Singapura dan Indonesia menjadi sentra dari perkembangan pasar angkutan udara di kawasan Asia Pasifik dalam 5–10 tahun belakangan ini. Beberapa tulisan menyebutkan bahwa belakangan ini Singapura dan Indonesia mengalami pertumbuhan yang fantastis, yaitu hampir mencapai 40% dan mungkin lebih.
Mengapa disebut sebagai Singapura Indonesia? Tidak lain karena secara letak geografis, Changi di Singapura terletak sangat dekat dengan banyak tujuan penerbangan di Indonesia. Pertumbuhan 40% ini dikatakan sebagai percepatan tertinggi dari pasar angkutan udara didunia, sementara dibanyak negara maju justru mengalami penurunan.
Kapasitas yang meningkat cepat terjadi pada rute Singapura ke Jakarta dan Bali, dengan catatan tujuan wisata Bali ternyata lebih tinggi karena fasilitas penerbangan yang dimiliki jauh lebih baik. Tujuan berikutnya adalah Singapura ke Surabaya dan Medan, yang kapasitas peningkatannya terjadi dua kali lipat pada tahun-tahun terakhir ini. Yang cukup mencolok adalah pencapaian maskapai berbiaya murah Mandala TigerAir yang hampir mencapai empat kali lipat dibanding tahun lalu.
Saat ini TigerAir melayani delapan kali penerbangan dari Singapura ke Jakarta. TigerAir, SilkAir dan Singapore Airlines serta Air Asia adalah maskapai yang paling banyak meraih keuntungan dari pertumbuhan pasar angkutan udara Indonesia yang fantastis. Belum tiba era dari OpenSky, Singapura telah menikmati keuntungan yang sangat luar biasa dari pertumbuhan ekonomi, khususnya angkutan udara negeri ini.
Beberapa analis di luar negeri membahas tentang hal ini dengan terang-terangan mengemukakan betapa Singapura sangat diuntungkan dengan perjanjian kerjasama Indonesia- Singapura dalam hal kebijakan angkutan udara dan segala hal yang berkait dengan itu. ***
Indonesia memang terlihat ingin membatasi penerbangan langsung dari Singapura ke tujuan selain Jakarta. Keinginan ini menjadi siasia karena beberapa hal, dan terutama disebabkan Bandara Soekarno-Hatta yang sudah sangat padat dan cenderung menjadi berbahaya.
Tumpahnya traffic inilah yang menyebabkan penerbangan langsung dari Singapura ke Bali, Medan, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Makassar dan lain-lain menjadi tambang emas dari maskapai penerbangan Singapura yang dari segi manajemen memang jauh lebih baik kondisinya dibanding dengan kebanyakan maskapai kita. Yang lebih menyedihkan lagi adalah, dikatakan bahwa pada kenyataannya Indonesia telah menjadi pasar terbesar bagi Changi dalam hal pelayanan transit ke kota-kota tujuan dari Indonesia ke Indonesia.
Disebutkan pula bahwa realita ini terjadi karena memang orang akan lebih nyaman transit di Changi yang tidak hanya lebih bagus fasilitas terminalnya, akan tetapi juga didorong oleh penilaian dari banyak maskapai penerbangan tentang Soekarno-Hatta yang dikenal sebagai international airport yang “congested and outdated” (kepenuhan dan ketinggalan jaman).
Jumlah penumpang tujuan Indonesia tersebut antara lain adalah dua kali lipat lebih besar dari penumpang tujuan Australia, China, dan Thailand yang berangkat dan atau transit di Changi. Selain itu, Changi memang unggul dengan penerbangan langsung ke 13 kota tujuan di Eropa, sementara dari Soekarno-Hatta tidak ada satu pun penerbangan yang langsung ke kota tujuan di Eropa.
(Masih Ingat rencana Garuda yang batal mengoperasikan B- 777 untuk penerbangan langsung ke London beberapa waktu lalu?) Singapore Airlines bersama dengan Silk Air telah, sedang dan akan melayani penerbangan dengan 12 tujuan di Indonesia, sementara Indonesia hanya mampu menerbangi satu tujuan saja di Singapura.
Satu kondisi yang sangat amat asimetrik sifatnya, ditambah lagi dengan banyak kemudahan yang dapat diatur dalam prosesi take off dan landing di Changi pada wilayah udara kedaulatan Indonesia di Selat Malaka yang memang dikuasai oleh otoritas penerbangan Singapura. Singkat kata, pasar pertumbuhan fantastis dari bisnis angkutan udara Indonesia benar-benar dinikmati oleh Singapura dengan kecerdikan dan kelihaiannya. ***
Indonesia masih memiliki banyak sekali pekerjaan rumah dalam pengelolaan penerbangan nasionalnya. Di samping Soekarno-Hatta yang sudah dikatakan sebagai congesteddan outdated, Indonesia sendiri masih berkutat untuk dapat mampu mengembalikan dirinya tampil sebagai satu negara yang dapat memenuhi persyaratan keamanan terbang internasional seperti yang dikeluarkan oleh ICAO.
Manajemen pengaturan lalu lintas udara yang baru saja diresmikan organisasi barunya di awal tahun ini belum banyak terlihat ada kemajuan. Organisasi Majelis Profesi Penerbangan yang seharusnya sudah dibentuk dua tahun lalu sesuai ketentuan Undang-undang penerbangan nomor 1 tahun 2009, belum pula terlihat aktivitasnya. Masalah kekurangan sumber daya manusia (SDM) pilot dan teknisi masih akan banyak menghadang di tahun mendatang berkait dengan penambahan pesawat yang sangat signifikan jumlahnya.
Belum lagi kondisi infrastruktur penerbangan di banyak daerah di Indonesia yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan bagi pelayanan penerbangan yang aman. Kelalaian dalam mengantisipasi pesatnya pertumbuhan penumpang dan barang dalam kegiatan angkutan udara ternyata memang harus dibayar mahal. Pilihannya hanya kerja keras yang serius, atau kemudian akan diambil alih oleh pihak asing yang dipastikan sudah lama mengintip “peluang emas” yang sangat menggiurkan ini.
Langkah perbaikan fundamental dalam penerbangan nasional sudah waktunya segera diayunkan atau penyesalan yang tidak berkesudahan akan menanti kita semua. Semoga kita dapat segera berhasil untuk juga menikmati “madu”-nya perkembangan pasar angkutan udara di bumi pertiwi ini. ●
Jakarta 19 September 2013
Chappy Hakim
Sumber : Koran Sindo tanggal 16 September halaman 6 Opini.