indonesia dapat menjadi katalisator bagi penguatan solidaritas kawasan, memajukan agenda kesejahteraan kolektif, dan menjaga netralitas strategis di tengah rivalitas kekuatan besar.
Pada akhirnya, regionalisme bukan sekadar proyek elite atau jargon diplomasi. Ia adalah kebutuhan strategis untuk mengelola dunia yang penuh ketidakpastian. Dalam dunia yang terus berubah, kekuatan sebuah kawasan tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonominya, tetapi dari kemampuannya membangun solidaritas dan respons kolektif terhadap tantangan zaman.
Sebagaimana kata bijak lama: “Jika ingin berjalan cepat, berjalanlah sendiri. Tapi jika ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama.” Regionalisme adalah upaya untuk berjalan jauh—bersama.
Jakarta 26 April 2025
Chappy Hakim = Pusat Studi Air Power Indonesia