Amburadulnya International Airport kita, kayaknya sudah menjadi cerita yang tiada akhir. Mulai dengan trasnportasi menuju Airport yang hanya dapat menggunakan kendaraan mobil, karena tidak tersedia jalur kereta api sampai dengan berserakannya bangkai pesawat terbang di pelataran parkir. Pemandangan di terminal domestik agak sulit dibedakan dengan stasiun kereta api, malah ada yang mengatakannya sudah menjadi pusat perbelanjaan.
Belum lagi sulitnya untuk pindah terminal, selain tidak ada petunjuk yang jelas, juga sulit sekali memperoleh kendaraan dari satu terminal ke terminal lainnya. Begitu turun dan keluar airport, kita harus siap berhadapan dengan begitu banyak calo taksi yang sangat membuat tidak nyaman.
Itupun, ditengah-tengah krisis ekonomi, dimana kebanyakan pihak menurunkan harga, justru airport tax dinaikkan tarifnya. Masih banyak lagi yang merupakan keluh kesah orang terutama penumpang pengguna jasa angkutan udara. Belum bicara soal security yang sampai saat ini pun, pihak Singapura masih belum percaya dengan sistem keamanan di Cengkareng. Mereka masih melaksanakan “random” security check bagi penumpang yang berasal dari Jakarta.
Sebenarnya, yang harus dipahami oleh para pengelola bandara, International Airport Cengkareng adalah merupakan pintu gerbangnya Republik Indonesia, jadi seharusnya fokus kepada pencitraan negara ini dengan berbagai fasilitas dan tampilannya. Sampai saat ini, konsentrasi lebih hanya ditujukan untuk “cari uang” saja. Manajemen “kejar setoran”. Kejengkelan banyak orang tentang airport ini sudah banyak di lampiaskan melalui banyak sarana, antara lain surat pembaca dan lain-lain. Saya yakin itu semua didasari oleh niat yang baik untuk memberi masukan, jangan kemudian dengan mudah menuduh bahwa mereka itu senangnya menjelek-jelekan negeri nya sendiri.
Salah satu tulilsan yang juga menyoroti hal ini dan juga mengutarakan rasa jengkelnya saya dapatkan di detikNews yang saya pikir patut kita ketahui bersama. Berikut ini tuklisannya :
Selamat Datang di Negeri Johnnie Walker
Eddi Santosa – detikNews
Den Haag-Jakarta – Bandara adalah salah satu penentu impresi terhadap sebuah negara. Di Stockholm kita disambut dengan Welcome to my hometown, Borg, Björn – Tennis Legend.
Di Soekarno Hatta malah Johnnie Walker.
Pesan-pesan dari Johnnie Walker begitu dominan di koridor Terminal 2 kedatangan dari luar negeri, menjelang check point imigrasi, Bandara Internasional Soekarno – Hatta.
Seperti diketahui, Johnnie Walker adalah bukan salah satu bapak pendiri bangsa atau putera bangsa Indonesia yang telah banyak berjasa, melainkan merk whisky. Membaca pesan dari Oom Johnnie kesan dan interpretasi bisa sangat beragam. Entah apa yang menjadi pertimbangan manajemen Angkasa Pura.
Bandingkan misalnya dengan Bandara Arlanda, Stockholm. Begitu kita keluar dari perut pesawat dan masuk bandara, sambutan khas Swedia begitu menyedot perhatian, “Welcome to My Hometown, HM Carl XVI Gustaf – the King”, “Welcome to My Hometown, Borg, Björn – Tennis Legend”. Totalnya ada 100 personaliti kebanggaan Swedia, dari ABBA hingga sang Raja, menyambut kedatangan.
Bandara-bandara internasional lain juga menonjolkan pesan-pesan khas negeri setempat, sehingga pelancong langsung merasakan sambutan sangat membekas dan berkesan. Iklan beverages, apalagi beralkohol, hanya berada di lokasi outlet bersangkutan. Tidak berada di ‘ruang publik’, yang bisa dibaca mewakili visi dan kebijakan manajemen.
Di koridor publik Bandara Schiphol Amsterdam tak lepas dari tulip, klompen (sepatu kayu), dan keju, sebagaimana Bandara Charles de Gaulle Paris tak lepas dari landmark Eiffel dan identitas kebanggaan nasional Prancis lainnya.
Mengapa Bandara Soekarno Hatta justru didominasi pesan dari Johnnie Walker? Mana itu foto gagah Soekarno dan si bijak Hatta? Mana itu Rendra atau mungkin Rhoma Irama, hingga penari Bali Ni Pollok yang amat populer di kalangan pelancong Belanda dan Belgia?
Banyak sekali putera-puteri berprestasi bangsa, dari Aceh sampai Papua, dari bidang politik hingga musik, dari teknologi sampai seni, atau dari budaya hingga olahraga, yang bisa memberi kesan mendalam sekaligus mempromosikan dan menguatkan citra Indonesia. Nama-nama Ki Mantep Soedarsono dan Rudy Hartono, misalnya, cukup berbobot menjadi poster penyambut kedatangan penumpang.
Kedatangan saya cuma dua hari berselang dari Hari Kartini, namun tak satupun potret tokoh emansipasi wanita Indonesia yang dibangga-banggakan itu terpajang di Bandara Soekarno Hatta. Padahal jika itu dilakukan, dilengkapi pesan-pesannya yang legendaris, tentu akan meninggalkan kesan positif terhadap Indonesia bagi para pelancong asing.
Di Bandara Changi Singapura justru pada saat bersamaan mereka sedang gencar memajang poster-poster besar tentang Budaya Peranakan, salah satu akar budaya mereka. Negeri pulau itu hipermoderen, namun akar tradisional mereka tetap dibanggakan.
Bagi orang asing, keunikan lokal atau pernik-pernik khas setempat itu jauh lebih memikat daripada merk air api yang sudah menjadi teman biasa di negeri asal mereka.
Orang ribut bahwa Candi Borobudur tak lagi masuk 7 keajaiban dunia. Tetapi bahwa Borobudur kalah dari Johnnie Walker di serambi rumah sendiri semua diam saja. (es/es)
Kayaknya sih orang-orang sedang sibuk dengan kegiatan Pilpres, jadi tidak sadar bahwa kita sebentar lagi mungkin akan menerima International Award dari pabrik Whisky terkenal buatan Scotland yang dipromosikan oleh Bandara Internasional Soekarno Hatta.
2 Comments
Itu mungkin karena harga JW lebih mahal (tapi tetep laku aja) di Indonesia dibanding negara lain pak CH..hehehe…
salam..
Arif,
Mungkin juga ya , he he he he Terimakasih komentarnya, salam, CH