Indonesia memiliki visi dirgantara sudah sejak di awal-awal tahun kemerdekaannya. Indonesia sebagai negara kepulauan, pada tahun 1955 belum memiliki Dewan Kelautan atau Dewan Maritim tetapi sudah memiliki Dewan Penerbangan. Indonesia sudah memiliki Dewan Penerbangan sebelum Sputnik, satelit pertama di dunia diluncurkan pada Oktober 1957 oleh Uni Soviet. Tahun 1964 Fakultas Hukum Unpad telah memiliki jurusan “Air and Space Law” yang didirikan oleh Prof Dr Priyatna Abdurrasyid. Unpad merupakan Universitas pertama di Asia yang Fakultas Hukumnya telah memiliki jurusan hukum udara dan ruang angkasa.
Dewan Penerbangan. Sebuah Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Dewan Penerbangan telah ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Pebruari di tahun 1955. Peraturan Pemerintah tersebut di tandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Sukarno dan Menteri Perhubungan A.K. Gani serta Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri. PP tersebut tercantum dalam Lembaran Negara no 7 tahun 1955. Peraturan Pemerintah ini diundangkan pada tanggal 14 Pebruari 1955 dan di tandatangani oleh Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo. Kesemua hal tersebut tercantum dalam buku Perundang-undangan Penerbangan di Indonesia yang disusun oleh Mr. R. P. S. Gondokoesoemo, Penasehat Hukum Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia.
Pertimbangan dibentuknya Dewan Penerbangan disebutkan sebagai berikut : untuk memberikan nasehat dan menyempurnakan koordinasi dalam soal-soal penerbangan dan agar terdapat kerjasama yang sebaik-baiknya antara instansi-instansi yang mempunyai tugas yang erat hubungannya dengan beberapa soal penerbangan.
Selanjutnya dalam pasal 3 disebutkan bahwa Dewan Penerbangan terdiri dari Menteri Perhubungan dan Menteri Pertahanan sebagai anggota dan bergiliran sebagai Ketua. Sementara itu dicantumkan pula bahwa anggota Dewan Penerbangan adalah : Kepala Jawatan Penerbangan Sipil dari Kementrian Perhubungan, Kepala Staf Angkatan Udara dari Kementrian Pertahanan, Seorang Pegawai Tinggi dari Kementrian Luar Negeri, Seorang Pegawai Tinggi dari Kementrian Perekonomian dan Seorang Pegawai Tinggi dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Menjadi jelas bahwa sebenarnya sudah sejak tahun 1955 telah mulai dirasakan bahwa segala sesuatu berkait dengan masalah penerbangan nasional harus diolah bersama terlebih dahulu antar berbagai instansi dalam satu wadah yang berbentuk Dewan, sebelum dikeluarkannya kebijakan ditingkat pusat. Jelas juga bahwa yang akan banyak terlibat dalam bidang penerbangan adalah Kementrian Perhubungan, Kementrian Pertahanan, Kepala Staf Angkatan Udara, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Perekonomian dan Kementrian PU. Dengan demikian maka semua kebijakan nasional dibidang penerbangan, harus dipertimbangkan dan dikaji bersama masak-masak terlebih dahulu antar instansi yang berkepentingan. Dengan demikian, tidak ada satu Kementrian pun yang berwenang untuk memutuskan sendiri sebuah kebijakan dalam masalah penerbangan nasional tanpa membicarakannya terlebih dahulu pada forum lintas instansi terkait dalam wadah Dewan Penerbangan.
Pada penjelasan umum di alinea pertama dari Penjelasan PP no 5 tahun 1955 tentang Dewan Penerbangan tertera : Dalam keadaan sekarang dirasa perlu sekali untuk mengkoordinir politik penerbangan sipil dan politik penerbangan militer, yang kedua-duanya tidak terlepas dari politik dan ekonomi negara. Dalam alinea ke 6 bahkan disebut dengan lebih jelas : Dengan tegas dinyatakan disini , bahwa hanya soal-soal penerbangan sipil dan militer yang mempunyai hubungan amat erat satu sama lain yang harus dikoordinasikan. Maksudnya ialah untuk menghindarkan pengertian, bahwa instansi penerbangan satunya dapat turut mencampuri soal-soal penerbangan yang khusus termasuk dalam kompetensi instansi penerbangan yang lain atau sebaliknya.
Sungguh mengagumkan bahwa Indonesia sejak tahun 1955 sudah mengantisipasi akan berhadapan dengan banyak masalah rumit dalam pengelolaan wilayah udara nasional, terutama dalam penggunaan untuk kepentingan penerbangan sipil dan sekaligus juga kepentingan penerbangan militer.
Indonesia sudah jauh memperhitungkan tentang pentingnya operasi penerbangan dalam konteks pertahanan keamanan negara. Sudah menyadari bahwa kedua jenis penerbangan tersebut harus berada dalam sebuah koridor yang harmonis untuk saling mendukung satu dengan lainnya. Dalam pengertian tidak mengorbankan satu pihak terhadap pihak yang lain, apapun alasannya, karena kedua-duanya merupakan bagian utuh dari proses perencanaan pembangunan nasional.
Mengagumkan , karena di tahun 1955 itu Republik Indonesia sebagai negara berbentuk kepulauan, masih belum memiliki Dewan Maritim akan tetapi sudah memiliki Dewan Penerbangan. Mengagumkan , karena Indonesia yang baru saja pada bulan Mei tahun 1950 menyatakan dirinya untuk menjadi anggota ICAO (International Civil Aviation Organization), di tahun 1955 sudah mulai menyusun undang-undang yang berkait dengan peraturan penerbangan.
Namun yang jadi lebih mengagumkan lagi adalah bahwa saat sekarang, di tahun 2020 Indonesia sudah tidak memiliki lagi Dewan Penerbangan atau institusi apapun namanya yang berfungsi sebagai sebuah Dewan Penerbangan. Barangkali oleh sebab itulah, maka banyak sekali kebijakan dibidang dunia penerbangan nasional belakangan ini yang terlihat sebagai kurang menopang dalam pembangunan nasional dibidang kedirgantaraan. Boleh jadi karena itulah pula banyak peraturan dan perijinan yang dikeluarkan dalam bidang penerbangan nasional tidak atau kurang dikoordinasikan terlebih dahulu dengan instansi terkait lainnya. Kemungkinan besar itulah pula sebabnya instruksi Presiden Republik Indonesia di tahun 2015, tentang upaya penguasaan kembali wilayah udara kedaulatan RI diatas kepulauan Riau dan sekitarnya, sampai sekarang, masyarakat luas tidak mengetahui sampai dimana gerangan perkembangan dari pelaksanaan instruksi Presiden tersebut.
Waktu yang Tepat menata ulang tata kelola Dirgantara dan Penerbangan Nasional
Ditengah badai pandemi wabah virus corona covid 19 melanda dunia, maka Indonesia menghadapi masalah penerbangan dalam negeri yang sangat berat. Masalah penerbangan yang membutuhkan kebijakan yang tepat dan cepat untuk dapat menyelamatkan eksistensi negara.
Masalah penerbangan yang membutuhkan masukan dari berbagai pihak yang kompeten dan ahli dibidangnya.
Apabila ada yang mengatakan bahwa pada setiap krisis akan terbuka peluang, maka sekarang inilah saat yang paling tepat bagi Indonesia memperoleh peluang untuk mengelola wilayah udara kedaulatannya secara utuh menyeluruh tanpa dapat dibayang-bayangi lagi oleh alasan yang dicari-cari seperti “untuk atau atas nama keselamatan lalulintas penerbangan internasional”, karena kepadatan Air Traffic saat ini telah menjadi jauh menurun.
Lalu lintas penerbangan di atas wilayah udara Indonesia yang sangat strategis itu, pada saat ini memang tidak memerlukan sama sekali perangkat pengatur lalulintas yang “canggih” dan sdm yang “super”. Sekarang adalah waktu yang tepat. Waktu yang tepat untuk membentuk lagi Dewan Penerbangan. Waktu yang tepat untuk berkoordinasi antar instansi tanpa tekanan-tekanan lagi yang dihubung-hubungkan dengan prioritas utama yang harus menjaga laju pertumbuhan penumpang.
Waktu yang tepat untuk memiliki wadah berkoordinasi bagi kepentingan semua pihak secara adil. Semua ada di Dewan Penerbangan dan semua telah menjadi mudah karena Covid – 19 telah menurunkan laju peningkatan fantastis dari pertumbuhan Air Traffic di Indonesia dan diseluruh dunia.
Seiring dengan menurunnya lalulintas penerbangan global, semua menjadi lebih tenang dalam upaya menyelesaikan persoalan hiruk pikuk penerbangan yang terjadi belakangan ini dan tentu saja menjadi jauh lebih mudah untuk dibicarakan dalam damai serta menjadi jauh pula dari interest sektoral yang sudah terlanjur berkembang. Pangkalan-pangkalan Udara Militer sudah tidak harus khawatir lagi dirambah oleh laju pesatnya pertumbuhan penumpang penerbangan sipil komersial, karena bandara-bandara yang over kapasitas tempo hari sekarang ini sudah menjadi sunyi dan sepi.
Penerbangan militer dan Penerbangan sipil sudah sampai kepada posisi yang sama yaitu harus mengikuti protokol kesehatan , Pakai Masker, Jaga jarak dan Sering cuci tangan. Protokol yang mengantar Bandara sipil sesuai namanya untuk kegiatan operasi penerbangan sipil komersial.
Demikian pula dengan Pangkalan Angkatan Udara hanya diperuntukkan bagi kegiatan operasi penerbangan dalam kerangka pertahanan dan keamanan negara. Tidak lagi terjadi “campur aduk” penerbangan sipil dan militer.
Tidak lagi terjadi kekacauan tentang mana wilayah publik yang bebas dan mana wilayah terbatas bagi kegiatan pertahanan keamanan negara. Waktu yang tepat untuk mengakhiri pola pengelolaan wilayah udara kedaulatan RI (diatas kepulauan Riau) dan manajemen penyelenggaraan penerbangan nasional yang semrawut dan amburadul.
Jakarta 20 Juli 2020 (Artikel ini dimuat di Koran Jakarta hari ini 20 Juli 2020 dihalaman 1)
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia