Kemarin ada komentar dari dua orang yang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai kemajuan yang sangat berarti dalam penguasaan wilayah udara RI yang berada dibawah pengaturan otoritas penerbangan Singapura. Patut diberikan penghargaan yang tinggi kepada Menhub dan Dirjen Perhubungan Udara yang telah berhasil meng goal kan tentang batas waktu 15 tahun bagi kembalinya wilayah udara kedaulatan RI kepada otoritas penerbangan nasional dalam undang-undang yang baru mengenai penerbangan. Untuk yang satu ini saya harus mengakui bahwa saya ketinggalan informasi mutakhir, sorry dan terimakasih.
Disamping itu ada pula sedikit penjelasan tambahan yang agak lebih teknis dari seorang Pilot Senior yang dikenal dengan dedikasi dan loyaliltasnya selama ini dalam memperjuangkan kepentingan penerbang pada umumnya dalam konteks keselamatan terbang. Saya akan turunkan secara khusus tulisan dari Captain Shadrach M Nababan.
Namun ada catatan sedikit dari saya, karena saya selalu mengangkat masalah ini. Ada dua hal penting disini, yaitu bahwa RI telah menandatangani konvensi Chicago yang antara lain mengisyaratkan bahwa kedaulatan negara di udara adalah mencakup dua hal yang sangat urgent yaitu hak yang “complete” dan “exclusive” . Yang kedua adalah saya selalu melihat masalah ini dari tinjauan dalam aspek pertahanan negara dan atau “military perspective“. Banyak masalah teknis militer dalam kasus ini, tetapi saya hanya akan memberikan garis besarnya saja yang dapat saya uraikan sebagai berikut :
Masalah ini sangat berkait dengan penyelenggaraan sistem pertahanan udara nasional. Untuk diketahui bahwa lebih dari 75 % peperangan yang terjadi di dunia adalah disebabkan munculnya “border dispute” atau sengketa perbatasan. Itu sebabnya, maka seluruh personil militer suatu negara harus “familiar” dan mengenal dengan baik seluruh daerah perbatasannya. Karena kemajuan teknologi dan juga bentuk negara kita yang berujud kepulauan , maka tentu saja yang paling bekepentingan dalam urusan wilayah udara perbatasan di selat malaka adalah Angkatan Laut dan Angkatan Udara disamping juga tentunya Angkatan Darat. Jadi saya sangat concern terhadap masalah ini, namun tentu saja sepanjang semua hal tersebut dapat diakomodasi dengan baik untuk keuntungan yang seimbang saya kira itu akan dapat menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan.
Terimakasih saya sampaikan kepada semua yang telah memberikan komentar atas tulisan saya Ampun dan capek deh !
Berikutnya saya turunkan kembali komentar dan tanggapan serta tambahan informasi dari Captain Nababan tersebut :
Saya ingin melengkapi tulisan pak Chappy dengan informasi berikut ini:
- Sebagian wilayah udara Indonesia memang berada dibawah pelayanan air traffic services milik pemerintah Singapura yang oleh pak Chappy di dramatisir (untuk menggugah perasaan kita) menjadi “dibawah kekuasaan ATC Singapura” dan hal itu juga bukan karena diambil alih tetapi memang diserahkan “dengan baik-baik” oleh Indonesia dan itu disahkan di dalam keputusan Regional Air Navigation (RAN) Meeting yang diadakan 10 tahun sekali oleh ICAO dengan alasan yang sangat sederhana yaitu bahwa tingkat kualitas pelayanan yang dituntut oleh RAN Meeting belum dapat dipenuhi oleh sang pemilik wilayah. Hal ini sangat lazim dilakukan “demi keselamatan penerbangan” dan kita semua tahu bahwa ATS Indonesia juga mendapat pelimpahan tugas pelayanan serupa itu di wilayah udara Chrismas Island (di selatan pulau Jawa) dari pemerintah Australia.
- Keinginan untuk menghentikan “penyerahan” tugas pelayanan tersebut sudah lama diwacanakan tetapi action plan kesana tak pernah nyata terbukti dari permintaan kita pada RAN Meeting tahun 2003 ditolak oleh sidang tersebut karena delegasi kita belum (baca: tidak) mampu meyakinkan sidang tersebut bahwa apabila wilayah udara itu kita layani sendiri maka kualitas pelayanannya akan minimal sama (syukur2 lebih baik) dengan yang sekarang diberikan oleh ATC Singapura dan sebaliknya delegasi Singapura dengan piawai malah mempresentasikan kesungguhan pemerintahnya untuk terus melakukan perbaikan dalam pelayanan dengan membeberkan rencana investasi pemutahiran peralatan, sistim dan personel serta mempertanyakan (sepertinya menyindir nih) kepada para hadirin apakah ada keluhan atas pelayanan mereka selama ini?
- Mencermati hal itu maka UU no 1 tahun 2009 tentang penerbangan telah mengamanatkan dengan tegas pada pasal 458 bahwa dalam 15 tahun (tenggang waktu yang sebenarnya pas-pasan mengingat RAN Meeting akan digelar tahun 2013 dan tahun 2023) kita harus mampu mengambil alih pelayanan diwilayah udara tersebut dengan cara yang elegan dan cantik tentunya artinya apa ya sejak sekarang kita harus sudah punya action plan dan political will untuk berinvestasi memperbaiki kualitas pelayanan sampai ketingkat yang melebihi yang akan dicapai oleh Singapura ditahun 2013 atau 2023 nanti …jadi bukan sekedar melebihi tingkat pelayanan yang mereka berikan sekarang!
- Kondisi riil kualitas pelayanan ATC kita sangat memprihatinkan. Peralatan radar yang rata-rata sudah berumur (untuk tidak menyebutnya tua atau ketinggalan zaman), sistim pendidikan yang tidak memadai bahkan simulator hanya ada satu di Makassar itupun baru di-installed di penghujung tahun 2004 dalam rangka pembentukan FIR Makassar, kemudian adanya laju eksodus personel ATC yang mencari pekerjaan lain. Jadi tidak mengherankan betapa tidak efisiennya pengaturan lalu-lintas udara diseputar Jakarta ketika tanggal 9 Maret 2009 ybl sebuah landasan pacu blocked oleh kecelakaan Lion Air. Para penerbang dibuat kesal dan gemas, bahkan pilot maskapai asing yang disuruh holding bertanya kapan estimate approach time (EAT)-nya dibuat terperangah karena tidak mendapat respon sebagaimana lazimnya mereka peroleh dari ATC di manca negara.
Hal ini diperburuk oleh “kebiasaan” ATC kita yang sangat berlebihan dalam menggunakan “radar vector” sehingga dalam keadaan yang super crowded sekalipun kebiasaan itu masih terbawa, padahal holding point di Nokta dan Esala apabila digunakan untuk staggering tentu akan mempermudah perhitungan EAT tadi. Bahkan Capt. Antony Sumarraw yang terbang (active) dari Medan dengan GA192 ketika itu harus diverted ke Palembang untuk menambah fuel dan setelah landing di Soekarno-Hatta kebetulan ketemu saya berkata “masak saya di radar vector sampai 70 nms nyosor (maksudnya: low altitude)” mengeluh sambil geleng-geleng kepala tak habis pikir. Ketika hal ini saya sms kepada seorang rekan ATC yang sudah pensiun eh dia hanya menjawab “that’s my beloved country”.
Akhir kata sebagai pengagum pak Chappy saya ingin berkata “dalam perjuangan jangan pernah berkata capee pak”
Semoga bermanfaat dan salam sejahtera.
Capt Shadrach M. Nababan.