BELAKANGAN ini beredar berita tentang sejumlah pangkalan Angkatan Udara yang akan dialihfungsikan menjadi bandara sipil. Perkembangan ini sebenarnya bukanlah hal yang aneh. Begitulah trend pengelolaan penerbangan sipil komersial.
Perkembangan atau pertumbuhan transportasi udara sejak 10-15 tahun terakhir tidak pernah berada dalam sebuah format perencanaan strategis yang mengantisipasi laju kenaikannya tahun demi tahun.
Yang terjadi adalah “hanyut” dalam menikmati pertumbuhan penumpang dan barang yang berarti naiknya pendapatan secara finansial pada satu sektor pendapatan saja.
Gejala kenaikan sebenarnya sangat mudah terlihat dan tidak terjadi tiba-tiba. Sayangnya, kenaikan itu hanya disikapi dengan, harusnya kita bersukur bahwa naiknya jumlah penumpang setiap tahun yang menyebabkan airport penuh sesak adalah sebagai kesuksesan dari pertumbuhan ekonomi”.
Maka bersyukurlah kita semua.
Padahal, indikator kenaikan penumpang secara gradual seharusnya dibaca sebagai peluang untuk mengembangkan sistem transportasi udara yang lebih baik.
Artinya, indikator itu seharusnya dijadikan momentum untuk mengembangkan infrastruktur dan sumer data manusia yang pada saatnya kelak akan mendatangkan keuntungan yang lebih baik.
Kuncinya adalah, sekali lagi, perencanaan strategis termasuk di dalamnya menyangkut soal mengantisipasi peluang yang berkembang.
Dengan sedih hati, karena tidak pernah dilakukan, maka yang terjadi adalah penanggulangan yang kelihatan tambal sulam dan terkesan “tabrak sana-sini”.
Itulah yang terjadi saat penerbangan sipil di Halim Perdanakusuma pindah ke Soekarno-Hatta lalu pindah lagi ke Halim, kemudian merambah ke mana lagi yang panting dapat ruang udara. Tujuannya hanya satu, mengejar keuntungan finansial belaka.
Sebuah tindakan yang “kurang-sabar”. Sebuah jurus potong kompas yang seolah selalu menjadi panduan kerja yang diunggulkan.
Pelajaran dari PTDI
Pelajaran berharga sebenarnya mudah sekali dipetik dari proses pengembangan PTDI yang tadinya IPTN di Pangkalan Udara Husein Sastranegara Bandung.
Dalam satu irama yang disusun untuk mengejar “target”, entah apa ujudnya, IPTN dikembangkan dengan sangat cepat. Banyak bangunan dan lahan serta perkantoran Angkatan Udara yang sudah berusia puluhan tahun dibongkar sedemikian rupa untuk acara mengejar target.
Untuk diketahui bersama, Pangkalan Udara Husein Sastranegara dulu bernama Andir. Bengkel pemeliharaan pesawat terbang di Andir adalah yang terbesar di Asia Tenggara jauh sebelum Indonesia Merdeka.
Pengeliling dunia terkenal Amelia Earhart dalam lintasan terbangnya keliling dunia, pada rute menembus kawasan pasifik melakukan “maintenance stop over” di lapangan Andir.
Nurtanio dan kawan-kawan mengembangkan tempat pemeliharaan pesawat menjadi tempat perakitan pesawat. Secara visioner sasarannya adalah menjadi produsen pesawat terbang latih taktis.
Perkembangan untuk mencapai tujuan itu memang butuh waktu panjang. Tak bisa main sulap. Dana harus dicari sendiri. Tak ada dukungan.
Puncaknya adalah sat momen pengembangan pesawat terbang canggih N-250. Beberapa lahan penting di pangkalan udara termasuk perkantoran Pusat Dinas Psikologi Angkatan Udara harus dibongkar demi “lancar”nya proyek N-250 tersebut.
Sebuah keputusan yang diikuti dengan tindakan terburu-buru dari pola pengelolaan “potong kompas” untuk kejar sasaran.
Sayang seribu sayang, semua yang dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan pertimbangan kepentingan nasional yang menyeluruh ujungnya adalah kegagalan.
Proyek N-250 terhenti ditengah jalan. Kompleks bangunan Pangkalan Udara termasuk Kantor Pusat Psikologi AU sudah telanjur dibongkar habis. Seluruh bangunan di sana mangkrak.
Kabarnya, Kantor Pusat Psikologi AU yang dipindah ke Halim akan kembali diungsikan entah ke mana menyusul berkembangnya penerbangan komersial sipil di sana dan proyek stasiun pusat kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Semoga ini menjadi masukan buat kita. Setiap keputusan strategis hendaknya tidak tersandera oleh kepentingan sesaat dan kekuasaan.
Pelajaran dari 911
Semua Pangkalan Angkatan Udara memang terkesan tidak berguna “tidak berguna” sama sekali. Namun, mesti diingat, saat dibutuhkan, ia tidak bisa dibangun dalam waktu singkat.
Pelajaran mahal dapat dipetik dari peristiwa 911 yang dramatis. Peristiwa itu terjadi di kala perang dingin usai. Kesiapsiagaan 24 jam atau 24 hours combat readiness pangkalan-pangkalan Angkatan Udara di Amerika sudah dicabut dengan asumsi situasi sudah “aman”.
Ternyata Sang Teroris berhasil memanfaatkan hal itu dan membuat Amerika “under attack”. Sejak saat itu semua penerbangan sipil komersial berada dalam pengawasan yang super ketat.
Pangkalan-pangkalan Angkatan Udara siaga penuh mengawasi seluruh gerakan penerbangan sipil komersial yang berpotensi mengandung ancaman terorisme.
Sementara itu, kita justru tengah mengembangkan penerbangan sipil komersial dengan mengalihfungsikan pangkalan-pangkalan Angkatan Udara menjadi bandara bagi penerbangan sipil komersial.
Mudah-mudahan memang benar bahwa tidak ada ancaman teror sama sekali dan Pangkalan Angkatan Udara memang sudah waktunya dialihfungsikan bagi pengembangan penerbanga sipil komersial.
Saya ingin mengakhiri uraian ini dengan kata-kata Roy T Bennett: “Respect other people’s feelings. It might mean nothing to you, but it could mean everything to them.”
[wp_ad_camp_1]