Menurut Professor Priyatna Abdurrasjid, seorang guru besar ahli hukum udara dan hukum ruang angkasa, bila kita membicarakan tentang penerbangan, maka tidak bisa terlepas dari masalah masalah yang antar bangsa sifatnya. Demikian pula bila kita hendak membahas masalah FIR atau Flight Information Region,khususnya FIR Singapura. Berbicara tentang apa itu FIR Singapura dan FIR Jakarta, sebenarnya sama saja dengan Bakmi Singapura dan Bakmi Jakarta dalam arti “hanya” sebuah nama atau merek dagang. Pertanyaannya lalu mengapa FIR Singapura dan FIR Jakarta bisa menarik begitu banyak perhatian. FIR atau Flight Information Region adalah sebuah terminologi yang digunakan dalam ranah disiplin aturan dan prosedur sistem Pengaturan Lalu Lintas Udara. Sebuah pengertian sangat teknis di dalam dunia penerbangan yang tidak mudah dipahami oleh orang awam. Itu sebabnya kasus FIR Singapura yang merupakan warisan penjajah kolonial dalam hal ini antara otoritas penerbangan kolonial Inggris di Singapura dengan otoritas penerbangan kolonial Hindia Belanda di Batavia pada awalnya tidak banyak diketahui orang. Perjanjian antara kedua otoritas penerbangan pemerintah kolonial itu sudah berlangsung sejak tahun 1946 dengan minute of meeting tertulis yang tertera pada tahun 1948.
Melihat secara sederhana persoalannya adalah bahwa ada ruang udara kedaulatan Hindia Belanda yang pengelolaannya diberikan kepada otoritas penerbangan kolonial Inggris di Singapura. Dalam perkembangannya kemudian persoalan itu menjadi warisan sampai sekarang ini. Ada ruang udara diatas teritori NKRI yang pengelolaannya berada ditangan otoritas penerbangan Singapura. Ini adalah akar permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia mengenai FIR Singapura sebagai warisan penjajah. Sampai dengan tahun 2000 an tidak banyak yang tahu persoalan serius ini. Walaupun ada sedikit perubahan dalam rentang waktu itu dari isi perjanjian antara lain di tahun 1990-an tetapi pada prinsipnya tidak ada perubahan mendasar yang terjadi. Tetap saja ada wilayah udara diatas teritori NKRI yang wewenang pengelolaannya berada dibawah kendali pemerintah Singapura. Indonesia belum berdaulat atau merdeka sepenuhnya diwilayah teritori NKRI. Kecuali orang yang beraktifitas dalam dunia penerbangan nasional, boleh dikata tidak ada orang yang tahu mengenai persoalan yang menyangkut martabat bangsa ini. Para Pilot dan para Air Traffic Controller (para pengatur lalu lintas udara) Indonesia yang berdinas bertahun tahun sampai dengan sekarang, bisa berbicara banyak tentang “kerugian” yang diderita pihak Indonesia mengenai hal ini. Persoalan “kerugian” ini semakin hari semakin hangat dibicarakan namun terbatas hanya dikalangan komunitas penerbangan nasional saja.
Mulai tahun 2007 permasalahan ini semakin mengemuka yang pada akhirnya turut melibatkan para pakar hukum udara dan pakar hubungan internasional ditanah air. Maka pada akhirnya dibawah kepemimpinan Menhub RI Jusman Sjafei Djamal, sebuah kelompok kerja komunitas penerbangan yang dimotori para prakstisi dan para pakar hukum udara membahas tuntas masalah “kerugian” ini. Membahas aneka “kerugian” yang diderita Indonesia sebagai akibat dari ruang udara NKRI yang didelegasikan kepada negara lain. Hasil dari kelompok kerja yang terdiri dari mereka yang penuh pengabdian dan jiwa patriot ini berhasil mencantumkan satu ayat penting dalam pasal 458 Undang Undang nomor 1 tentang penerbangan tahun2009. Pasal itu berbunyi bahwa semua wilayah udara NKRI yang didelegasikan kepada negara lain, harus sudah diakhiri pada 15 tahun setelah UU ini diundangkan. Sebuah jangka waktu yang sangat bijak dipertimbangkan ketika itu, walau banyak pihak yang mengatakan 15 tahun itu terlalu lama. Terlalu lama untuk terus menderita “kerugian”. Artinya adalah baru pada tahun 2024 sudah tidak boleh lagi ada ruang udara NKRI yang didelegasikan kepada negara lain. Sudah tidak boleh lagi ada “kerugian” yang mengganggu martabat diderita bangsa Indonesia. Pada titik inilah muncul pergunjingan ramai mengenai FIR Singapura dan FIR Jakarta, karena ada pihak yang terganggu kepentingannya.
Pokok persoalannya adalah dalam pengumuman tentang FIR Singapura dan FIR Jakarta baru baru ini, landasannya mengacu kepada perjanjian Indonesia Singapura tahun 2022 yang lalu. Dalam perjanjian itu tercantum ada wilayah udara teritori NKRI yang didelegasikan kembali kepada Singapura mulai dari zero level sampai dengan 37.000 feet untuk selama 25 tahun kedepan dan akan diperpanjang. Ini adalah biang kerok dari penyebab kegaduhan yang muncul soal FIR Singapura dan FIR Jakarta. Sebuah tindakan yang bertentangan dengan UU nomor 1 tahun 2009, tanpa penjelasan mengapa harus didelegasikan dan mengapa pula harus selama 25 tahun dan akan diperpanjang. Mengapa harus ada perjanjian yang melabrak Undang Undang Negara sendiri. Inilah pula yang memunculkan di permukaan bahwa terlihat ada “friksi” kepentingan nasional antara national interest Indonesia versus Singapura yang sedang berusaha disembunyikan bersamasama. Ada kepentingan dibalik kepentingan dari mereka yang berkepentingan.
Hukum udara Internasional akan selalu mengacu kepada Konvensi Chicago 1944 yang menyebutkan bahwa kedaulatan negara di udara adalah komplit dan eksklusif. Indonesia dan Singapura sama sama berhak untuk berdaulat di wilayah teritori masing masing. Persoalan FIR yang sangat teknis penerbangan, serahkan saja kepada kedua pihak yang berkompeten dibidangnya. Aturan dan regulasi serta prosedur teknis mengenai Air Traffic Control sudah sangat rinci dan rigid tercantum dalam regulasi internasional dibawah koordinasi International Civil Aviation Organization. Pengaturan yang sudah dibuat tanpa dapat atau harus terganggu oleh urusan teritori dan atau kedaulatan sebuah negara dimanapun. Dengan demikian maka soal FIR Singapura dan FIR Jakarta tidak akan muncul permasalahan apapun.
Persoalan teknis penerbangan bila didekati dari perspektif politik yang sarat kepentingan dipastikan akan menjadi ribet. Itu sebab maka FIR Singapura dan FIR Jakarta harus disandingkan dengan dua perjanjian lainnya yaitu tentang ekstradisi dan training area, baru dapat disepakati. Ini adalah refleksi dari adagium jenaka yang mengatakan, kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah. Persoalan teknis penerbangan yang diseret seret ke ranah politik. Persoalan teknis penerbangan yang diselesaikan oleh para politisi. Seperti diketahui para politisi cenderung akan selalu memecahkan sebuah masalah sederhana menjadi masalah yang rumit. Dunia penerbangan adalah dunia yang melekat dengan kemajuan pesat dari teknologi. Dunia teknologi adalah dunia yang sangat simple, teratur dan tertata baik, namun menuntut kompetensi dan keahlian khusus yang sangat terlatih bagi sdm yang menanganinya. FIR Singapura dan FIR Jakarta adalah hal yang sarat dengan masalah teknis penerbangan, biarkan mereka yang berkompeten yang menanganinya.
Seyogyanya masalah teknis diselesaikan secara teknis dan tidak diseret ke kancah politik. Teknis penerbangan akan menjadi rumit bila terlalu banyak kepentingan politk yang mewarnainya. Masalah Keamanan Nasional, National Interest, harus menjadi prioritas
Jakarta 25 April 2024
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia