Ini adalah pengalaman Joko Widodo ,Walikota Solo dalam menertibkan PKL (Pedagang Kaki Lima) dan merelokasi pasar kumuh ketempat yang lebih baik. Sepertinya sudah menjadi prosedur tetap, bila kita saksikan di Televisi, menertibkan PKL adalah dengan kekuatan pasukan Satpol PP dan terkadang dibantu TNI dan Polri. Para pedagang, biasanya digebuki dan lapaknya diratakan dengan bulldozer.
Demikian pula halnya dengan proses pemindahan pasar, kerap disaksikan sebagai terjadi kebakaran terlebih dahulu baru proses relokasi paksa dapat dilakukan. Jokowi, membuktikan bahwa tidak diperlukan proses kekerasan seperti banyak yang disaksikan bersama belakangan ini. Ada cara yang sangat manusiawi yang dapat dikerjakan dalam melakukan hal tersebut.
Salah satu contoh adalah bagaimana Jokowi memindahkan PKL di Kecamatan Banjarsari yang sudah mapan selama lebih dari 20 lebih tahun. Kecamatan Banjarsari ini sebenarnya satu kawasan yang sangat bagus, namun kemudian terlihat sebagai kawasan kumuh karena dijadikan tempat dagang yang sekaligus menjadi tempat tinggal mereka. Diawal-awal jabatannya, Jokowi mengundang beberapa perwakilan dari para pedagang untuk makan malam di ruang rapat rumah dinas Walikota.
Diundang lebih kurang 11 orang , akan tetapi yang datang puluhan orang yang antara lain adalah para LSM dan para pembela mereka. Mereka semua datang dengan raut muka yang sangat “defensif”, dengan niat menerima saja makan, akan tetapi tekad mereka bulat, tidak mau dibujuk untuk pindah. Tidak apa-apa, saya persilahkan semua masuk dan makan malam dan selesai makan malam, mereka saya suruh pulang, kata Jokowi. Mereka bingung, lho koq nggak ada pembicaraan atau permintaan untuk pindah lokasi ? Begitu seterusnya, Jokowi mengundang makan malam dan makan siang berganti-ganti selang beberapa hari. Pelahan-lahan yang datang adalah hanya para pedagang saja.
Demikianlah hal tersebut berlangsung sampai makan malam bersama sebanyak 54 kali ! Hal itu memakan waktu 7 bulan, karena baru pada makan malam yang ke 30 komunikasi tentang pindah lokasi bisa digelar secara perlahan-lahan yang akhirnya sampai juga dengan kesepakatan bahwa mereka mau dipindahkan dengan berbagai persyaratan. Untuk diketahui saat pertamakali mereka di dekati untuk pindah, responnya adalah memasang spanduk yang isinya menolak dipindahkan sampai titik darah penghabisan, tidak pindah atau mati ! Mereka bahkan menyiapkan senjata semacam bambu runcing serta mengancam akan membakar rumah Walikota. Alhamdulilah, 7 bulan kemudian, mereka mau pindah, namun memang masih ada banyak persyaratan yang diajukannya, seperti ingin jaminan agar ditempat baru mereka minimum harus mendapatkan keuntungan yang sama dengan yang mereka peroleh ditempat lama. Saya katakan, rejeki di tangan Yang Diatas! , saya akan bantu kalian semua dengan iklan gratis selama 4 bulan di koran dan Televisi lokal.
Tidak itu saja, kepindahan mereka saya temani dengan kirab bersama prajurit keraton, saking senangnya mereka pun masing-masing membawa tumpeng sendiri-sendiri , lambang kemakmuran untuk diarak. Singkat kata, kini sudah lebih 20 lokasi PKL yang dipindahkan dan konon, keuntungan mereka para PKL sudah mirip dengan dongeng-dongeng, karena ada yang berlipat ganda 5 sampai 10 kali lipat. Bayangkan ada PKL yang ditempat baru itu yang kemudian memperoleh keuntungan mendekati ratusan juta ! Intinya , Walkot Solo, membuktikan memindahkan pasar dan para PKL tidak harus digebukin, dipentungin dan atau di bulldozer ! Komunikasi tanpa “jarak” antara pemimpin dengan yang dipimpin , pasti akan membuahkan solusi yang win-win. Ada cara yang manusiawi untuk itu. Sekali lagi inilah gambaran Pamong, pemimpin yang ngemong, pemimpin yang “melayani” !
Jakarta 18 Maret 2012
Chappy Hakim