Kasus dugaan mabuk pilot Citilink Indonesia saat bertugas, cukup menghebohkan. Dua pimpinan maskapai low cost carrier (LCC) anak perusahaan Garuda Indonesia tersebut, yaitu masing-masing Direktur Utama Albert Burhan dan Direktur Operasional Hadinoto Soedigno, mengundurkan diri.
Apa sebenarnya yang terjadi, masih belum jelas dapat terungkap, namun berita tentang pilot mabuk dan video Pilot yang “fly” saat melewati gerbang “security check” sudah beredar luas.
Dunia penerbangan Indonesia, sebenarnya tengah berkembang dengan baik seiring dengan keberhasilan Republik Indonesia masuk kembali kedalam kelompok Negara-negara kategori 1 penilaian FAA (Federal Aviation Administration) yang bermakna bahwa otoritas penerbangan nasional diakui telah mampu “comply” (memenuhi peryaratan) dengan International Civil Aviation Safety Regulation (CASR) seperti yang ditentukan dalam oleh ICAO (International Civil Aviation Organization).
Meskipun demikian, berita besar di penghujung tahun 2016 mengenai pilot mabuk serta-merta memunculkan pertanyaan besar di kalangan dunia internasional tentang apa benar Indonesia telah berhasil “comply” dengan International CASR dan layak menyandang sebagai Negara yang masuk kategori 1 penilaian FAA?
Kabar pilot mabuk sangat mencoreng kewibawaan dari dunia penerbangan sipil di Indonesia. Salah satu temuan ICAO saat Indonesia terjerumus ke dalam kategori 2 tahun 2007 yang lalu adalah mengenai rendahnya kualitas dan juga kuantitas tenaga inspektor penerbangan di Indonesia.
Tidak hanya itu, akan tetapi konon ICAO juga memberi catatan tentang rendahnya sistem remunerasi bagi tenaga inspektor bidang penerbangan yang dimiliki otoritas penerbangan sipil di Indonesia.
Logika dari telah berhasilnya Indonesia masuk ke kategori 1 adalah bahwa masalah inspektor penerbangan sudah tidak menjadi masalah lagi. Artinya mekanisme pengawasan dalam penyelenggaraan operasi penerbangan sipil komersial sudah kembali normal, kembali kepada norma standar (internasional) sesuai ketentuan dan atau aturan yang berlaku.
Dalam konteks inilah, mencuatnya berita tentang pilot mabuk, akan otomatis, dan sangat logis dapat memunculkan keraguan tentang sejauh mana Indonesia memang sudah berhasil mengatasi soal kekurangan Inspektor penerbangannya selama ini.
Peraturan, regulasi, ketentuan dan prosedur pelaksanaan operasi penerbangan yang berkait dengan unjuk kerja seorang pilot sudah tersusun rapih baik di jajaran regulator dan juga operator. Keseluruhan aturan tersebut berstandar internasional dan apabila semua aturan tersebut dipatuhi maka hampir mustahil dapat terjadinya kasus pilot mabuk.
Dalam konteks ini, maka sebenarnya tidaklah diperlukan lagi penambahan aturan dalan tata kelola aktivitas kerja dari seorang pilot.
Masalahnya adalah, dalam dunia penerbangan sangat dituntut disiplin tinggi yang tanpa kompromi dalam pelaksanaan kegiatan operasi penerbangan. Displin yang tinggi tidaklah mungkin dapat dibangun tanpa adanya proses pengawasan ketat yang terus-menerus.
Pengawasan yang ketat pun tidak akan banyak berarti bila tidak adanya hukuman dengan efek jera, bila terjadi pelanggaran aturan. Dengan demikian maka kasus pilot mabuk yang tengah kita hadapi sekarang ini dengan mudah dapat memberikan persepsi pada banyak orang bahwa sisi pengawasan belum berjalan sesuai ketentuan yang ada.
Pengawasan di sini tentu saja harus berawal dari para pilot sendiri secara internal, maskapai tempat sang pilot bekerja, dan secara berjenjang harus dilakukan juga sesuai ketentuan yang berlaku oleh pihak regulator sesuai mekanisme pengawasan yang berlaku.
Khusus dalam kasus pilot mabuk ini bisa jadi orang dengan mudah dapat sampai kepada kesimpulan sementara bahwa kekurangan Inspektor penerbangan seperti yang disinyalir oleh ICAO dalam “finding”-nya di tahun 2007 masih belum sepenuhnya dapat diatasi.
Pertanyaan berikutnya yang sangat logis kemudian adalah keraguan terhadap apakah memang benar Indonesia sudah “sukses” menjadikan posisinya kembali di jajaran negara kategori 1 penilaian FAA.
Hal ini tentu saja menjadi jauh sangat memalukan tidak hanya bagi korps pilot sipil komersial Indonesia akan tetapi juga bagi dunia penerbangan Indonesia secara keseluruhan. Kebanggaan sebagai seorang pilot ternyata sudah tidak sanggup lagi digunakan sebagai modal dasar dalam menjaga “disiplin” pribadi sebagai figur yang sering dipandang sebagai “Superman” sang jagoan, sang pemberani, tokoh idola anak-anak sejagad.
Sebuah tantangan baru datang menjelang bagi dunia penerbangan kita yang baru saja meraih prestasi. Kredibilitas regulator dalam hal ini pemegang otoritas penerbangan nasional tentu saja kembali berada dalam posisi yang dipertanyakan banyak pihak.
Disisi lain, mungkin jauh lebih penting, profesi pilot Indonesia juga tengah bergeser ke posisi yang agak memalukan. Di sinilah peran para pilot sendiri yang dituntut untuk menjawab pertanyaan besar dari publik para pengguna jasa angkutan udara, sampai sejauh mana profesi pilot masih dapat diandalkan sebagai tulang punggung, “the front liner” bagi terselenggaranya sistem angkutan udara yang aman dan nyaman, yang bergengsi, yang dapat memberikan jaminan rasa aman dalam bepergian dengan pesawat terbang.
Sebuah tantangan baru bagi profesi pilot. Ayo bangun pilot Indonesia! Bangun untuk dapat menjadi kebanggaan ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa!
Kiranya, dengan kasus Pilot mabok ini, tagline Pilot yang sudah sejak jaman dahulu menjadi pegangan “kebanggaan” di kalangan para airman di seluruh dunia, kini sudah mulai ditinggalkan: “24 hours from bottle to throttle”
Tanah Papua 31 Desember 2016
Chappy Hakim
Editor : Tri Wahono