Dijalan Merdeka barat, tidak jauh dari gedung RRI, Radio Republik Indonesia ada Museum, yang dikenal dengan sebutan Museum Gajah. Mungkin saja penyebab dari disebutnya museum itu dengan Museum gajah, adalah karena didepan gedung museum tersebut ada patung Gajah yang Besar sekali. Pada sekitar tahun 1950 an, didepan Museum tersebut ada kantor polisi yang dikenal dengan “hoofd bureau”, bahasa belanda yang artinya kantor pusat barangkali. Mirip dengan kantor polisi yang ada di dekat jembatan merah Surabaya.
Sejajar dengan Museum dan RRI dijalan merdeka barat itu terdapat pula gedung yang cukup unik, yaitu satu bangunan semacam kantor dengan warna biru dan dikedua sisinya terdapat baling-baling besar yang menempel didinding kedua ujung pagar gedung itu.
Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa di dalam gedung Museum Gajah, dahulu kala sekitar tahun 1950 an, terdapat perpustakaan. Perpustakaan ini, mempunyai ruangan yang cukup luas dengan plafon atau langit-langit yang tinggi serta lantai ubin marmer tua berawarna putih ke abu-abuan dengan ukuran lebar. Dengan banyak jendela yang tinggi , maka ruangan terasa sejuk. Kesejukan juga terasa berkat dihalaman luarnya terdapat ruang dengan rumput hijau serta pohon beringin yang besar sekali. Tidak berapa jauh dari ruangan perpustakaan tersebut, terdapat patung-patung besar dari peninggalan sejarah kuno yang dipajang dengan apik serta terjaga sekali kebersihannya. Ruangan itu terasa anggun sekali, hening dan terkadang dapat membuat bulu kuduk merinding. Ruangan yang besar itu, tidak berpendingin udara atau AC, akan tetapi kelihatannya sudah terbangun dengan arsitektur yang cermat sehingga seluruh ruang terasa sejuk dengan angin sepoi-sepoi yang datang dari halaman museum.
Saya kerap menemani almarhum ayah saya, biasanya hari minggu untuk berkunjung keperpusptakaan ini. Saya , sering diajak ayah saya, berjalan kaki dari rumah di Jalan Segara IV nomor 4 ( sekarang merupakan lokasi dari wisma negara , bagian dari Istana Presiden) menuju keperpustakaan di Museum. Biasanya ayah saya membawa buku pinjamannya untuk dikembalikan, membaca di perpustakaan beberapa buku, kemudian pulang dengan membawa buku lainnya yang dipinjam kerumah. Sampai sekarang saya masih mengagumi sistem administrasi yang sangat sederhana namum sangat teratur itu dari pihak Perpustakaan. Ayah saya memegang kartu langganan peminjam buku yang bentuknya kecil, sebesar separuh dari ukuran “post card”. Didalamnya tertera beberapa kolom yang menyebutkan nomor pelanggan, nomor buku, nama atau judul buku dan tanggal pengembalian buku yang dipinjam. Apabila pengembalian buku terlambat satu atau sampai dua hari, maka surat peringatan akan tiba dirumah melalui pos. Ayah saya sangat disiplin dalam meminjam dan juga mengembalikan buku yang dipinjamnya. Buku-buku yang terdapat di perpustakaan itu, kebanyakan berbahasa Belanda dan Inggris, selain dari buku-buku yang berbahasa Indonesia.
Biasanya, bila saya menemani Ayah saya keperpuatakaan itu, saya hanya menemani beliau , mengembalikan buku sejenak, kemudian beliau mengambil beberapa judul buku untuk dibaca di ruang baca perpustakaan itu. Begitu beliau mulai membaca, saya keluar untuk berkeliling museum melihat-lihat patung-patung besar disitu. Saya tidak bisa berlama-lama diruang baca, karena diruang baca orang tidak boleh bersuara. Ruang baca benar-benar hening sekali, dan benar-benar seperti kiasan yang mengatakan, saking sunyinya, maka bila jarum jatuh pun akan terdengar. Diruang baca tidak banyak terlihat orang yang membaca disitu. Paling-paling hanya enam atau tujuh orang. Diantara tujuh orang itu tiga atau empat orang diantaranya adalah orang Belanda. Orang belanda yang rata-rata sudah tua, membaca beberaoa buku berukuran besar yang sudah rapuh kelihatannya, dan membaca dengan menggunakan kaca pembesar. Suasana ruang baca, lebih sepi dari kuburan, hanya sesekali terdengar langkah orang yang selesai membaca atau hendak mengganti buku yang dipinjamnya. Selain itu juga terkadang terdengar suara halaman buku yang sedang dibalik oleh mereka yang sedang membaca buku. Semua pembaca buku di ruang baca tersebut sangat menghargai satu dengan lainnya, mereka selalu berusaha untuk tidak saling mengganggu . Tidak ada yang merokok, walaupun tidak ada larangan untuk merokok disitu. Mengapa selalu saja ada yang membaca buku disitu, sebabnya adalah tidak semua buku yang ada diperpustakaan tersebut boleh dipinjam untuk dibawa pulang. Saya sering melihat beberapa buku kuno yang dipinjam oleh Ayah saya untuk dibaca disitu, dengan kulit buku yang tebal serta halaman buku yang kertasnya sudah menguning. Membalik halamannyapun harus hati-hati agar tidak rusak. Yang boleh meminjam dan membaca di perpustakaan tersebut, adalah hanya mereka-mereka yang sudah terdaftar di bagian administrasi perpustakaan.
Dalam bayangan saya, berkait dengan pekerjaan Ayah saya pada waktu itu, maka kira-kira apa yang dikerjakan Ayah saya tersebut, besar kemungkinan adalah tidak lebih dan tidak kurang sama dengan apa yang sering kita lakukan dengan Tante Wiki dan Om Gugel. Itu semua memang sama , barangkali hanya “teknologi” yang membedakannya.