Sebuah pesawat Merpati Nusantara Airlines (MNA) jenis MA 60 buatan China mengalami kecelakaan fatal di lepas pantai Kaimana saat hendak mendarat (Sabtu, 7/5).Dikabarkan,kondisi cuaca saat itu sangat buruk.
Seluruh kru dan penumpang dipastikan tewas. Pesawat MA 60 adalah pesawat bermesin ganda turbo prop buatan pabrik pesawat Xian Aircraft Company, Republik Rakyat China. Walaupun baru mengantongi sertifikat dari Civil Aviation Administration of China pada Juni 2000, pesawat ini sudah digunakan di beberapa negara, antara lain Bolivia, Laos,Kongo, Filipina, Indonesia,Zambia,Zimbabwe.
Yang menjadi menarik dalam hal pengoperasian pesawat ini adalah bahwa MA 60 belum mengantongi sertifikat Federal Aviation Administration (FAA). Memang benar bahwa sertifikasi dari FAA tidaklah bersifat mutlak atau absolut, tetapi sejauh ini standar regulasi FAA sudah menjadi pedoman atau acuan bagi hampir seluruh negara, terutama anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) dalam hal flight safety requirement.
Demikian pula di Indonesia, bila tidak salah, pesawat MA 60 adalah merupakan jenis pesawat pertama yang tidak mengantongi sertifikasi FAA yang beroperasi di Indonesia. Menjadi wajar kemudian, bermunculan banyak pertanyaan tentang hal ini.Tidak itu saja, pesawat MA 60 ternyata relatif masih baru, populasinya masih sangat terbatas. MA 60 adalah pesawat terbang yang belum war proven (teruji keandalannya di lapangan).
Dengan demikian, para pengguna harus menanggung baby’s sickness periode, yaitu beberapa penyakit yang akan muncul sebagaimana yang dialami semua produk pesawat terbang yang masih baru. Menggunakan pesawat baru atau bukan baru adalah sebuah pilihan, tetapi dengan memilih produk baru, yang pasti adalah akan menanggung penyakit yang akan muncul pada periode tertentu yang sulit untuk bisa diduga sebelumnya.
Hal ini tidak terkecuali bagi produkproduk pesawat mutakhir sekalipun. Masih ingat jatuhnya komponen mesin pesawat Airbus A-380 tempo hari di atas Batam? Hal tersebut diyakini sebagai bagian dari baby’s sickness period dari produk baru Airbus A-380. Sekali lagi menjadi wajar pula bila kemudian muncul pertanyaan, mengapa kita tidak menggunakan CN-235 saja?
Penggunaan MA 60,sebuah pesawat yang berkualifikasi lebih kurang sama dengan CN-235, tetapi kita harus menanggung baby’s sickness period-nya dengan keuntungan yang diraih hanya oleh pihak pabrik pembuat saja? Sementara bila kita menggunakan CN-235,jam terbang yang dihasilkan dalam pengoperasiannya akan sangat bermanfaat bagi PTDI dalam proses penyempurnaan produk dari CN-235 itu sendiri.
Semakin banyak jam terbang yang dihasilkan, akan semakin cepat satu jenis pesawat tersebut mencapai keandalannya di lapangan, mencapai apa yang sering disebut sebagai produk yang war proven. Dengan lebih sempurnanya produk pesawat yang dihasilkan, market pesawat itu sendiri menjadi diperlebar. Perhitungan untung rugi, khususnya dalam konteks produk dalam negeri, seyogianya dapat diperhitungkan dengan lebih cermat.
Masalahnya adalah, kebutuhan pesawat sekelas CN-235 di dalam negeri,terutama di daerah luar Jawa, sudah terbukti menjadi tuntutan yang setiap tahunnya senantiasa meningkat. Sebagai negara kepulauan, kebutuhan angkutan udara tidak bisa dihindarkan dengan mencari alternatif apa pun! Di sinilah peran Bappenas untuk menyinkronkan business plan dari domestic airlines, dalam hal ini MNA, dengan perencanaan strategis nasional dalam hal pengembangan industri pesawat terbang nasional.
Faktor Pilot
Kualifikasi pilot dalam menerbangkan pesawat, dari jenis apa saja, sudah diatur dengan regulasi dan ketentuan-ketentuan yang standar.Tinggal bagaimana maskapai yang bersangkutan me-manage dan mengawasi pembinaan para pilotnya. Tentu saja pengawasan dari pihak otoritas penerbangan nasional akan banyak berperan dalam hal kualitas para pilot kita.Idealnya produk utama pilot harus dihasilkan dari Kementerian Perhubungan melalui akademi atau Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia.
Beberapa flying school bisa saja menyelenggarakan pendidikan ini,tetapi sifatnya adalah melengkapi yang sudah ada.Dengan demikian standar kualitas pilot akan lebih mudah terjaga. Antisipasi lonjakan penumpang adalah merupakan indikasi dari meningkatnya kebutuhan angkutan udara. Hal ini harus dapat ditanggulangi oleh Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia yang berada di bawah pengelolaan pemerintah.
Dengan demikian, kondisi kekurangan pilot seperti sekarang ini tidak terulang. Rivalitas antarmaskapai telah menyebabkan persaingan yang tidak sehat dari para pilot dan teknisi dalam menyikapi kesejahteraannya dihadapkan pada tenaga yang sama yang berasal dari luar negeri. Kondisi seperti ini mengakibatkan output yang kontraproduktif. Ketidak nyamanan pilot bekerja akan berujung pada keselamatan penerbangan.
Terbang di Papua
Pada prinsipnya, terbang di mana pun akan sama saja. Sepanjang rambu-rambu dari ketentuan- ketentuan yang berlaku ditegakkan dengan tanpa pandang bulu,semua akan berjalan dengan aman. Setiap tempat memang memiliki keistimewaan tersendiri.Apakah itu bentuk medan yang bergununggunung dan karakteristik cuaca yang spesifik,semua telah ada aturan-aturan yang harus dipatuhi. Tidak itu saja.
Sebab patut dicatat bahwa infrastruktur pendukung operasi penerbangan seperti antara lain peralatan navigasi tidaklah selengkap sepertiyangtersediadidaerahlain di Tanah Air. Maskapai yang beroperasi pada daerah yang khusus pasti telah membuat aturan khusus pula dalam mengoperasikan penerbangan di daerah itu. MNA memiliki pengalaman yang cukup panjang, bagaimana mengelola kualifikasi para pilotnya agar dapat terbang di Papua dengan aman.
Kecelakaan pesawat terjadi sebagai hasil dari sekian banyak sebab kecil yang terakumulasi menjadi satu produk yang bernama accident. Data statistik menyebutkan bahwa human factors masih menjadi leading causes (penyebab utama) dari kecelakaan pesawat terbang. Untuk dapat menentukan penyebab utama atau the most probable cause-nya, penelitian yang saksama harus dilakukan dengan fair.
Ini bukanlah sekadar tentang masalah pesawat buatan China, kualitas pilot, dan atau daerah Papua, tetapi lebih dari itu. Untuk memperoleh solusi yang tepat dan jitu tidaklah mudah.Patut diingat apa yang pernah dikatakan oleh Judith Orasanu,PhD, dari NASA Ames Research Center,”You can’t solve a problem, unless you recognize you’ve got a problem and you understand the nature of the problem.” Anda tidak akan dapat menyelesaikan masalah kecuali Anda sadar bahwa Anda tengah berhadapan dengan masalah dan mengerti benar anatomi dari masalah tersebut! ●
CHAPPY HAKIM
Mantan Ketua Tim Nasional (Timnas)
Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi (EKKT),
Mantan Penerbang Merpati Nusantara Airlines