Setelah sekian lama dilanda penyebaran pandemic covid 19 belakangan ini yang ditandai dengan tertundanya banyak pertemuan tatap muka, maka sebagian besar kegiatan telah berpindah ke ranah virtual. Tidak terkecuali, Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) telah melangsungkan pertemuan bulanan kemarin tanggal 6 Mei 2021 secara virtual untuk kesekian kalinya. Tampil sebagai pembicara kali ini adalah Marsdya Purn Wresniwiro, Riefqi Muna Ph.D. dan Tommy Tamtomo Ph.D. Sementara sebagai penanggap adalah Prof Dr Makarim Wibisono dan Prof Dr Ida Bagus R. Supancana. Pada pertemuan bulanan kali ini mengangkat isu pertahanan udara nasional dalam kaitannya dengan keamanan regional.
Pada diskusi yang berkembang telah mengangkat beberapa topic info antara lain mengenai Asia Pasifik yang sudah berganti nama menjadi Indo Pasifik. Hal ini tentu saja membutuhkan strategi baru untuk mengantisipasinya. Disamping itu Indonesia yang bersinggungan dengan kawasan Laut China Selatan dituntut agar lebih waspada atas eskalasi ketegangan yang semakin meningkat. Indonesia harus lebih cerdas memerankan diri, atau menempatkan posisinya sebagai negara yang menganut politik luar negeri yang bebas altif.
Lebih lanjut diharapkan agar ASEAN harus lebih aktif dalam menyesuaikan diri pada perkembangan di kawasan Indo-Pasifik dengan segala konsekuensinya. Diulas pula mengenai mengapa ASEAN tidak membentuk pakta pertahanan sendiri saja seperti pernah di usulkan oleh Presiden Filipina Duterte, sehingga bisa saling melindungi dalam konteks pertahanan wilayah. Duterte bersikap sangat tegas bahwa apabila ASEAN ingin eksis , maka kerjasama yang dibangun hendaknya juga termasuk didalamnya kerjasama di bidang pertahanan atau militer. Menjadi catatan yang sangat menarik, karena tidak ada seorang pun pimpinan ASEAN yang menyetujui usulan Duterte tersebut.
Yang cukup menonjol adalah munculnya rekomendasi menarik dari Tommy Tamtomo Ph.D. peneliti PSAPI salah satu pemapar, agar TNI segera membentuk Pusat Komando Pertahanan Siber Elektronika untuk meningkatkan kualitas dari jajaran komando pertahanan udara nasional. Hal serupa yang sudah dibentuk di Amerika Serikat pada tanggal 21 Mei 2010 bernama United States Cyber Command (USCYBERCOM). USCYBERCOM merupakan komando tempur yang langsung berada dibawah Departemen Pertahanan Amerika Serikat , United States Department of Defense (DoD). Bahkan Panglima yang ditugaskan memimpin USCYBERCOM adalah seorang perwira tinggi, Jenderal berbintang 4 Angkatan Darat dan wakilnya Perwira TInggi bintang 3 dari Angkatan Udara.
Rekomendasi tersebut selain menarik juga terlihat sangat jelas menggambarkan betapa dunia siber belakangan ini telah banyak mempengaruhi industri penerbangan sipil dan sekaligus sangat berpengaruh kepada sistem pertahanan keamanan sebuah negara. Indonesia sendiri dalam posisi sekarang ini memerlukan langkah cepat untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi terutama di bidang siber yang salah satu ciri khususnya adalah pengembangan Artificial Inteligent dan sistem autonomous system. Apabila tidak dilakukan, maka seberapa besarpun ongkos yang dikeluarkan untuk menambah jumlah persenjataan modern yang dapat dibeli, akan menjadi sia sia belaka. Sekali lagi dunia siber dapat memporak porandakan sistem pertahanan keamanan negara yang ketinggalan dalam menyesuaikan dirinya.
Untuk dapat memenuhi itu semua maka setidaknya kegiatan Research and Development atau Penelitian dan Pengembangan serta proses Education and Training bagi sdm dibidang pertahanan keamanan khususnya di air and space harus segera di mobilisasi. Secara nasional sudah harus dapat dilakukan peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan latihan atau Education and Training Program bagi sdm agar upaya mengejar ketertinggalan kita selama ini dapat dilakukan sesuai perkembangan global. Perencanaan jangka panjang yang konsisten dan berkelanjutan harus segera di susun pada format peta jalan atau road map.
Ironisnya adalah yang berkembang belakangan ini justru lembaga-lembaga yang berkiprah dalam perkembangan sains, teknologi dan riset telah dilebur dan diciutkan kedalam institusi lainnya. Depanri dan LAPAN serta BPPT dan LIPI berada dalam proses lenyap dari permukaan. Sebuah langkah setback yang sangat disayangkan tentu saja. Akan tetapi hal ini tidak dapat begitu saja disalahkan kepada para pengambil keputusan. Bisa saja karena pada kenyataannya lembaga – lembaga tersebut selama ini memang tidak atau kurang terlihat kegiatannya di masyarakat luas dan tentu saja di pemerintahan. Sebuah hal yang mengakibatkan penilaian (bisa saja keliru) bahwa lembaga – lembaga tersebut memang merupakan lembaga yang masuk kategori lembaga yang tidak berguna dan hanya menghabiskan anggaran belaka. Sangat masuk akal, ditengah pandemic covid 19 yang tengah melanda dunia, maka pemerintah memerlukan efisiensi dan efektifitas jajaran pemerintahan untuk dapat segera keluar dari kesulitan yang tengah dihadapi. Eksistensi sebuah lembaga negara memang seharusnya dapat tampil di permukaan bahwa dia memerankan sebuah misi dan visi yang sangat penting dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat luas dan juga bagi sisi pertahanan keamanan negara. Bila gagal dalam performa yang dapat terlihat oleh masyarakat dan lebih lebih oleh para pengambil keputusan, maka tidak aneh apabila kemudian lembaga lembaga tersebut memang harus segera dilebur saja. Ironi lainnya adalah bahwa justru banyak orang yang baru mengetahui keberadaan lembaga lembaga tersebut ketika atau pada saat akan dilebur atau dibubarkan. Sebuah kenyataan yang tidak bisa tidak, menjadi agak menyedihkan sebenarnya.
Terlepas dari itu semua, realita yang kita hadapi adalah dunia tengah bergulir menuju domain ke 5 bernama dunia siber. Suka atau tidak suka apabila kita tertinggal dalam mengantisipasi, maka bersiaplah untuk menjadi bangsa kuli atau kulinya bangsa bangsa. Perubahan akan terus bergulir dan perubahan tidak akan menunggu siapa siapa saja yang tidak mau mengikutinya.
Jakarta 7 Mei 2021
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia