Pertamakali saya melihat pesawat terbang adalah melihat pesawat Dakota di Kemayoran. Ternyata setelah sekian puluh tahun berlalu, pesawat Dakota juga yang menjadi pesawat terbang yang pertamakali saya naiki, yaitu pada saat latihan para dasar, terjun payung di Lanud Margahayu Bandung. Sebenarnya dengan menaiki pesawat Dakota saat latihan terjun, dapat dikatakan “belum sempurna”, karena saya hanya merasakan terbang sejak dari Take Off saja , kemudian terjun diatas Margahayu. Itu berarti, saya belum merasakan bagaimana saat pesawat terbang itu turun dan landing.
Jadi yang “sempurna” (ikut terbang mulai dari take off sampai dengan landing) sebagai kesempatan saya terbang pertamakali adalah saat terbang dengan Dakota juga, namun kali ini adalah pesawat Dakota dari Garuda Indonesian Airways. Pada waktu itu, saya sebagai Sersan Karbol, Taruna tingkat dua, kebetulan mendapat tugas untuk menemani kunjungan Cadet Amerika di Akabri Udara, kemudian ke Bali dan Jakarta. Saya berangkat dari Jogjakarta ke Bali. Rombongan kecil ini terdiri dari dua orang Cadet Amerika dengan seorang Kolonel, sedangkan saya bersama seorang Sersan Mayor Karbol Senior, Taruna tingkat empat dan seorang Kolonel. Ceritanya, saya dipilih untuk menemani tamu tersebut, karena kemampuan saya dalam berbahasa Inggris. Tidak istimewa, tetapi mungkin dinilai sedikit lebih baik dari teman-teman lainnya, atau bahkan mungkin hanya karena lebih berani saja menggunakan bahasa Inggris walaupun jauh dari sempurna. Lumayan, ditingkat dua , sudah memperoleh kesempatan jalan-jalan.
Sangat berbeda dengan pesawat Dakota yang saya gunakan untuk terjun di Margahayu, maka pesawat Dakota Garuda ini, kabinnya bersih, wangi dan ada Pramugarinya. Bisa dibayangkan Taruna tingkat dua yang masih culun ini memperoleh kesempatan naik pesawat Garuda, sungguh satu kesempatan yang sangat langka. Dengan penerbangan Dakota Garuda inilah, saya mengalami satu penerbangan yang sangat mengesankan plus perjalanan yang tidak dapat saya lupakan seumur hidup. Tidak hanya berkesempatan terbang pertama kali dengan sempurna, dalam arti duduk sejak dari take off sampai dengan landing, akan tetapi juga karena penerbangan tersebut berangkat dari Jogjakarta ke Bali. Seumur hidup saya belum pernah melihat Bali, walau mendengar dan membaca tentang Bali saya sudah sangat sering mengerjakannya. Perjalanan yang sangat membahagiakan. Semua terasa menyenangkan, kecuali satu hal saja, yaitu saya harus berbahasa Inggris selama empat hari perjalanan itu. Namun tetap saja saya berusaha menikmatinya, karena justru kesempatan tersebut adalah benar-benar satu kesempatan emas bagi saya dalam konteks meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris.
Begitu antusiasnya saya mengikuti penerbangan ini, sepanjang perjalanan dari sejak take off sampai dengan landing di Ngurah Rai Denpasar Bali, saya berusaha melihat keluar, menikmati pemandangan yang belum pernah saya alami sepanjang hidup. Sebelum naik pesawat, saya menyempatkan diri mengintip ke arah kokpit, melihat dengan penuh kekaguman Pilot yang kelihatan gagah dengan seragam yang sangat rapih, lengkap dengan empat garis kuning dipundaknya serta topi Pilot yang khas itu. Terbayang kembali, ketidak berhasilan saya mendaftar di API beberapa waktu yang lalu, yang tujuannya adalah untuk bisa menjadi Pilot Airlines. Didalam hati, keinginan itu tidak pernah padam, namun menghadapi realita saya tidak menyesalinya, kecuali mengeraskan tekad saya , paling tidak saya harus bisa jadi Pilot Angkatan Udara ! Kesempatan untuk menjadi Pilot di Akabri Udara adalah baru nanti setelah para Taruna mencapai tingkat atau tahun ke empat di Akademi. Saat itulah para Taruna akan diseleksi ulang untuk menentukan siapa-siapa yang dapat meneruskan ke Sekolah Penerbang Angkatan Udara. Semua lamunan dikepala saya segera lenyap, setelah pesawat landing di Pelabuhan Udara Internasional Ngurah Rai Bali. Sebagai anggota rombongan yang paling yunior, maka pekerjaan saya adalah langsung mengoleksi barang-barang bawaan, bagasi seluruh rombongan, mengeceknya serta menyiapkannya ke dalam kendaraan.
Pengalaman terbang pertamakali ini benar-benar saya rasakan sebagai anugerah yang sama sekali tidak terduga. Saya benar-benar seolah memperoleh durian runtuh. Taruna tingkat dua, yang waktu pesiar untuk keluar ksatrian saja masih sangat sulit, karena program latihan dan pelajaran yang sangat ketat, sementara saya berkesempatan naik Garuda terbang ke Bali. Tidak itu saja, karena ternyata, jauh dari dugaan saya sebelumnya, ternyata kami bermalam di Hotel Bali Beach di Sanur. Hotel Bali Beach saat itu, ditahun 1969 adalah merupakan hotel internasional yang paling mewah yang ada di Bali. Kelihatannya, kebetulan sekali, hari kita masuk ke Hotel tersebut adalah saat baru diresmikannya Hotel itu. Di hari yang sama, saat selesai “check-in”, saya sempat melihat Bapak Rusmin Nuryadin mantan Kepala Staf Angkatan Udara, yang saat itu, kalau tidak salah menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Se-umur-umur, saya belum pernah masuk hotel, apalagi hotel semewah Hotel Bali Beach. Lebih-lebih lagi, saya sendirian di satu kamar yang sangat mewah tentu saja untuk ukuran pada saat itu. Kamar yang bersih dan wangi, bahkan wc dan kamar mandinya pun bersih sekali.
Yang paling surprise adalah, kamar hotel sangat dingin yang menyebabkan saya tidak betah berada didalam kamar. Bila sebentar memang terasa nyaman sekali, namun setelah setengah jam, badan terasa sudah mau menggigil. Begitulah orang kampong yang pertamakali masuk hotel.
Dari Jogjakarta ke Bali dengan menggunakan Dakota, Garuda Indonesian Airways, benar- benar telah merupakan pengalaman saya terbang untuk pertamakalinya. Penerbangan yang sangat mengesankan, terpatri dalam ingatan sebagai pengalaman yang lebih memotivasi lagi diri saya untuk dapat meraih mimpi, mimpi untuk bisa menjadi Pilot. Mimpi yang sudah sejak masa kanak-kanak menancap jauh direlung hati yang paling dalam, menguasai pikiran setiap saat.