Selesai dari SMA, di tahun 1966 saya mendaftar ke API, Akademi Penerbangan Indonesia untuk mencoba mewujudkan cita-cita menjadi Pilot. Namun disebabkan dengan beberapa hal, meski dapat menembus seluruh rangkaian tes masuk dan juga tes kesehatan, pengumuman akhir yang berupa tanda kelulusan serta pemanggilan untuk masuk pendidikan tidak kunjung datang. Di tengah-tengah ketidak pastian itu, saya kemudian mengikuti saja ajakan seorang teman untuk mendaftar ke Akabri Udara. Walaupun di awalnya sangat diliputi keengganan untuk bergabung ke Akabri, akan tetapi dengan beberapa pertimbangan, antara lain masih besar harapan untuk tetap dapat meraih impian menjadi Pilot, maka mendaftarlah saya ke Akabri Udara.
Tahun pertama sebagai Taruna Akabri Udara, ditempuh bersama-sama dengan para Taruna Akabri-darat, Akabri-Laut dan Kepolisian di Magelang. Baru pada tahun kedua , ketiga dan keempat jurusan Darat tinggal di Magelang, Angkatan Laut pindah ke Surabaya, Akabri Udara ke Jogyakarta dan Kepolisian ke Sukabumi. Pada tahun kedua di Akabri Udara, yang terletak di Pangkalan TNI Angkatan Udara Adistjipto, Maguwoharjo Jogyakarta, para Taruna diharuskan mengikuti program latihan terjun. Adapun, program latihan terjun itu sendiri dilaksanakan di Pangkalan Angkatan Udara Sulaiman , Margahayu, kabupaten Bandung. Semua Taruna berangkat dari Jogyakarta menggunakan Kereta Api, dan setiba di Stasiun Bandung, turun dan kemudian berbaris, jalan kaki dengan memanggul senjata menuju Lanud Sulaiman. Perjalanan kaki yang cukup jauh ini dimaksudkan sebagai latihan awal dalam rangka “ground training” persiapan latihan terjun payung, yang dikenal sebagai latihan Para Dasar.
Setelah menyelesaikan latihan “ground training” yang meliputi latihan fisik, terutama dalam kerangka menguatkan otot kaki yang dibutuhkan untuk mendarat , termasuk latihan-latihan teori terjun statik dan prosedur melipat payung atau parasut, maka tibalah latihan terjun dengan melompat dari pesawat terbang. Tentu saja salah satu rangkaian latihan terjun tersebut, termasuk terjun simulasi yang dilakukan dengan bantuan Tower khusus yang dapat digunakan, terutama untuk berlatih mendarat. Hentakan di kaki akan terasa keras sekali, sehingga teori mewajibkan setiap penerjun harus merapatkan kakinya sesaat sebelum mendarat.
Sesaat sebelum mendarat, tidak hanya kaki harus rapat yang bertujuan agar kaki tidak cedera, tetapi juga kepala harus dilindungi dengan rapat diantara dua tangan. Tujuannya adalah agar bila terjatuh akan lebih mudah untuk menggulingkan badan kekiri atau kekanan sesuai dengan posisi saat mendarat, sehingga dapat terhindar dari cedera berat. Itu sebabnya motto terjun statik, khusus dalam urusan mendarat, tenar dengan semboyan “kaki rapat, kepala simpan”.
Setiap Taruna, para peserta latihan ditanamkan benar-benar tentang hal ini. Refleks dari kaki rapat kepala simpan, dilatih berulang-ulang dalam siklus simulasi, dengan catatan bagi yang lupa akan mendapatkan hukuman yang lumayan berat. Disamping itu , para Taruna juga diajarkan untuk melipat sendiri payung terjun atau parasut yang akan digunakannya saat terjun. Dengan demikian, maka mereka tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, bila terjun nanti payungnya tidak mengembang yang disebabkan keteledoran dalam prosedur pelipatan parasut. Disinilah, kemudian watak asli seseorang dihadapkan dengan ancaman nyawanya masing-masing. Di saat-saat seperti ini maka tiba-tiba semua orang menjadi jujur. Tentang hal ini, saya pernah menulis satu ilustrasi tentang kejujuran disaat orang sangat dekat dengan ancaman kematian. Tulisan tersebut saya muat dalam salah satu buku saya yang berisi sebagai berikut :
Tukang Kerupuk
Pada tahun 1969, saya mengikuti latihan para dasar, terjun payung statik di pangkalan Udara Margahayu Bandung. Menjalani latihan yang cukup berat bersama dengan lebih kurang 120 orang dan ditampung dalam dua barak panjang tempat latihan terjun tempur.
Setiap makan pagi, siang dan malam hari yang dilaksanakan di barak, kami memperoleh makanan ransum latihan yang diberikan dengan ompreng dan atau rantang standar prajurit. Diujung barak tersedia drum berisi sayur, dan disamping nya ada sebuah karung plastik berisi kerupuk milik seorang ibu setengah baya warga sekitar asrama prajurit yang dijual kepada siapa saja yang merasa perlu untuk menambah lauk makanan jatah yang terasa kurang lengkap bila tidak ada kerupuk. Sang ibu paruh baya ini, tidak pernah menunggu barang dagangannya. Setiap pagi, siang dan malam menjelang waktu makan dia meletakkan karung plastik berisi krupuk dan disamping nya diletakkan pula kardus bekas rinso untuk uang, bagi orang yang membeli kerupuknya. Nanti setelah selesai waktu makan dia datang dan mengemasi karung plastik dengan sisa kerupuk dan kardus berisi uang pembayar kerupuk.
Iseng, saya tanyakan, apakah ada yang nggak bayar Bu? Jawabannya cukup mengagetkan, dia percaya kepada semua siswa latihan terjun, karena dia sudah bertahun-tahun berdagang kerupuk di barak tersebut dengan cara demikian. Hanya meletakkan saja, tidak ditunggu dan nanti setelah semuanya selesai makan dia baru datang lagi untuk mengambil sisa kerupuk dan uang hasil jualannya. Selama itu, dia tidak pernah mengalami defisit. Artinya tidak ada satu pun pembeli kerupuk yang tidak bayar. Setiap orang memang dengan kesadaran mengambil kerupuk, lalu membayar sesuai harganya. Bila dia harus bayar dengan uang yang ada kembaliannya, dia bayar dan mengambil sendiri uang kembaliannya di kotak rinso kosong tersebut. Demikian seterusnya. Beberapa pelatih terjun, bercerita bahwa dalam pengalamannya, semua siswa terjun payung yang berlatih disitu dan menginap dibarak latihan tidak ada yang berani mengambil kerupuk dan tidak bayar. Mereka takut, bila melakukan itu, khawatir payung nya tidak mengembang dan akan terjun bebas serta mati berkalang tanah.
Sampai sekarang, saya selalu berpikir, mengapa orang sebenarnya bisa jujur, dan dapat dipercaya, hanya karena pintu kematian berada didepan wajahnya. Yang saya pikirkan, bagaimana caranya membuat manusia setiap saat berada dalam kondisi atau suasana latihan terjun, mungkinkah ?
Jakarta 12 Mei 2009
Demikianlah, latihan ground training dan teori tentang terjun payung static berjalan dengan sangat Spartan dan tidak terasa kemudian tibalah saat terjun dari pesawat terbang. Pada saat itu, kami latihan terjun dengan menggunakan pesawat terbang C-47 Dakota, versi militer dari jenis DC-3 yang banyak digunakan perusahaan penerbangan sipil di banyak Negara di dunia. Sedikit tentang pesawat C-47 Dakota. Pesawat Dakota C-47, adalah sebuah pesawat versi militer yang asalnya dibangun dari Pesawat Dakota DC-3. Pesawat ini banyak dipergunakan oleh pihak sekutu dalam perang dunia kedua sampai dengan tahun 1950-an. Walaupun perang sudah berakhir, karena memang pesawat ini sangat multi guna, maka sampai dengan tahun 1970-an masih banyak negara di dunia yang masih menggunakannya. Bahkan pada tahun 2010, sebuah pesawat Dakota C-47A Skytrain masih sempat dipamerkan di Cotswold Airport, Gloucestershire, Inggris. Pesawat tersebut take off dari Pangkalan Udara Devon, Inggris, saat berpartisipasi di perang dunia kedua dalam penyerangan besar-besaran dengan menerjunkan pasukan sekutu di pantai Normandia yang terkenal itu.
C-47 Dakota, memang pesawat terbang militer yang sangat tangguh. Pesawat ini dibuat oleh pabrik pesawat Douglas Aircraft Company dari disain Douglas Aircraft. Pertama kali terbang adalah pada tanggal 23 Desember 1941, walaupun prototype nya sudah berhasil diterbangkan pada tahun 1936. Pengguna pertama dari pesawat C-47 adalah US Army Air Force, menyusul kemudian Angkatan Udara Inggris Royal Air Force serta Angkatan Laut Amerika, US Navy. Tidak kurang dari 10.000 buah pesawat C-47 di produksi oleh pabrik Douglas Aircraft Company, yang sebagian besar diperuntukkan bagi keperluan perang dalam perang dunia kedua. Banyak sekali variant dari jenis C-47 Dakota yang bertebaran keseluruh dunia, antara lain jenis “Gun Ship”, Dakota bersenjata yang banyak digunakan dalam perang Vietnam. Beberapa diantaranya kemudian dihibahkan untuk Angkatan Udara Republik Indonesia.
Bagi saya pribadi, pesawat ini sangat dekat dengan perjalanan hidup saya. Dakota dalam ujud DC-3, versi sipil adalah pesawat terbang pertama yang pernah saya lihat dengan mata kepala saya sendiri di Kemayoran saat masih kanak-kanak. Berikutnya, Dakota menjadi pesawat terbang pertama dalam hidup saya sebagai pesawat terbang yang pernah saya tumpangi. Uniknya, saya terbang pertama kali, dengan Dakota ini hanya merasakan Take Off saja, tidak pernah merasakan landing, karena saya harus terjun dari udara dalam latihan terjun dimasa Taruna tingkat dua di tahun 1969 tersebut. Masalahnya adalah, dalam latihan terjun tersebut , kami berangkat dari Lanud Sulaiman, Margahayu menggunakan Truk menuju ke Lanud Husein Sastranegara. Di lanud Husein inilah kami naik pesawat Dakota yang membawa terbang kami semua menuju Lanud Sulaiman. Diatas Lanud Sulaiman inilah kami semua diterjunkan menggunakan parasut. Dengan demikian, dengan sangat menyesal, pengalaman terbang saya yang pertama kali dalam hidup ini tidaklah lengkap, karena hanya mengalami pesawat yang take off saja, kemudian terjun dangan tidak pernah mengalami mendarat dengan pesawat tersebut.
Jakarta 7 Januari 2011
Chappy Hakim