Apa yang terjadi di Libya saat ini, dapat dikatakan sebagai perang, bila mengacu kepada Carl Von Clausewitz yang berkata bahwa Perang itu adalah “continuation of political intercourse carried on with other means”. Jelas disini bahwa pasti ada dan kental sekali kepentingan politik dari pihak koalisi atau sekutu atau NATO dalam upayanya menyerang Libya.
Akan tetapi, bila kita melihat lebih jauh lagi kepada penjelasan Clausewitz yaitu bahwa perang adalah “interaction in wich two or more opposing forces have struggle of wills”, maka apa yang terjadi di Libya itu tidak dapat dikatakan sebagai perang. Sebabnya adalah, dalam konteks berhadapannya Libya dengan Koalisi, dipastikan hanya pihak Koalisi saja yang memiliki “struggle of wills”. Libya sama sekali tidak mempunyai selera apalagi kemauan yang kuat (struggle of wills) untuk membuka peperangan melawan Koalisi.
Pada kenyataannya, semua yang terjadi di Libya adalah memang semata-mata hanyalah penyerangan besar-besaran oleh Koalisi terhadap Libya. Dalam era teknologi maju seperti sekarang ini, bila dalam suatu Negara diberlakukan “no fly zone”, maka secara otomatis Negara tersebut akan langsung menjadi “sitting duck” alias sasaran empuk untuk diserang. Kondisi seperti itulah saat ini tentang apa yang tengah dihadapi oleh Libya. Dewan Keamanan PBB dalam deklarasinya telah memberlakukan “no fly zone” terhadap Libya. Artinya adalah Libya dilarang menggunakan kawasan udaranya untuk kegiatan apapun, terutama penerbangan. Itu berarti, kekuatan udara Libya sudah dilumpuhkan terlebih dahulu secara administratif oleh PBB. Itu juga berarti bahwa kunci kemenangan perang berupa “air superiority” atau keunggulan udara telah diberikan secara gratis oleh PBB kepada pasukan Koalisi. Tidak hanya itu, karena bersamaan dengan keluarnya “no fly zone” melalui deklarasi dewan keamanan PBB tersebut tercantum pula otorisasi bagi Koalisi untuk menyerang dan melumpuhkan kedudukan instalasi militer Libya yang dianggap telah, sedang dan akan digunakan untuk membunuh penduduk sipil Libya yang memberontak. Dengan demikian maka lengkaplah sudah pihak Koalisi memperoleh “licence to kill” dan sekaligus juga karcis tol gratis untuk menuju sasaran.
Dengan kondisi yang seperti ini, maka tidak lagi diperlukan analisa apapun terhadap kekuatan perang yang dimiliki oleh Libya dalam kaitan perang melawan Koalisi. Tidak diperlukan juga analisa apapun untuk dapat meramalkan siapa yang akan memenangkan perang. Sekali lagi karena dengan kondisi seperti itu, maka sebenarnya yang terjadi adalah bukan perang akan tetapi penyerangan besar-besaran oleh Koalisi terhadap Libya. Mari kita simak bersama apa sebenarnya yang terjadi di Libya belakangan ini.
Berdasar dari berbagai sumber, termasuk pengumuman resmi dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, maka pada hari pertama penyerbuan Koalisi ke Libya, yaitu pada tangal 19 Maret 2011, lebih kurang pukul 21.00 waktu Libya, diluncurkan peluru kendali super canggih Tomahawk sebanyak 112 buah berasal dari kapal-kapal Amerika dan Inggris dengan sasaran untuk melumpuhkan sistem pertahanan udara Libya yang terdapat disepanjang pantai utara. Sementara itu beberapa pesawat tempur Harrier dari Angkatan Laut Amerika menyerang konvoi besar pasukan Libya tidak begitu jauh di luar kota Benghazi.
Hari kedua, tengah malam tiga buah pesawat bomber B-2 Spirit melaksanakan misi menghancurkan lebih kurang 45 buah hangar pesawat terbang di Pangkalan Angkatan Udara Libya dekat kota Sirt. Bersamaan dengan itu beberapa pesawat tempur Angkatan Udara Amerika mencari dan menembaki konsentrasi dari kedudukan tentara darat Libya. Sementara itu beberapa pesawat tempur F-18 Hornet, termasuk variant perang elektroniknya Boeing EA-18G Growler bertugas men-jammed semua jaringan radar dan komunikasi di Libya untuk melumpuhkan sistem komando dan kendali dari seluruh pasukan tentara Libya.
Tidak itu saja, sebuah pesawat dari jenis Hercules EC-130 J terbang cukup rendah di sekitar kawasan pangkalan Angkatan Laut Libya, mengumumkan melalui pengeras suara dalam tiga bahasa (Arab, Perancis dan Inggris) yang isinya antara lain ancaman bagi semua kapal Libya untuk tidak bergerak keluar dari dermaga. Bila bergerak sedikit saja, mereka akan segera dihancurkan seketika. Maka lengkaplah sudah, tidak hanya No Fly Zone akan tetapi juga No Sail Zone. Di hari yang sama Admiral Mike Mullen, Komandan Kepala Staf Gabungan Amerika mengumumkan dengan resmi bahwa kawasan udara diatas Benghazi berada dibawah pengawasan terus menerus dari kekuatan udara Koalisi dan “no fly zone” telah terselenggara sangat efektif diseluruh wilayah udara Libya. Memasuki hari ketiga, seluruh instalasi penangkis serangan udara Libya S-75 Divina, NATO menyebutnya sebagai SA-2 Guideline dan beberapa variant nya (yang merupakan pengembangan dari jenis yang pernah digunakan Rusia menembak jatuh U-2 Amerika ditahun 1960 dan juga digunakan dalam perang Vietnam) dihancurkan oleh pesawat tempur Koalisi. Dengan demikian Libya hanya dapat mengandalkan penangkis serangan udaranya yang “mobile” dari jenis SA-6, SA-7 dan SA-8, yang tentu saja sangat terbatas kemampuannya.
Itulah gambaran umum yang terjadi di Libya, pasca deklarasi dewan keamanan PBB yang memberlakukan no fly zone sekaligus memberikan ijin menyerang bagi pasukan Koalisi untuk melumpuhkan militer Libya. Bila hal ini berlanjut, maka kita hanya tinggal menunggu saja waktu bagi kehancuran Libya yang lebih kurang akan bernasib sama dengan Irak dan Afghanistan. Perang berkepanjangan atau perang berkelanjutan atau apapun namanya yang akan terjadi, yang pasti adalah, Libya sedang dan akan menuju kehancurannya dan jauh dari kemungkinan untuk bisa memenangkan perang, kalau boleh menggunakan istilah perang. Karena, sekali lagi apa yang tengah terjadi memang lebih pantas untuk disebut sebagai penyerbuan besar-besaran Koalisi terhadap Libya. Sungguh menyedihkan, mengapa manusia tega berbuat demikian terhadap sesamanya?
Jakarta 6 April 2011
Chappy Hakim.
1 Comment
pak cheppy
yang tersisa dari ulasan bapak adalah siapa yang sewenag-wenang kepada siapa? akhirnya pemahaman kita menjadi sangat kabus antara salah dan benar, Khadafi benar karena mempertahankan kekuasaan dan sekutu juga benar karena membela rakyat sipil Libiya tapi tapi nyatanya yang terbantai adalah sama-sama rakyat libiya.